Sampai dengan tahun 2018, kemerdekaan Negara Indonesia sudah diulangtahuni sebanyak 72 kali.
Namun demikian masih banyak perdebatan sengit mengenai bentuk negara dan sistem pemerintahan yang ideal di atas tanah Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini.
Kelompok ekstrim sekuler menginginkan agama (Islam) dikeluarkan dari sistem ketatanegaraan, sedangkan kelompok ekstrim Islam ingin memformat ulang seluruh komponen negara berdasarkan hukum Islam.
Secara terang-terangan mereka menyatakan ingin mengubah NKRI yang berdasar Pancasila, menjadi NKRI yang berdasarkan pada Al-Qur'an dan Sunnah. Kelompok ini beranggapan bahwa pancasila adalah "taghut" alias sesembahan lain selain Allah S.W.T.
Dengan menganggap dasar negara sebagai taghut, maka konsekuensinya adalah segala kebijakan dan putusan yang didasarkan pada Pancasila secara otomatis menjadi taghut: Undang-undang, presiden, pemerintah daerah, camat, DPR dll semuanya adalah taghut. Kita tidak wajib menaatinya, bahkan haram tunduk padanya. Karena bagi mereka yang wajib diikuti hanyalah Alqur'an dan assunnah saja.
Pemerintah bertindak cepat membubarkan organisasi ini karena terindikasi kuat bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri negara pancasila serta melanggar Undang-undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Ormas.
Namun perlulah diketahui bersama bahwa kelompok ini memiliki simpatisan dan loyalis yang sangat militan. Meskipun secara hukum sudah dibubarkan, mereka tidak patah arang, terus berupaya bangkit, menyusun kekuatan, merebut hati dan simpati masyarakat awam . Pengikut setianya masih aktif menggaungkan kampanye Negara Islam Indonesia dan penegakan kehalifahan di Indonesia melalui dunia nyata maupun melalui dunia maya.
Bagi mereka, mendirikan kekhalifahan merupakan sebuah keniscayaan, memformat negara dengan hukum Islam adalah keharusan, ikhtiar menggapainya adalah jihad, mati dalam memperjuangkannya adalah syahid, dan tempat kembali yang layak bagi mereka adalah surga.
Dr Nurul GhufronS.H, MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, pada suatu ketika menyindir, "Jika Pancasila adalah taghut, maka semua hukum di Indonesia adalah taghut, pernikahan saya tidak sah, dan hubungan saya dengan istri adalah zina," katanya sambil tersenyum.
NKRI (sudah) bersyariah
Islam adalah agama perpaduan antara sesuatu yang sangat idealis dengan realistis. Keidealisan Islam terletak pada tegasnya perintah untuk dijalankannya aturan dan ajaran Islam oleh pemeluknya, serta penghormatan yang tinggi atas harkat dan martabat manusia. Sedangkan kerealistisan Islam terletak pada penerapan nilai keislaman yang bisa elastis, fleksibel, menyesuaikan dengan tempat dan keadaan.
Mencontoh pada Imam Syafi'i yang menghasilkan dua ijtihad madzhab yang berbeda, yaitu madzhab qodim, dan madzhab jadid. Jauhnya perjalanan antarnegara, luasnya pengalaman dan dalamnya keilmuan tentang hukum Islam di berbagai wilayah negara membuatnya menerapkan madzhab ala Syafi'i yang berbeda di dua negara, yaitu Irak dan Mesir.
Perbedaan geografis dan historis ternyata mempengaruhi ijtihad dan pemikirannya tentang hukum Islam. Bukan hanya karena di Mesir sudah berkembang hukum al-Lais, namun juga karena keinginannya untuk menawarkan hukum yang tepat sesuai historis, kebutuhan masyarakat, dan keseimbangan kehidupan sosial.
Berkaca pada langkah dakwah beliau maka tidak menutup kemungkinan bahwa di era modern saat ini fatwa ulama di suatu tempat bisa berbeda dengan fatwa ulama di tempat yang lain. Fatwa ulama Arab bisa berbeda dengan fatwa ulama Eropa, fatwa ulama Australia boleh berbeda dengan fatwa ulama Etiopia, menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.
Demikian pula fatwa ketatanegaraan ulama Indonesia harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi masa kini, juga mempertimbangkan pengalaman-pengalaman masa lalu.
Para ulama telah sepakat bahwa kaidah fikih dalam hal ibadah berbeda dengan kaidah fikih muamalah. Dalam hal ibadah berlaku kaidah "jangan melakukan ibadah kecuali jika ada dalil yang memerintahkan", sedangkan kaidah muamalah adalah sebaliknya, "lakukanlah sesuatu sampai ada dalil yang melarang". Politik dan ketatanegaraan masuk dalam fikih muamalah.
Dalam Al-Qur'an dan hadits tidak ada satu pun redaksi yang secara khusus memerintahkan umat Islam untuk membentuk negara dengan bentuk tertentu dan mengatur jalannya negara dengan sistem tertentu. Karena itu, hal ini dapat dipahami bahwa umat Islam bebas untuk menentukan sendiri bentuk dan sistem pemerintahan sesuai dengan zaman dan tempat, situasi dan kondisi yang ada di kawasannya.
