di perbukitan Desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur.
Lokasi sumur tua ini berjarak sekitar 60 km dari pusat kota Bojonegoro dan berbatasan dengan Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Wonocolo dipilih dan diusulkan sebagai geosite di dalam Petroleum Geoheritage Bojonegoro. Karena di tempat ini tersingkap batu-batuan yang mewakili sistem petroleum dan adanya pengambilan minyak tradisional di sumur-sumur tinggalan Belanda zaman dahulu.
Pengambilan minyak tersebut diusahakan dengan tradisional dengan mesin-mesin mobil, menggunakan rig-rig dari kayu jati. Kini, lokasi tersebut dikenal dengan sebutan Teksas Wonocolo, selain karena kondisi lingkungannya yang mirip dengan lokasi minyak Texas di Amerika, Teksas sendiri merupakan singkatan dari Tekad Selalu Aman dan Sejahtera.
Ikon Teksas Wonocolo ini juga sudah bisa dilihat ketika pengunjung menginjakan kaki di mulut Desa Wonocolo. Sebuah gapura untuk menyambut kedatangan wisatawan telah dibangun. "Selamat Datang di Teksas Wonocolo".
Teksas Wonocolo kini menjadi lokasi wisata edukasi di Bojonegoro. Terdapat Rumah Singgah yang menjadi learning center tentang minyak dan cara eksploitasi di Wonocolo.
Selain itu, pihak pemilik wilayah kerja pertambangan, Pertamina EP Asset 4 Field Cepu, juga menyiapkan trek untuk para pecinta offroad. Lintasan yang disiapkan berada di tengah-tengah pengeboran minyak tradisional yang masih menggunakan tripot dari kayu untuk menarik minyak dari perut bumi itu. Wisatawan yang berkunjung bisa menyewa mobil offroad dari warga setempat.
Hingga kini proses pengeboran minyak yang dilakukan warga setempat dengan menggunakan alat tradisional menjadi keelokan tersendiri. Tidak jarang lokasi tersebut menjadi jujukan wisata sejumlah warga baik dari Bojonegoro maupun luar daerah di Jatim maupun Jateng.
Salah seorang warga Cepu, Blora, Iis Rohmawati mengaku sudah beberapa kali berkunjung bersama keluarga ke lokasi sumur tua Wonocolo. "Senang saja main ke sini. Ternyata masih ada pengeboran minyak yang masih alami di Wonocolo," katanya.
Iis mengaku kagum dengan warga Wonocolo yang tetap bertahan melakukan pengeboran dengan cara manual atau tradisinal. "Semangat dari warga sini luar biasa. Mereka tetap mempertahankan tradisi yang sudah ada sejak dulu. Saya kira ini tidak ada di daerah lain," katanya.
Hanya saja, lanjut dia, pihaknya berharap agar pemerintah daerah menambah sejumlah fasilitas umum dan memperbaiki akses atau jalan menuju lokasi wisata yang dinilai masih banyak yang rusak.
"Petunjuk jalannya juga kurang," ujarnya.
Hal sama juga dikatakan warga setempat, Antok. Ia mengaku sering ke rumah singgah untuk menghabiskan waktu di sore hari. Di salah satu rumah singgah terdapat tulisan ukuran besar bertuliskan Wonocolo. "Kami juga berfoto ria di sini bersama teman-teman," katanya.
Salah seorang pekerja di sumur tua Wonocolo, Rokim mengatakan banyak warga yang berkunjung melihat proses pengeboran minyak tradisional. "Banyak orang datang ke sini sekedar melihat kami mengambil minyak di sumur tua," katanya.
Rokim mengaku senang karena saat ini banyak warga yang berkunjung ke sumur tua. "Saya senang, akhirnya tempat ini banyak diketahui banyak orang," katanya.
Ia mengaku sudah 4 tahun ini ikut bekerja bersama kerabatnya di pengeboran minyak di Wonocolo. Ia menjelaskan proses pengambilan minyak mentah atau biasa disebut lantung dari sumur tua kemudian dimasak terus dijual ke agen atau pihak Pertamina.
Pengambilan minyak mentah itu dipompa dengan menggunakan peralatan yang sangat sederhana atau semacam bor yang ditancapkan ke bawah tanah dan kemudian ditarik dengan menggunakan mesin diesel yang digerakkan dengan kopling kaki lalu dikumpulkan di tangki-tangki berukuran 500 liter.
Setiap sumur tua dikelola secara patungan oleh masyarakat sekitar dan mereka mengandalkan cara tradisional dengan memanfaatkan alat-alat yang sederhana untuk penambangan minyaknya.
Hanya dengan berbekal mesin diesel seadanya, aki, timba atau ember untuk ciduk, katrol, masyarakat lokal bisa saling membantu, berkolaborasi dengan Pertamina untuk memompa sumur tuanya dalam menghasilkan minyak mentah.
Setiap sumur tua tersebut per hari menghasilkan kurang lebih 1.500 liter sampai 2.000 liter minyak mentah. Biasanya warga setempat menjual minyak tersebut ke Pertamina dengan harga yang telah di sepakati.
"Nanti ada yang mengambil sendiri minyak yang sudah dimasak. Minyak mentah yang sudah dimasak tersebut, dijual per drum Rp600 ribu. Kalau sehari kami biasanya menghasilkan tiga atau empat drum," katanya. (*)
Video Oleh Abdul Hakim
Hanya dengan berbekal mesin diesel seadanya, aki, timba atau ember untuk ciduk, katrol, masyarakat lokal bisa saling membantu, berkolaborasi dengan Pertamina untuk memompa sumur tuanya dalam menghasilkan minyak mentah.
Setiap sumur tua tersebut per hari menghasilkan kurang lebih 1.500 liter sampai 2.000 liter minyak mentah. Biasanya warga setempat menjual minyak tersebut ke Pertamina dengan harga yang telah di sepakati.
"Nanti ada yang mengambil sendiri minyak yang sudah dimasak. Minyak mentah yang sudah dimasak tersebut, dijual per drum Rp600 ribu. Kalau sehari kami biasanya menghasilkan tiga atau empat drum," katanya. (*)
Video Oleh Abdul Hakim