Surabaya (Antara Jatim) - Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabaya menyadari sebagian besar tersangka kasus narkotika dan obat/ bahan berbahaya (narkoba) yang telah ditangkap dan memenuhi sel tahanan adalah juga tergolong sebagai korban dari jaringan bandar di atasnya.
Saat ini, tercatat dari 1 Juli hingga 15 Agustus, Polrestabes Surabaya menahan sebanyak 196 tersangka dari 161 kasus narkoba dari berbagai tempat kejadian perkara di wilayah Kota Surabaya. Para tersangka tersebut terdiri dari 185 orang laki-laki dan 11 perempuan.
"Bisa jadi para tersangka ini merupakan bagian dari korban kejahatan narkoba. Untuk itu saya berkomitmen untuk terus mengejar pelaku intelektualnya," ujar Kepala Polrestabes Surabaya Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) Muhammad Iqbal, saat dikonfirmasi pada 15 Agustus lalu.
Untuk itu, Mantan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Metro Jaya ini merangkul segenap lapisan masyarakat untuk bersama-sama menyatakan perang terhadap kejahatan narkoba.
Salah satunya, saat merilis tangkapan ratusan tersangka tersebut, yang dilanjutkan dengan pemusnahan barang bukti dari kasus narkoba yang telah disidangkan pada 15 Agustus lalu, Iqbal mengundang berbagai lapisan elemen masyarakat untuk turut menyaksikan.
Pada hari itu, Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Polisi Tito Karnavian memang menginstruksikan seluruh jajarannya untuk bersama-sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) se- Indonesia memusnahkan bebragai jenis barang bukti narkoba yang perkaranya telah diputus pengadilan.
"Di Surabaya, kami tak cuma mengundang aparat dari instansi terkait seperti kejaksaan dan pengadilan negeri untuk menyaksikan kegiatan pemusnahan barang bukti narkoba, melainkan juga mengundang berbagai elemen masyarakat. Sebagai bukti bahwa kepolisian dan masyarakat menjadikan kejahatan narkoba sebagai musuh bersama," ucapnya.
Terlebih, kegiatan pembakaran barang bukti narkoba tersebut digelar pada momen peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke- 72, menurut Iqbal sekaligus untuk mengobarkan semangat perjuangan melawan kejahatan narkoba sebagai musuh bersama.
Penjajahan Narkoba
Berbagai literatur sejarah menunjukkan Indonesia telah dijajah melalui perdagangan narkoba sejak sebelum kolonial Belanda dengan kongsi dagang Perusahaan Hindia Timur Belanda atau "Vereenigde Ost Indische Companie" (VOC) menginjakkan kakinya di Bumi Nusantara.
Buku "Opium to Java" yang ditulis James R Rush di tahun 1882 menggambarkan sejak sebelum VOC berkuasa di tanah air pada awal abad ke- 17, opium adalah komoditas penting dalam perdagangan dunia yang diperebutkan oleh Inggris, Denmark dan Belanda.
Menurut buku yang diterbitkan kembali oleh Cornel University Press di tahun 1990, dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Penerbit MataBangsa di tahun 2000 itu, menyebut Belanda kemudian memenangkan monopoli perdagangan opium di Indonesia sejak tahun 1677, dengan menggandeng para pedagang elit Cina sebagai pelaksananya.
Di antaranya VOC mendapatkan perjanjian dengan Raja Jawa Amangkurat II untuk memasukkan candu ke Mataram, sekaligus memonopoli perdagangan candu ke seluruh pelosok negeri. Perjanjian serupa juga ditandatangani di Cirebon setahun kemudian.
Tercatat, dalam kurun waktu 1619-1799, VOC bisa memasukkan 56.000 kilogram opium mentah setiap tahun ke Jawa dan pada tahun 1820 tercatat sebanyak 372 pemegang lisensi untuk menjual opium di Indonesia.
