Surabaya (Antara Jatim) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyerukan penghentian perkawaninan anak dengan mendeklarasikan "Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak", yang salah satunya berlangsung di Jawa Timur.
"Indonesia menduduki peringkat ke tujuh sebagai negara dengan tingkat perkawinan anak tertinggi se- dunia. Salah satu provinsi yang menyumbang angka perkawinan tertinggi di Indonesia adalah Jawa Timur," ujar Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pendidikan dan Budaya KPPPA Elvi Hendrani, di sela Deklarasi Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak untuk wilayah Jawa Timur, yang berlangsung di Surabaya, Minggu.
Dia mengatakan Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak diluncurkan pertama kali oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembesi pada tanggal 3 November 2017 di Jakarta. "Kemudian kami deklarasikan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan sekarang Jawa Timur. Selanjutnya juga akan dideklarasikan di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat," tuturnya.
KPPPA menilai perlu menggelar Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak karena tingkat perkawinan anak di Indonesia tergolong memprihatinkan.
"Setiap tahun terdapat 340,000 anak perempuan, di bawah usia 18 tahun, yang menikah di Indonesia, yang artinya satu dari enam anak perempuan Indonesia menikah di bawah usia 18 tahun," ujarnya.
Di Jawa Timur, bersadarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional tahun 2015, mencatat jumlah perempuan di bawah usia 16 tahun yang menikah atau hamil mencapai 5.000 orang.
"Data tersebut diambil berdasarkan permintaan dispensasi menikah di bawah umur ke Pengadilan Agama Jawa Timur," ucap Elvi.
KPPPA mencatat angka pernikahan anak tertinggi di Jawa Timur terjadi di Kabupaten Sampang, Probolinggo dan Bondowoso.
Dia mencontohkan, berdasarkan data tahun 2015 dari Dinas Pembinaan Potensi Keluarga Besar (DPPKB) Kabupaten Bondowoso, angka pernikahan anak di wilayah setempat sudah mencapai 2.250 kasus.
Sedangkan di Kabupaten Probolinggo, DPPKB setempat mencatat selama Januari - Juni 2016, angka pernikahan usia di bawah 20 tahun mencapai 1.985 pernikahan atau 45,15 persen dari total 4.396 pernikahan.
"Melihat data tersebut, maka kondisinya sudah menuju kedaruratan. Dampaknya tidak hanya bagi anak itu sendiri, namun juga orang tua, keluarga, masyarakat dan negara pada akhirnya," jelasnya.
Elvi menjelaskan, dampak kesehatan bayi yang dilahirkan oleh perempuan yang menikah di bawah umur memiliki risiko kematian lebih besar, yaitu dua kali lipat sebelum usia bayi mencapai satu tahun.
Risiko lainnya adalah terancam penyakit reproduksi seperti kanker servik, kanker payudara dan juga hidup
dalam kegaduhan keluarga karena ketidaksiapan mental orang tuanya dalam membangun keluarga, sehingga menimbulkan perceraian.
"Orang tuanya yang masih usia anak-anak juga kehilangan kesempatan mendapatkan pendidikan," ucapnya. (*)