Islam hanya memberi panduan tentang prinsip-prinsip umum yang harus dijalankan dalam kehidupan bernegara, yaitu: prinsip kesetaraan, keadilan, musyawarah, kebebasan, dan pengawasan oleh rakyat.
Jika prinsip-pripsip umum ini sudah dijalankan, maka tanpa menamai negara sebagai negara Islam ataupun negara syariah, sejatinya negara tersebut merupakan negara syariah.
Secara bahasa, syariah diambil dari bahasa Arab yang artinya adalah hukum. Istilah negara syariah bisa dimaknai sebagai negara hukum. Dengan demikian maka Indonesia bisa disebut sebagai negara syariah karena dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Apabila makna syariah dipersempit menjadi hukum Islam saja, maka itu pun tidak menghilangkan fakta bahwa Indonesia sebenarnya menganut hukum Islam. Hal ini karena hukum di Indonesia terlahir dari tiga unsur hukum, yaitu hukum adat, hukum Eropa, dan hukum agama. Tidak bisa dipungkiri bahwa mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Karena itu,semua produk hukum di Indonesia mengandung nilai-nilai keislaman.
Bukti bahwa nilai keislaman sudah diakomodasi oleh undang-undang di Indonesia misalnya saja adanya larangan membunuh, larangan mencuri, larangan zina, kebebasan memilih dan melaksanakan ibadah, larangan berjudi, larangan mabuk, dll. Kesemuanya itu diambil dari nilai agama meskipun tidak secara langsung menyebutkan surat atau ayat dari kitab suci.
Daarul Islam
Ahli fiqih dari Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, K.H Afifuddin Muhajir, dalam bedah bukunya yang berjudul "Fikih Tatanegara" di Ponpes yang didirikan oleh RKH As'a Syamsul Arifin (pahlawan nasional) pada 12 Januari 2018 mengatakan berulang kali bahwa hadirnya negara bukanlah tujuan (ghoyah), melainkan sarana (wasilah) untuk meraih suatu tujuan.
Negara merupakan alat untuk mendapatkan sesuatu, juga kendaraan untuk menuju sesuatu. Alat apa pun yang digunakan tidaklah menjadi masalah, asalkan tujuan yang dikehendaki bisa dicapai. Kendaraan apa pun yang digunakan mestinya tidak perlu diributkan asal bisa sampai ke alamat yang dikehendaki.
Mantan Katib Syuriah PBNU dan Wakil Direktur Ma'had Aly (program pascasarjana) di Ponpes Sukorejo ini mengatakan dalam Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1936, jauh sebelum adanya perdebatan antara PPKI dan BPUPKI, para ulama sudah sepakat bahwa Indonesia adalah daarul Islam (wilayah Islam), yaitu suatu wilayah yang di dalamnya diakui hukum-hukum yang bersumber pada ajaran dan nilai-nilai Islam.
Di wilayah Islam, maka semua penduduk wajib memelihara ketertiban masyarakat, taat pada hukum, mencegah perampokan, dan sebagainya. Di wilayah Islam, apabila ditemukan jenazah yang tidak diketahui status agamanya maka jenazah tersebut diurus dan dimakamkan secara Islam.
Bagi Kiai Afifuddin, wacana untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam yang bersandar pada Al-Qur'an dan sunnah sebenarnya merupakan wacana kuno yang dikemas lagi seolah-olah menjadi wacana baru yang fresh dan solutif.
Padahal dengan memakai nama negara Islam atau tidak pun untuk saat ini Indonesia sudah memiliki hukum-hukum yang Islami, hukum-hukum formal yang bersumber dari Qur'an dan Hadis.
Jika pemakaian nama negara Islam merupakan hal penting, maka kiai-kiai dan ulama masa kemerdekaan sudah pasti akan berjuang mati-matian demi nama "Negara Islam Indonesia".
Jika nama "Negara Islam Indonesia" bermanfaat bagi keutuhan NKRI dan bangsa Indonesia yang berbhinneka, maka sudah barang tentu resolusi jihad dikobarkan.
Namun apalah arti sebuah nama? Karena bagi Islam, yang penting adalah isi dan substansi. Menginginkan berdirinya negara dengan Khilafah Islamiyah ataupun negara dengan corak satu agama tertentu di wilayah negara Indonesia yang penduduknya terdiri atas beragam suku, budaya, kepercayaan, dan agama, sama dengan mengoyak tenun kebangsaan yang sudah dirajut bersama.
Hal ini akan menyulut murka dan menggores luka di tubuh sesama anak bangsa. Alih-alih mendapatkan maslahat dan manfaat, justru mudharat dan kehancuran yang akan didapat.
Mungkin iya, di satu sisi ada manfaat darinya, namun di sebagian sisi yang lain kemudharatan akan menimpa. Padahal salah satu kaidah usul fiqih menyebutkan bahwa "Menolak kerusakan harus lebih diutamakan daripada memperoleh kemaslahatan.
Kembali lagi pada prinsip bahwa negara bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk menggapai tujuan, maka apa pun nama, bentuk negara dan sistem pemerintahan yang dipakai tidaklah menjadi persoalan, asalkan tujuan terbentuknya negara yang telah disepakati oleh para pendiri atau "founding father" NKRI, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, bisa terlaksana. (*)
*) Penulis adalah alumni Ponpes Modern Gontor dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember (Unej)