Rush, melalui buku "Opium to Java" juga mengungkap, bersamaan dengan perdagangan opium yang secara resmi digerojok VOC ke Indonesia, juga marak penyelundupan komoditas yang berasal dari bunga poppy (papaver somniferum) itu, tentunya dengan harga yang lebih murah.
Penyelundupan opium di Indonesia menyebabkan penikmat candu tersebar di berbagai kalangan masyarakat dan meluas di Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan Rush dalam buku tersebut membuat perbandingan satu dari 20 orang Jawa di era itu mengisap candu.
Melawan Narkoba
Pada era VOC memonopoli perdagangan candu di Indonesia, sebenarnya telah muncul berbagai kelompok masyarakat yang berupaya memeranginya. Salah satunya diserukan oleh Raja Paku Buwono IV.
Penguasa Surakarta yang memerintah pada era 1788-1820 itu menuliskan ajaran moral yang benar melalui syair panjang berjudul “Wulang Reh”, yang berarti ajaran berperilaku benar.
Lewat syair itu dia menggambarkan pemadat sebagai pemalas dan orang yang bersikap masa bodoh, yang hanya gemar tidur di bale-bale untuk mengisap candu.
Karya syair itu ditulis menindaklanjuti seruan Paku Buwono II, yang memerintah di era 1745 – 1749, yang menyerukan larangan mengisap opium bagi seluruh keturunannya.
Belakangan Pujangga Ronggowarsito mengungkap peringatan Paku Buwono IV terhadap bahaya candu opium adalah terkait dengan merosotnya nilai-nilai moral kerajaan di Jawa yang justru membantu dan mempercepat perpecahan politik dan perbudakan oleh kolonial Belanda terhadap pihak kerajaan, yang semakin menindas rakyat.
Pemerintah Kolonial Belanda sendiri pada akhirnya menyadari akbiat dari monopoli perdagangan opium telah menyebabkan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia. Sehingga di tahun 1880 mencetuskan gerakan etis untuk menumbuhkan kemakmuran warga pribumi yang telah terpuruk akibat kecanduan opium.
Jauh setelah itu Pemerintah Kolonial Belanda baru menerbitkan Undang-undang (UU) antinarkoba (Verdovende Middelen Ordonantie) yang mulai diberlakukan pada tahun 1927 (State Gazette No.278 Juncto 536), yaitu menyusul maraknya penyalahgunaan modifikasi candu bernama morfin.
Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia, seiring kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang begitu pesat dan melahirkan berbagai jenis narkoba, pemerintah menilai UU antinarkoba warisan Kolonial Belanda tahun 1927 sudah tidak relevan lagi.
Maka Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan UU Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika.
Dengan semakin merebaknya kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia, UU tersebut terus mengalami revisi, di antaranya menjadi UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, menyusul kemudian diterbitkan pula UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
Terakhir, pemerintah merevisinya menjadi UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang diberlakukan hingga sekarang, yang di dalamnya mengatur pasal-pasal ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika, dengan pemberian sanksi terberat berupa hukuman mati.
Di luar itu, Presiden Republik Indonesia telah menerbitkan instruksi (Inpres) Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional (BAKIN) untuk membentuk sebuah badan khusus yang bertugas menanggulangi bahaya narkoba.
Badan khusus ini mulai mendapat alokasi dana secara otonom untuk menanggulangi masalah narkoba dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di tahun 2003, dan sejak itu dikenal dengan nama Badan Narkotika Nasional (BNN), yang bertugas menegakkan implementasi UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, selain yang juga menjadi kewenangan kepolisian.
Pemberantasan dan Pencegahan
Jika dalam sejarahnya VOC sejak abad ke- 17 memasok perdagangan opium ke Indonesia melalui para elit dari negeri Cina, sampai sekarang ternyata polanya masih sama.
Kepala Bidang Pemberantasan BNN Provinsi Jawa Timur Ajun Komisaris Besar Polisi Wisnu Candra dalam kesempatan di Surabaya mengatakan sebagian besar kasus narkoba, khususnya jenis sabu-sabu, yang selama ini terungkap berasal dari negeri Cina.
