"Anjing kamu! Ngapain kamu di sini! Gua bunuh lu!".
Kata-kata bercampur sumpah serapah itu masih terngiang di telinga Mochamad Nurali. Kemampuan otaknya untuk merekam tragedi di Lushi Hutong, Beijing, pada tahun 1967 itu jauh melampaui gerak tubuhnya yang menurun seiring dengan usianya yang sudah memasuki tahun ke-74.
"Saat itu saya masih berusia 20 tahun," ujarnya dalam bincang-bincang dengan Antara di Hong Kong pada 10 Agustus 2017.
Nurali bekerja sebagai pesuruh di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing pada 1965 hingga 1967 atas ajakan pamannya yang mendapatkan tugas membuka sekolah Indonesia pertama di Ibu Kota China itu.
Pria kelahiran Jombang, Jawa Timur, itu tidak pernah bermimpi tinggal di luar negeri, apalagi bisa bekerja di kantor perwakilan RI, meskipun hanya sebagai tenaga kasar.
Perjalanan karier Nurali pada tahun pertama dan kedua di KBRI Beijing yang saat itu berlokasi di kawasan Lushi Hutong, Distrik Dongcheng, mulus-mulus saja.
Peristiwa kelam 30 September 1965 masih belum mengusik ketekunan Nurali, sekalipun bosnya, Djawoto, mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Duta Besar RI untuk Republik Rakyat Tjina setahun kemudian.
Prahara baru muncul pada 1967. "Saya diminta untuk menutup gerbang KBRI. Saya tidak ingat tanggal dan bulannya. Yang saya ingat jam lima sore saat saya belum selesai mengunci pagar, sudah dilempari batu oleh kerumunan orang di luar," tuturnya.
Nurali pun bergegas masuk ruangan guna menghindari emosi massa yang meluap-luap.
Hingga pukul tujuh malam dia bersembunyi di atas atap gedung KBRI. Mungkin karena kelelahan dia tertidur di talang air hujan gedung KBRI hingga dua pria berselempang sarung membangunkan dan menyuruhnya keluar dari persembunyiannya.
Dua pria itu dikenali Nurali sebagai warga keturunan yang kecewa atas perlakuan pemerintah Indonesia setelah PKI gagal melakukan kudeta.
"Saya dibentak-bentak dan disuruh turun," ujar Nurali yang mengaku tidak tahu persis apakah peristiwa yang dialaminya itu sebelum atau setelah dibekukannya hubungan diplomatik Indonesia-RRT pada 30 Oktober 1967.
Lalu, dia turun dari atap gedung melalui pohon. Dia kemudian digelandang ke halaman depan.
"Ternyata di luar sana massa semakin banyak dan mulai beringas. Seorang dari mereka meludahi saya," katanya.
"Copot itu!" timpal Nurali menirukan perintah seorang pria agar melepas sepatu bot buatan Swiss hasil pemberian anak Djawoto.
Seorang pria lain yang juga berbicara dengan bahasa Indonesia menanyakan daerah asal Nurali.
"Saya jawab Surabaya. Mereka makin kalap dengan mengatakan, Surabaya banyak NU-nya kan?" ujar Nurali yang saat itu merasa jiwanya makin terancam karena memang peristiwa 1960-an di Indonesia juga diwarnai dengan pergolakan NU dan PKI.
Beruntung
Nurali patut bersyukur karena massa yang kalap dan membakar KBRI Beijing pada saat itu tidak sampai menimbulkan jatuhnya korban jiwa.
Bahkan dia merasa beruntung dibandingkan dengan beberapa rekannya yang tidak bisa kembali ke Tanah Air dengan berbagai alasan hingga menyebabkan hilangnya status kewarganegaraan di Indonesia pada awal-awal era Orde Baru, termasuk Djawoto yang menjabat Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk RRT dan Republik Rakyat Mongolia pada 1964-1966.
Setelah insiden di Lushi Hutong pada 1967, Djawoto memilih bertahan di Beijing karena khawatir keselamatan jiwanya dan keluarganya terancam di tengah pembersihan besar-besaran oleh rezim Suharto yang baru berkuasa di Indonesia pada saat itu terhadap orang-orang yang pernah terlibat dalam pemerintahan Soekarno dan orang-orang yang dicurigai sebagai anggota dan simpatisan PKI.
Setelah 15 tahun menetap di China, mantan guru dan wartawan yang pernah memimpin Antara pada awal 1960-an itu pindah bersama keluarganya ke Belanda pada 1979.
Pada 24 Desember 1992, Djawoto meninggal pada usia 86 tahun di Belanda dan jenazahnya dimakamkan di Amsterdam.
Hingga kini foto Djawoto masih terpampang di antara jajaran Dubes China dari masa ke masa di ruang tamu KBRI Beijing di Jalan Raya Dongzhimen Wai No 4.
Berbeda dengan Nurali yang bergabung bersama tujuh staf KBRI Beijing lainnya memilih pulang ke Indonesia, meskipun harus bersusah-payah.
"Saya 'nunut' (menumpang) pesawat China. Sesampainya di Jakarta pada pukul tujuh pagi, saya bersama tujuh orang itu langsung ke rumah Pak Harto (Suharto, Presiden Indonesia pada saat itu) untuk melaporkan situasi di Beijing. Dan Alhamdulillah saya bisa bersalaman dengan beliau," kata Nurali.
Menurut dia, memang satu-satunya jalan agar bisa pulang adalah dengan cara menumpang pesawat dari Beijing ke Jakarta.
"Kalau tidak, terpaksa naik kereta api ke Hong Kong dulu selama tiga hari tiga malam dari Beijing. Itu pun belum tentu aman. Dulu, ada orang yang di-personanongrata-kan naik kereta ke Hong Kong. Di tengah perjalanan dipaksa turun untuk menyembah patung Mao (Mao Zedong, pemimpin revolusi Komunis China)," tuturnya mengisahkan.
