"Sejumlah ketentuan dalam revisi Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) bertentangan dengan regulasi di atasnya," kata Pimpinan Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM – SPSI) Jawa Timur, Emanuel Embu saat menggelar jumpa pers di Surabaya, Kamis.
Adapun peraturan di atasnya yang dimaksud adalah Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Hal sama juga dikatakan Ketua Paguyuban Toko Surabaya Sri Utari. Ia mengaku khawatir dengan rancangan perda tersebut. Menurutnya, apapun peraturan perundangan, hendaknya sejalan dengan peraturan lain, apalagi yang lebih tinggi.
"Tentunya juga selalu melibatkan kami para pemangku kepentingan dalam penyusunannya," kata Utari.
Menurut Utari, sedikitnya ada tiga poin dalam revisi Perda KTR Kota Surabaya yang berpotensi merugikan dan mengancam keberlanjutan usahanya yakni pertama, rencana larangan kegiatan menjual, mengiklankan, mempromosikan tembakau berlaku mutlak di lingkungan Kawasan Tanpa Rokok.
Hal ini, lanjut dia, bertentangan PP 109 Pasal 50 ayat 2 yang menyatakan seluruh aktivitas tersebut tetap bisa dilakukan di tempat penjualan produk tembakau di wilayah KTR.
Kedua, lanjut dia, dalam revisi perda KTR-KTM disebutkan "dapat" menyediakan tempat khusus merokok. Utari menjelaskan, keberadaan kata 'dapat' menciptakan multitafsir di mata publik.
"Kata 'dapat' memiliki dua makna yaitu boleh menyediakan tempat rokok atau sebaliknya," katanya.
Tentunya, lanjut dia, hal ini akan menyulitkan penegakan sanksi oleh aparat bagi mereka yang melanggar. Padahal, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57 Tahun 2011 yang menguji materi Pasal 115 Ayat 1 Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan tegas memerintahkan penyediaan tempat khusus merokok di tempat kerja dan tempat umum.
"Artinya, keberadaan tempat khusus merokok adalah sebuah kewajiban," ujarnya.
Ketiga, kata dia, tempat merokok harus terpisah dari gedung/tempat/ruang utama dan ruang lain yang digunakan untuk beraktivitas. "Poin ini tidak efektif diterapkan bila tidak diimbangi dengan penyediaan tempat khusus merokok di seluruh tempat kerja dan tempat umum seperti, kantor, pasar, hotel, dan gedung di Surabaya," kata Utari.
Utari menegaskan pihaknya tidak anti Perda KTR dan mengaku mau mematuhi dan melaksanakannya sepanjang ditetapkan secara adil, berimbang dan komprehensif. Sayangnya, lanjut dia, Raperda KTR Kota Surabaya menciptakan kegelisahan para pemangku kepentingan.
Emanuel Embu menambahkan keberadaan tiga poin yang kontradiktif dalam revisi Perda KTR Kota Surabaya akan berimbas terhadap nasib buruh rokok.
Ia mengingatkan dalam kurun waktu 2013 sampai 2018 telah terjadi pemutusan hubungan kerja 7.000 orang di sektor tembakau akibat regulasi pemerintah. Padahal, kontribusi industri hasil tembakau terhadap pendapatan daerah dan nasional sangat besar.
Saat ini Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (RTMM) di Surabaya beranggotakan sekitar 15.000 orang yang tersebar pada 18 perusahaan.
"Keberpihakan Pemerintah Kota Surabaya terhadap industri rokok yang menjadi tempat bergantung hidup sangat kami harapkan," ujarnya.
Emanuel berharap pemerintah dan Pansus Perda KTR bijaksana mengambil keputusan. Saat ini revisi Perda KTR belum final karena masih belum terdapat titik temu antara DPRD dan Pemkot Surabaya, antara lain terkait tambahan tempat Kawasan Tanpa Rokok di tempat olahraga.
Sementara itu, Ketua Pansus Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) DPRD Kota Surabaya memperdalam pembahasan delapan wilayah KTR yang diatur dalam raperda yang kini dalam pembahasan di Komisi D DPRD Surabaya.
"Pembahasan raperda saat ini masuk substansi wilayah KTR," katanya.
Sesuai peraturan tersebut, lanjut dia, ada delapan tempat yang masuk wilayah KTR yakni sarana kesehatan, belajar mengajar, kegiatan anak, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum dan lainnya.
"Ini yang kami perdalam lagi. Pada ayat kedua disebutkan ketentuan KTR diatur dalam Perwali (Peraturan Wali Kota) Surabaya," ujar Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Surabaya ini. (*)
Utari menegaskan pihaknya tidak anti Perda KTR dan mengaku mau mematuhi dan melaksanakannya sepanjang ditetapkan secara adil, berimbang dan komprehensif. Sayangnya, lanjut dia, Raperda KTR Kota Surabaya menciptakan kegelisahan para pemangku kepentingan.
Emanuel Embu menambahkan keberadaan tiga poin yang kontradiktif dalam revisi Perda KTR Kota Surabaya akan berimbas terhadap nasib buruh rokok.
Ia mengingatkan dalam kurun waktu 2013 sampai 2018 telah terjadi pemutusan hubungan kerja 7.000 orang di sektor tembakau akibat regulasi pemerintah. Padahal, kontribusi industri hasil tembakau terhadap pendapatan daerah dan nasional sangat besar.
Saat ini Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (RTMM) di Surabaya beranggotakan sekitar 15.000 orang yang tersebar pada 18 perusahaan.
"Keberpihakan Pemerintah Kota Surabaya terhadap industri rokok yang menjadi tempat bergantung hidup sangat kami harapkan," ujarnya.
Emanuel berharap pemerintah dan Pansus Perda KTR bijaksana mengambil keputusan. Saat ini revisi Perda KTR belum final karena masih belum terdapat titik temu antara DPRD dan Pemkot Surabaya, antara lain terkait tambahan tempat Kawasan Tanpa Rokok di tempat olahraga.
Sementara itu, Ketua Pansus Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) DPRD Kota Surabaya memperdalam pembahasan delapan wilayah KTR yang diatur dalam raperda yang kini dalam pembahasan di Komisi D DPRD Surabaya.
"Pembahasan raperda saat ini masuk substansi wilayah KTR," katanya.
Sesuai peraturan tersebut, lanjut dia, ada delapan tempat yang masuk wilayah KTR yakni sarana kesehatan, belajar mengajar, kegiatan anak, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum dan lainnya.
"Ini yang kami perdalam lagi. Pada ayat kedua disebutkan ketentuan KTR diatur dalam Perwali (Peraturan Wali Kota) Surabaya," ujar Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Surabaya ini. (*)