"Polanya adalah dari Cina dikirim ke Malaysia, kemudian masuk ke Indonesia melalui Aceh," katanya.
Setelah itu, dia menambahkan, setelah narkoba yang dipasok dari Cina itu tiba di Aceh, kemudian dikirim ke Jawa Timur melalui Medan menuju ke Surabaya.
"Kami menyebutnya jaringan narkoba Aceh-Medan," ucapnya.
Sampai sekarang, Wisnu memastikan, petugas BNN Provinsi Jawa Timur terus berupaya memberantas jaringan narkoba Aceh-Medan dengan melakukan pengintaian terhadap upaya pengiriman ke Jawa Timur.
Terakhir, upaya pengintaian petugas BNN Provinsi Jawa Timur tersebut membuahkan hasil, yaitu dengan menangkap dua orang kurir jaringan narkoba Aceh-Medan dan menembak mati seorang bandar asal Sidoarjo yang menjadi pemesannya pada 11 Agustus lalu.
Kepala Polrestabes Surabaya Kombes Pol Muhammad Iqbal menyatakan akan bertindak tegas terhadap siapapun yang mencoba memasok perdagangan narkoba di Kota Surabaya.
"Saya ingatkan jangan coba-coba menjual narkoba di Surabaya. Saya sudah perintahkan petugas untuk bertindak tegas terhadap pemasok narkoba,” ucapnya.
Peran Masyarakat
Karena narkoba merusak generasi bangsa, sebagaimana sejarah telah membuktikan Kolonial Belanda menjajah Indonesia melalui candu opium yang menyengsarakan rakyat di abad 17, maka Kapolrestabes Iqbal mengajak peran serta masyarakat untuk bersama-sama memeranginya.
Dia lebih lanjut mengapresiasi Dewan Perwakilan Daerah Gerakan Nasional Antinarkotika Jawa Timur (DPD Granat Jatim) yang sejak dua tahun terakhir gencar menyosialisasikan bahaya narkoba terhadap para pelajar dan mahasiswa di Surabaya dan kota/ kabuptaen lain di Jawa Timur.
Ketua DPD Granat Jatim Arie Soeripan Tyawatie, dalam kesempatan bertemu di Polrestabes Surabaya belum lama lalu meyakini kegiatan sosialisasi dengan masuk ke kampus-kampus dan sekolah-sekolah yang telah rutin dilakukannya efektif sebagai tindakan pencegahan terhadap generasi muda untuk menjauhi narkoba.
"Minimal seminggu sekali kami harus masuk kampus atau sekolah untuk menyosialisasikan bahaya narkoba," katanya.
Terakhir sosialisasi dilakukan Arie bersama DPD Granat Jatim terhadap para mahasiswa baru di Universitas Bhayangkara Surabaya pada 21 Agustus.
Belum lama lalu, Yayasan Orbit juga telah mendirikan Rumah Sehat Orbit Surabaya (SOS) di Perumahan Margorejo Indah Surabaya sebagai tempat rehabilitasi bagi para korban pecandu narkoba.
Saat "launching" pada 21 Juli lalu, Pembina Rumah SOS Rudhy Wedhasmara mengatakan bahwa para korban narkoba harus dirangkul untuk dibantu.
Dia menyesalkan jika masyarakat justru menjauhi para pengguna narkoba.
"Rata-rata per tahun yayasan kami menangani sebanyak 100 hingga 150 orang, baik itu yang minta direhabilitasi dengan sendirinya maupun yang direhabilitasi karena putusan pengadilan. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun," katanya.
Untuk itulah Rumah SOS hadir bagi para korban narkoba yang butuh bantuan di Kota Surabaya, dengan menyediakan fasilitas dokter, pendamping konselor, psikiater, psikolog dan juga pekerja sosial.
Berkapasitas 50 tempat tidur bagi korban yang menjalani rehabilitasi inap di Rumah SOS, dia memastikan tidak mematok biaya tertentu. "Karena kami juga telah mendapat bantuan dari Kementerian Sosial," ucapnya. (*)