Tulungagung (Antara Jatim) - LSM PPLH Mangkubumi mendesak aparat kepolisian dan satpol PP di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur tegas dan berkomitmen dalam upaya pelestarian lingkungan di kawasan daerah aliran Sungai Brantas dengan menghentikan aktivitas ratusan ponton penambang pasir ilegal.
"Harus dihentikan secepatnya. Saya kira ini tidak ada kompromi karena kerusakan lingkungan di kawasan DAS Brantas ini sudah sangat parah," kata Direktur Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Mangkubumi Mochammad Ichwan di Tulungagung, Selasa.
Menurut Ichwan, aktivitas penambang pasir mekanik secara serampangan dan tanpa memperhatikan dampak lingkungan sangat membahayakan.
Terlebih jumlah ponton penyedot pasir bermesin diesel di sepanjang aliran Sungai Brantas mulai perbatasan Tulungagung-Blitar di wilayah Kecamatan Rejotangan hingga perbatasam Tulungagung-Kediri di Kecamatan Karangrejo diperkirakan mencapai 100 unit lebih.
Titik konsentrasi penyedotan pasir secara masif dan tanpa terkendali terpantau di tiga lokasi utama, yakni di Ngantru yang berdekatan dengan proyek normalisasi sungai sekaligus kegiatan penambangan resmi oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Brantas bersama PT Wijaya Karya, di wilayah Ngunut, serta Rejotangan.
Dari tiga titik kawasan pencurian pasir di wilayah DAS Brantas itu, terparah terjadi di wilayah Ngantru yang lokasinya berjarak sekitar 1-2 kilometer dari Jembatan Ngujang, penghubung jalan nasional Tulungagung-Kediri.
Aktivitas penyedotan dilaporkan masif terjadi pada dini hari hingga pagi sekitar pukul 06.00 WIB, dilanjutkan lagi mulai pukul 08.00 WIB hingga sore.
Menurut informasi dan investigasi acak yang dilakukan pihak BBWS Brantas di Tulungagung, volume pencurian pasir di kawasan DAS Brantas oleh para penambang pasir ilegal mencapai 100 meter kubik setiap harinya.
"Itu asumsi di satu titik di wilayah Ngantru saja dimana terkonsentrasi belasan ponton liar. Kalau dengan ponton-ponton lain yang tersebar mulai Rejotangan hingga Karangrejo tentunya akan sangat banyak sekali," kata Ichwan.
Ia menilai aktivitas penambangan pasir liar semakin masif dan terbuka sejak PT Wika bersama BBWS Brantas melakukan aktivitas penambangan sirtu di kawasan berizin di wilayah Ngujang, Kecamatan Kedungwaru yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Ngantru tersebut.
"Kehadiran PT Wika dan BBWS yang melakukan penggalian ini, jika memang berizin seharusnya dilakukan sosialisasi secara transparan dan dengan cara yang benar, supaya tidak menimbulkan kesan ada diskriminasi terhadap pelaku pertambangan rakyat," katanya.
Oleh karenanya, Ichwan mendesak dilakukan pembicaraan bersama melibatkan semua pemangku kepentingan dalam upaya penyelamatan dan pelestarian lingkungan di sepanjang kawasan DAS Brantas yang melintas di daerah tersebut.
"Polisi, BBWS, Satpol PP, Perum Jasa Tirta, LSM, masyarakat, pemerintah desa, dinas ESDM dan pertambangan dan lainnya harus duduk bersama membicarakan masalah ini, menyelamatkan lingkungan ekologi Sungai Brantas ini. Selama ini upaya ini tidak pernah dilakukan sehingga aktivitas penambangan dan pencurian pasir terus saja terjadi dan sekarang malah semakin parah," ujarnya.
PPLH Mangkubumi kembali mendesak agar seluruh aktivitas penambangan pasir dan sirtu, baik yang dilakukan para penambang pasir ilegal maupun oleh PT Wika dan BBWS dihentikan terlebih dahulu, sampai ada kesepahaman bersama lintaspemangku kepentingan di Tulungagung mengenai tata kelola kawasan DAS Brantas.
Ichwan mengaku aneh dengan fenomena penambangan pasir liar yang terkesan terjadi "pembiaran" oleh aparat kepolisian maupun satpol PP.
Padahal, kata dia, lokasi penambangan yang melibatkan puluhan truk dan belasan ponton dengan banyak kuli angkut dan oknum warga dan perangkat itu hanya berjarak kurang dari tiga kilometer dari markas kepolisian tingkat kecamatan.
Aktivitas pencurian pasir secara besar-besaran itu bahkan terlihat jelas karena lokasinya yang berada persis di tepi jalan alternatif antarkota yang menghubungkan Tulungagung dengan Blitar di Kecamatan Ngantru.
Polisi sebenarnya pernah satu-dua kali melakukan penyitaan unit truk pengangkut pasir hasil penambangan ilegal itu, namun yang terlihat kemudian diparkir sebagai barang bukti hanya 1-2 unit.
Aktivitas penambangan juga sempat dihentikan, terutama saat terjadi peristiwa kasus Salim Kancil di Lumajang, tetapi kemudian aktivitas penambangan pasir kembali marak dan tidak ada tindakan apapun. (*)