Jember (Antara Jatim) - Sejumlah pakar dari tujuh negara membahas persoalan kedaulatan pangan dalam kegiatan konferensi internasional bertema "Building of Food Sovereignity through a Sustainable Agriculture" (FoSSA) di Kampus Universitas Jember, Jawa Timur, 1-3 Agustus 2017.
Ketua Panitia Kegiatan FoSSA Prof Yuli Hariyati, Rabu, mengatakan konferensi tersebut digelar dengan tujuan membahas berbagai perkembangan terakhir di bidang pertanian, pangan, dan energi sekaligus menjadi wahana bertukar pengalaman dan riset yang telah dilakukan.
"Jumlah peserta mencapai 276 orang dari kalangan akademisi, peneliti, pemerintah dan mahasiswa yang berasal dari tujuh negara yakni Australia, Taiwan, Jepang, Thailand, Srilanka, Jerman dan Indonesia sebagai tuan rumah," katanya di Kampus Universitas Jember (Unej).
Dosen Fakultas Pertanian itu mengatakan konferensi internasional itu mendapatkan dukungan dari Universitas Andalas Padang, Universitas Warmadewa Denpasar, serta UPN Veteran Surabaya.
"Bahkan dukungan juga diberikan oleh para peneliti pertanian, pangan, dan energi yang tergabung dalam The Asia Pasific Network for Suistainable Agriculture Food and Energy," tuturnya.
Ia berharap kegiatan FoSSA dapat dilakukan secara berkala dan melahirkan Pusat Kedaulatan Pangan di Fakultas Pertanian Universitas Jember karena kampus yang berada di Kabupaten Jember itu menjadi pusat keunggulan di bidang pertanian.
"Sebanyak 188 karya ilmiah dan 36 poster ilmiah terkait pertanian, pangan dan energi yang akan dipresentasikan dan ditambah dengan materi dari 12 pembicara utama saat konferensi berlangsung selama tiga hari," ujarnya.
Salah satu tema yang dibahas dalam pertemuan para ahli pertanian, pangan dan energi dari tujuh negara itu yakni pertanian berkelanjutan dan perubahan iklim yang berpotensi mengancam kedaulatan pangan seperti dampak fenomena La Nina terhadap pertanian tembakau.
Sementara Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nur Masripatin mengatakan Indonesia menghadapi masalah terkait perubahan iklim.
"Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar, dan belum adanya pemahaman yang komprehensif mengenai perubahan iklim, terutama oleh kalangan petani yang akan mengalami dampak langsung dari perubahan iklim," tuturnya saat pembukaan kegiatan FoSSA pada Selasa (1/8).
Ia mengatakan pihaknya memiliki dua program utama dalam menghadapi perubahan iklim yakni yang pertama program mitigasi yang meliputi pengurangan emisi gas kaca, mencegah kerusakan hutan, pegembangan energi terbaharukan serta pengolahan limbah.
"Kemudian program kedua adalah adaptasi yang difokuskan pada bidang ekonomi dengan menyelaraskan antara pembangunan ekonomi dengan pelestarian alam," katanya.(*)