Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Dr Alfitra Salam mengingatkan netralitas aparatur sipil negara (ASN) dan adanya politik uang menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2020.
"Berdasar data DKPP, pelanggaran yang harus diwaspadai adalah terkait netralitas ASN, apalagi kepala daerah (petahana) maju lagi," katanya saat menjadi narasumber dalam seminar nasional bertema "Penguatan Etik dalam Penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Serentak Tahun 2020" di Universitas Muhammadiyah Jember, Jawa Timur, Sabtu.
Menurutnya, pelanggaran prioritas yang harus diwaspadai adalah terkait netralitas ASN dan terlebih tahun ini terdapat kegiatan pilkada serentak 2020 di 270 daerah di Indonesia, termasuk di Kabupaten Jember karena masih banyak petahana yang notabene adalah atasan dari para ASN yang akan mencalonkan diri.
"Para petahana itu bisa melakukan mobilisasi massa bawahannya para ASN, sehingga pelanggaran kemungkinan yang terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif harus benar-benar diantisipasi oleh Bawaslu di masing-masing daerah," katanya.
Selain itu, lanjut dia, politik uang juga dikhawatirkan terjadi pada pilkada dan persoalan itu harus menjadi perhatian yang serius bagi penyelenggara pilkada, meskipun politik uang kadang sulit dibuktikan.
"Bawaslu harus berani memanggil petahana, apabila melakukan pelanggaran terhadap pilkada karena di sejumlah daerah, kadang pihak bawaslu tidak punya keberanian untuk memanggil petahana yang diduga melakukan pelanggaran seperti politik uang atau lainnya," ujarnya.
Ia menjelaskan saat ini terdapat tren pengaduan ke DKPP terkait tindakan asusila yang dilakukan para penyelenggara pemilu di sejumlah daerah, seperti perselingkuhan antar-penyelenggara.
"Penguatan etik dalam penyelenggaraan pemilu meliputi seluruh aspek yang terlibat dalam pemilihan, maka sebagai penyelenggara harus bertindak secara transparan, profesional, dan berintegritas," tuturnya.
Alfitra juga memaparkan terkait tugas DKPP dalam rangka pencegahan, sebagai quality control, dan menjaga kepercayaan publik terhadap jajaran penyelenggara. Hal-hal yang memiliki potensi pelanggaran di antaranya terkait rekrutmen jajaran penyelenggara dan pengawasan yang masih kurang efektif.
"Indonesia merupakan satu-satunya negara dengan pengawasan pemilu berlapis, setiap tingkatan ada, 'head to head', semestinya potensi pelanggaran itu kecil," katanya. (*)