Kediri (ANTARA) - Perajin tenun ikat di Kota Kediri, Jawa Timur, berinovasi dengan warna, sebagai bagian dari strategi bertahan, sehingga produk mereka tetap disukai pelanggan di masa pandemi COVID-19.
Erwin, pemilik kerajinan tenun ikat merek "Tenun Bandoel" mengakui ia ingin warna yang berbeda untuk produknya. Selain diversifikasi produk, ia sengaja berinovasi dengan warna-warna yang berbeda dengan perajin lain.
"Saya belajar ototidak soal warna. Kalau melihat warna yang menarik, saya akan coba mengurai warnanya dengan mencampur berbagai warna sampai mendapatkan warna yang ia lihat. Kadang kalau belum ketemu, saya ngga bisa tidur," kata Erwin di Kediri, Jumat.
Ia mengungkapkan, pemilihan warna-warna dari tenun ikat produknya tersebut sempat menginspirasi koleksi Neon karya Priyo Oktaviano yang pentas di Kota Kediri pada 2019.
Erwin mengakui melanjutkan usaha tenun ikat ayahnya di sentra tenun ikat Kediri, Kelurahan Bandar Kidul, Kecamatan Mojoroto. Sejak kecil dirinya sudah mengenal motif dan warna tenun. Hal itu yang juga memberi ide, bagaimana membuat warna-warna tidak monoton, motif yang lebih kekinian sehingga ada nilai tambahnya.
Dirinya menyebut, unsur-unsur warna yang ada dicampur sehingga menghasilkan warna baru. Dalam pencelupan kain, bisa 2-3 kali untuk menghasilkan warna yang dikehendaki, dengan warna-warna yang lebih kuat.
Karena proses yang lebih rumit, harga jual produk yang dibuatnya juga lebih tinggi dibanding tenun ikat pada umumnya. Untuk kain katun (bahan baju) untuk warna yang bagus harganya hingga Rp250.000 per lembar. Namun, juga terdapat harga yang standar, yakni rata-rata Rp175.000 per potong. Sedangkan, untuk baju yang sudah dijahit seharga Rp400.000 per potong.
"Saya mematok harga lebih tinggi. Memang saya menembak pasar yang lain," kata Erwin.
Ia juga menyadari, tidak selamanya menjual dengan harga murah selalu lebih laku. Yang utama merupakan target market dan hal ini sangat penting untuk membuat keragaman produk. Bahkan, harga yang lebih tinggi juga tidak menjadi soal ketika ada nilai lebih yang ditawarkan. Hal ini terbukti, bahwa dirinya memiliki pelanggan khusus yang selalu kembali membeli.
Pada saat COVID-19, Erwin mengakui bahwa permintaan dari pelanggannya memang turun drastis. Bahkan pesanan yang sudah dipesan, tidak jadi diambil.
Ia juga membuat masker, yang dijual dengan harga Rp15.000 hingga Rp 17.000 per lembar. Jenisnya juga beragam, seperti masker scuba dengan lapisan kain kapas sehingga memberi ruang untuk bernafas. Selain itu, ada juga yang seharga Rp20.000 hingga Rp25.000 per lembar dan tetap ada peminatnya.
Selain pesanan dari Pemkot Kediri, ia juga menjual produknya lewat jejaring sosial dan marketplace dan ternyata cepat habis.
"Ini artinya, inovasi meski memberikan konsekuensi pada ongkos produksi yang tinggi, penggemarnya tetap ada. Hal ini bisa menjadi inspirasi bagi UMKM lain untuk terus berinovasi," kata dia.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Kediri Nur Muhyar menegaskan, pemkot juga tetap memberikan dukungan untuk industri kecil serta UMKM agar tetap bertahan.
Pemkot membeli produk tenun ikat yang dijadikan masker, dengan memesan lebih dari 5.000 lembar masker. Hal tersebut ternyata juga diikuti instansi lain, bahkan swasta juga ikut memesan.
"Kondisi ini juga menolong para penenun untuk tetap bertahan di masa pandemi COVID-19," kata Nur Muhyar. (*)