Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Pakar kebijakan publik Universitas Jember (Unej) Hermanto Rohman mengatakan hak angket merupakan mekanisme ketatanegaraan dalam menjalankan fungsi pengawasan yang dijamin oleh undang-undang, sehingga sah-sah saja anggota DPRD Jember melayangkan hak angket kepada Bupati Jember karena merupakan hak yang dimiliki lembaga legislatif.
"Dalam UUD 1945 diatur bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang mengatur asas kesamaan hak dihadapan hukum dan terdapat pemisahan kekuasaan (legislatif,eksekutif dan yudikatif)," katanya di Kabupaten Jember, Rabu.
Menurutnya konsekuensi pemisahan kekuasaan melahirkan prinsip bahwa tidak ada kekuasaan yang tidak dapat diawasi oleh kekuasaan lainnya, maka prinsip check and balance menjadi penting karena hal itu akan menghindarkan dari kekuasaan absolut.
"Prinsip itu juga dibangun dalam koridor demokrasi konstitusional dengan pendekatan pemerintahan dibangun dengan kekuasaan politik dan kekuasaan pemerintahan," ucap pengajar Ilmu Administrasi publik di FISIP Unej itu.
Ia mengatakan esensi penyelenggaraan pemerintahan harus berjalan dengan prinsip check and balance melalui fungsi pengawasan adalah bagian demokrasi konstitusional.
"Fungsi tersebut dijamin oleh UUD 1945 pasal 20A dan melekat pada fungsi legislatif yang implementasinya baik di pusat maupun daerah diterjemahkan dalam UU No. 17 tahun 2014 (MD3) dan PP No. 12 tahun 2018, serta dalam koridor penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam UU No. 23 tahun 2014," tuturnya.
Dalam produk hukum perundang undangan tersebut, lanjut dia, menegaskan bahwa fungsi pengawasan menjadi bagian penting dalam penyelenggaran pemerintahan dan salah satu teknis atau mekanisme yang diatur adalah melalui hak-hak legislatif salah satunya hak angket.
Ia menjelaskan hak angket memiliki derajat berbeda dengan hak lainnya karena di dalamnya ada frasa penyelidikan, namun makna dari frasa itu berbeda dengan penyelidikan dalam KUHAP karena penyelidikan tersebut dalam konteks ketatanegaraan bukan penyelidikan karena indikasi terjadinya tindak pidana.
"Penyelidikan konteks kenegaraan yang dimaksud adalah pada pelaksanaan UU/ kebijakan (dilakukan pemerintah) yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan," ujarnya.
Hermanto mengatakan keputusan menjalankan fungsi angket itu juga harus dimaknai dalam koridor kekuasaan politik karena hak itu melekat pada peran legislatif yang didalamnya sebagai representasi politik kepentingan parpol maupun sebagai wakil rakyat.
"Namun, koridor itu sudah diikat dalam mekanisme yang jelas dalam UU dan keabsaannya juga tidak lepas dari proses politik pada lembaga yang akan menjalankan fungsi itu dengan catatan melalui proses dan mekanisme yang dijalankan," katanya.
Menurutnya implementasi dari hak angket juga tidak lepas dari peran dan fungsi pengawasan, namun dipertegas dengan mekanisme penyelidikan dimana ada proses sistemik melalui tahapan memanggil (pejabat pemerintahan daerah, badan hukum, masyarakat yang terkait dan dianggap mengetahui masalah yang diselidiki,meminta keterangan baik lisan maupun tertulis termasuk dokumen dan surat.
"Panitia hak angket itu dalam mekanismenya hanya memiliki waktu 60 hari untuk bekerja, sehingga kadar mekanisme yang diatur untuk memaksimalkan proses berjalan lancar dalam mengungkap masalah yang diselidiki secara maksimal, maka kadar pemanggilan memiliki sifat memaksa dan wajib hadir kecuali jika menyampaikan alasan yang bisa dibenarkan dalam peraturan perundang undangan," katanya.
Ia menjelaskan muara dari hak angket juga tidak akan lepas dari fungsi pengawasan karena apa yang menjadi temuan dalam materi penyidikan akan menjadi bagian rekomendasi yang tentunya kebenaran hukumnya perlu mendapatkan keabsahan lembaga lainnya yang lebih berwenang.
"Jadi kalau terdapat materi penyidikan yang mengarah pada terjadinya tindak pidana tentunya itu bagian yang harus dibuktikan dan diselidiki kembali oleh aparat penegak hukum yang memang diberi wewenang memutuskan persangkaan tersebut menjadi fatwa kebenaran," ucapnya.
Begitu juga dalam persangkaan melanggar kebijakan atau peraturan perundang undangan maka materi penyidikan angket tetap harus dibuktikan dan diselidiki kembali lembaga berwenang untuk menjadi fatwa kebenaran yang menjadi evaluasi perbaikan.
Mengacu pada penjelasan tersebut, lanjutnya, memaknai angket adalah sebagai mekanisme yang memang tidak perlu diperdebatkan keberadaannya karena itu bagian representasi bentuk pengawasan dalam fungsi kenegaraan.
"Tidak perlu terlalu paranoid dan berlebihan dalam menyikapi angket, maka sikapilah hal itu menjadi bagian dari mekanisme ketatanegaraan untuk check and balance dalam mengurai masalah dan kebijakan yang riil untuk perbaikan ke depannya, sehingga hak angket itu sikap politis, namun terlalu jauh kalau dikaitkan dengan pemakzulan," ujarnya.