Tak berselang lama berada di Jakarta, Nurali mendapatkan tawaran untuk bekerja di Konsulat Jenderal RI di Hong Kong. Tawaran bekerja sebagai pesuruh itu pun diterima Nurali muda.
Badai
Di Hong Kong kisah perjalanan hidupnya benar-benar berubah. Apalagi dia dipertemukan dengan pujaan hatinya bernama Katinem.
Perempuan asal Nganjuk, Jatim, yang saat itu bekerja sebagai pembantu rumah tangga staf KJRI tersebut kemudian dipersuntingnya sebagai pendamping hidup hingga kini.
Setelah 30 tahun bekerja dengan status tenaga honorer, Nurali kembali diterpa cobaan hidup.
Krisis moneter pada 1997 telah mengakibatkan pemerintah Indonesia melakukan penghematan besar-besaran termasuk mengurangi jumlah staf honorer di KJRI Hong Kong.
"Saya salah satunya yang terkena kebijakan yang dulu disebut 'terminate' itu," tuturnya bercerita mengenai berakhirnya masa pengabdiannya selama 30 tahun di KJRI Hong Kong.
Hal itu tidak membuat Nurali dan Katinem yang telah dikaruniai sepasang anak kembar laki-laki dan perempuan tersebut menyerah. Baginya, "terminate" istilah yang digunakan oleh Departemen Luar Negeri RI pada saat itu sebagai kebijakan rasionalisasi jumlah personel bukan akhir dari perjalanan kariernya di Hong Kong.
"Pantang pulang sebelum menang!" kira-kira begitu tekad yang terpatri di lubuk sanubari pasangan suami-istri asal dua desa di wilayah Matraman Jatim itu menjadikan ancaman krisis sebagai titik awal menuju kesuksesan.
Jiwa Nurali sudah tertempa manakala pada awal-awal merantau mengalami penderitaan hidup hingga nyaris menjadi korban kekalapan massal di daratan Tiongkok. Lalu saat di kepulauan pun, dia dan keluarganya diempas badai krismon.
Satu-satunya jalan agar bisa bertahan di negeri orang adalah merintis usaha secara mandiri.
Di tengah badai krismon pada 1997 itulah, Nurali dan istrinya membuka Warung Malang. "Saya menamakannya Warung Malang karena pada saat itu TKI yang bekerja di Hong Kong kebanyakan berasal dari Malang," ujarnya.
Disewanya salah satu petak ruang di lantai II Dragon Rise Building yang berdiri di Pennington Street No 9-11, Causeway Bay, dengan ongkos sewa 18.000 dolar HK per bulan.
Ruang yang serba terbatas itu dipisah menjadi dua bagian, yakni dapur dan tempat untuk meja-kursi makan.
Menu yang disajikannya beragam masakan khas Jawa, seperti pecel, rames, kare ayam, bakso, dan lain-lain untuk memenuhi selera para TKI dan beberapa staf KJRI tentunya.
Tidak hanya TKI dan WNI yang ada di Hong Kong, pengunjung Warung Malang tersebut juga berasal dari Malaysia, Singapura, dan Brunei.
Apalagi Warung Malang masuk dalam katalog salah satu restoran yang menjual menu halal di Hong Kong.
"Memang banyak rumah makan yang menyediakan masakan Indonesia di Hong Kong, namun yang punya sertifikat halal dari asosiasi muslim sini hanya warung saya," kata Nurali yang mengaku untuk mendapatkan sertifikat itu melalui tahap yang sangat ketat dan berkelanjutan sampai sekarang.
Sayangnya, dia enggan menyebutkan omzet harian. Namun, saat Antara beberapa kali berkunjung ke warung itu tidak pernah sepi dari pembeli.
Pada hari-hari biasa, Warung Malang mempekerjakan dua orang pembantu, sedangkan pada akhir pekan saat para TKI libur, pekerjanya pun menjadi empat orang.
"Yang jelas lebih dari cukup untuk membayar gaji pekerja dan ongkos sewa yang sekarang ini menjadi 30.000 dolar HK (Rp51,6 juta) per bulan," kata Nurali yang sudah dua kali menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama istri tercintanya itu.
Bahkan penghasilannya saat ini jauh lebih besar dibandingkan dengan penghasilan yang diperolehnya saat pertama kali bekerja di KJRI yang hanya 350 dolar HK per bulan.
Dia tidak pernah gamang, meskipun saat ini warungnya tidak seramai dulu seiring dengan bertumbuhnya rumah-rumah makan yang menjual beragam masakan khas Nusantara di sekitar KJRI Hong Kong di kawasan Causeway Bay.
Di mata TKI, Nurali dan Katinem yang kini berusia 60 tahun seperti orang tua yang kapan saja siap menyajikan hidangan ala kampung itu. Anak-anaknya pun hidup berkecukupan dengan keluarganya masing-masing di Hong Kong.
"Terima kasih. Mudah-mudahan apa yang dimakan dari warung saya mendapatkan berkah dari Allah dan bisa menambah kekuatan untuk mencari nafkah sehari-hari," ucapnya menyalami beberapa pembeli.
Nurali biasanya mengunjungi warungnya mulai pukul 10.00 waktu setempat (09.00 WIB) setelah beriktikaf sejak subuh di Masjid Amar Islamic Union.
"Semua yang saya dapatkan sekarang ini tentunya dari Allah yang mungkin saja perantaranya melalui ludah orang China itu," kata Nurali yang segera bergegas dari kursinya untuk menunaikan shalat dzuhur.(*)
Video oleh M Irfan Ilmie