Jember (Antaranews Jatim) - Mantan teroris dan keluarga korban teroris bom Bali sepakat untuk menyerukan perdamaian di Indonesia yang disampaikan dalam bedah buku "La Tay`as" (Jangan Putus Asa): Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya" di aula FISIP Universitas Jember (Unej), Jawa Timur, Senin.
Buku tersebut karya Direktur AIDA Hasibullah Satrawi dengan menghadirkan narasumber yakni mantan pelaku terorisme Iswanto, Sofyan Tsauri mantan narapidana terorisme yang kini menjadi pakar terorisme, Niluh Erniwati yang merupakan keluarga korban bom Bali I, dan akademisi Unej Erwin Nur Rifah, serta pembicara kunci Pembina AIDA Farha Ciciek.
"Meskipun kejadian Bom Bali I sudah 16 tahun yang lalu, trauma dan kesedihan itu masih ada," kata Niluh Erniwati yang merupakan keluarga korban bom Bali I saat menceritakan kisahnya di hadapan mahasiswa FISIP Unej.
Kendati demikian, perempuan yang memiliki dua anak berusia 9 tahun dan 1,5 tahun saat ditinggalkan suaminya yang menjadi korban bom Bali I tersebut sudah memaafkan para pelaku terorisme dan keluarganya.
"Berdasarkan cerita pengalaman pribadi para pelaku terorisme, saya sadar bahwa semua orang pernah berbuat salah dan mereka juga punya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya," tuturnya.
Bersama Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Niluh pun bangkit dan berjuang untuk mengatasi trauma atas tragedi bom Bali I dan menyebarkan bibit perdamaian karena menurutnya kebencian dan kemarahan dapat dikalahkan dengan persahabatan.
Sementara mantan teroris Iswanto yang pernah menjadi komandan kelompok Mujahidin di Poso mengakui telah banyak melakukan kesalahan dengan bergabung dalam kelompok garis keras yang mendoktrinnya menjadi mesin pembunuh.
"Saat menjadi anggota Jamaah Islamiyah, rasa kebencian kepada warga non muslim sengaja ditanamkan kepada anggota, sehingga jihad dan jihad dengan melakukan tindak kekerasan yang selalu diserukan," tuturnya.
Setelah bom Bali I, ia menerima surat dari gurunya Ali Imron untuk keluar dari kelompok radikalisme dan bertobat ke jalan yang benar, sehingga perlahan-lahan ia mulai sadar bahwa Islam tidak mengajarkan kekerasan.
"Akhirnya saya sadar bahwa agama Islam adalah agama yang mengajarkan perdamaian, bukan permusuhan, dan kekerasan. Dalam buku tersebut, saya mengajak para pelaku terorisme dan calon teroris untuk tidak melakukan kekerasan dengan menebar bibit kedamaian," katanya.
Penulis buku "La Tay`as" (Jangan Putus Asa): Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya" Hasibullah Satrawi mengatakan buku tersebut mengajak semua elemen masyarakat untuk mengambil pelajaran berharga (ibrah) dari interaksi kehidupan mantan teroris dan para korban aksi teror di Indonesia.
"Kisah korban dan mantan pelaku teroris mengandung pelajaran yang wajib diteladani masyarakat, terutama di tengah kondisi di mana provokasi kebencian menyebar secara liar di mana-mana," ktanya.
Ia mengatakan banyak nilai positif yang bisa diambil sebagai ibrah dari kisah korban dan mantan pelaku, di antaranya nilai pemaafan, ketangguhan, semangat optimisme menghadapi tantangan hidup, serta pertaubatan.
"Dalam buku itu, tindakan yang sudah saling memaafkan antara para penyintas dan mantan teroris menjadi contoh nyata bentuk perdamaian yang bisa diteladani masyarakat di Indonesia," ujarnya.
Kampanyekan Perdamaian, Mantan Teroris dan Keluarga korban Testimoni di Unej
Senin, 30 April 2018 23:16 WIB
Kisah korban dan mantan pelaku teroris mengandung pelajaran yang wajib diteladani masyarakat, terutama di tengah kondisi di mana provokasi kebencian menyebar secara liar di mana-mana