Mengendarai mobil jelajah produksi masa perang dunia II membelah belantara perkebunan kopi di kaki lereng Gunung Kelud, menjadi sensasi menyenangkan bagi Luis Tsulasa dan Iis, saat berkunjung ke objek wisata perkebunan Karanganyar, Blitar.
Objek wisata yang terletak di Dusun Karanganyar, Desa Modangan, Kecamatan Nglegok, ini sebenarnya bukan tujuan utama pasangan petualang lintasgunung asal Gresik ini saat berkunjung ke Kabupaten Blitar, Jawa Timur.
Saat berkontak dengan sahabatnya sesama petualang yang asli Blitar, Dewi T Malik, Ludik dan Iis hanya terobsesi untuk menikmati sensasi bertualang ke Gunung Kelud, melalui jalur wisata yang biasa ditempuh menggunakan mobil.
Sayangnya, objek wisata gunung berapi yang baru beberapa tahun muntah berat sehingga melemparkan material gunung anakan pada 2014 itu masih tertutup untuk wisatawan.
Rencana mendakipun dibatalkan. Sebagai gantinya, Dewi dan Farhan membawa kedua temannya itu ke perkebunan kopi Karanganyar, "De Karanganjar Koffieplantage".
Lokasinya tak jauh dari pusat Kota Blitar, sekitar 10 kilometeran. Dari Makam Sang Proklamator, Presiden ke-1 RI Ir Soekarno atau Bung Karno yang terletak di Kelurahan Sentul, Kota Blitar, tinggal jalan lurus ke arah utara searah menuju Gunung Kelud. Sekitar 15-20 menit jika menggunakan mobil atau sepeda motor.
"Cocok," fikir Ludik dalam hati. Rasa penasaran Ludik terhadap sensasi "ngopi" dengan seduhan kopi khas Jawa ala perkebunan kopi Karanganjar rupanya langsung membuncah. Maklum saja, si pengusaha roti bakery asli Jombang yang kini menetap di Gresik bersama sang istri Iis ini memang paling doyan sama kopi-kopi Nusantara.
Apalagi, Farhan menjanjikan ada nuansa petualangan disajikan di perkebunan yang mulai dikembangkan sebagai objek wisata antimainstream sejak 2016 oleh pengelola yang masih di bawah manajemen mantan Bupati Blitar periode 2006-2016. Nama wahananya, "Cross Country 4x4 De' Karanganyar".
Tak hanya menjelajah membelah perkebunan kopi yang kini didominasi tanaman sengon, durian dan aneka tanaman ladang lain, mobil offroad jenis jeep keluaran era Perang Dunia II ini siap menghantar menjelajah antarbukit di kaki lereng Gunung Kelud yang ekstrem.
Namun saat pertama menjejakkan kaki di kawasan perkebunan peninggalan kolonial Belanda ini sekitar pukul 10.00 WIB, Luis atau yang biasa disapa Ludik dan istri serta beberapa temannya ini tak langsung menjajal wahana jeep offroad yang ditawarkan.
Seperti juga wistawan lain yang siang di akhir pekan itu mulai ramai, mereka lebih dulu menikmati pemandangan alam yang dipadu beberapa bangunan lawas dan modifikasi di dalamnya.
Unsur bangunan penghias destinasi perkebunan yang mulai dibuka untuk wisatawan sejak 2016 itu antara lain rumah loji, kafe dengan konsep kolonial (onze grootouders cafe), museum pusaka, museum purnabakti, rumah joglo hingga pabrik pengolahan biji kopi.
Di luar (outdoor), masih banyak pilihan wahana menarik bagi anak-anak maupun orang dewasa, mulai spot untuk swafoto, arena outbond untuk permainan anak, taman bunga, wisata petik kopi, durian hingga area untuk komunitas pecinta anjing dan sebagainya.
Cukup lama Ludik-Iis dan dua kawannya Dewi dan Farhan melihat-lihat area dalam rumah loji yang merupakan kediaman turun-temurun keluarga pengusaha pengelola HGU perkebunan kopi Karanganyar tersebut.
Sempat melihat-lihat sejenak beberapa spot museum, ruang pengolahan kopi de Karanganjar, hingga menikamti hidangan kopi di onze grootouders cafe yang gedung bangunannya dari luar mirip benteng Belanda itu, Ludik dan kawan-kawan akhinya tiba saat menikmati wahana offroad yang memang telah dipesan sebelumnya.
Sensasi Jelajah Offroad 4x4 WD
Bagi penggemar olahraga offroad, mengendarai jeep perang dan menerjang medan terjal nan ekstrem laiknya di kawasan perkebunan Karanganyar laiknya yang ada di lereng Gunung Kelud sudah menjadi hal biasa.
Namun tidak demikian halnya bagi yang bukan offroader murni, apalagi awam. Ludik dan Farhan merupakan salah dua yang ingin menjajal sensasi bekendara di medan ekstrem dengan menggunakan mesin 4X4 tersebut.
Dua jeep sekaligus mereka sewa. Satu jeep keluaran 1941 yang menggunakan kap terpal portabel dikemudikan oleh operator bernama Arik, membawa Dewi-Iis dan Ludik, sementara satu jeep model terbuka 1943 yang dioperatori Paidi membawa Farhan, Edwiana, Eko dan koresponden Antara Destyan Sujarwoko.
Tapi rupanya si Farhan yang unik tak mau semata menikmati goncangan kendaraan offroad di perjalanan rute panjang mengitari lereng Gunung Kelud dengan duduk dibangku sebelah sopir, seperti pengunjung-pengunjung lain pada umumnya.
Sejak awal start di ujung lapangan arena outbond atau depan museum pusaka dan rumah joglo, farhan langsung ambil alih kemudi dari operator.
Tentu saja ia masih harus mempelajari beberapa teknis operasional kendaraan jeep perang ber-stir kiri tersebut, termasuk dalam kontrol kopling-perseneleng dan cara mengganti dari sistem dua langkah ke 4WD untuk melewati tanjakan terjal.
Alhasil, meski beberapa kali sempat tersendat wisata petualangan dengan offroad pun berjalan. Sejumlah jalanan terjal menanjak curam berhasil dilewati walau sesekali mati.
Cukup berhasil mengendarai jeep lawas tanpa power steering dan pengoperasian yang serba manual, rupanya membuat Ludik yang menumpang di jeep belakang tidak mau ketinggalan.
Sampai di area perkebunan Sengon, giliran Ludik yang menjajal kebandelan mobil peninggalan perang tersebut.
Digenjotnya dengan sediki tersendat hingga akhirnya sampai salah satu puncak bukit yang menjadi lahan perkebunan tebu. Lokasinya persis di seberang atau berhadapan langsung dengan gugusan puncak Gunung Kelud.
Bagi Farhan dan Ludik, sensasi mengendarai offroad yang jarang mereka lakukan tentu saja menyenangkan. Begitupun yang dirasakan Iis, Dewi, Edwiana maupun Eko yang manajer wahana wisata offroad tersebut.
Bedanya adalah, sensasi Farhan dan Ludik dirasakan penuh tantangan menaklukkan medan yang berat menurut mereka, namun belum cukup berat bagi pecinta offroad sejati.
Sementara bagi Iis-Dewi dan kawan-kawan, bertahan dalam goncangan mobil offroad yang terkadang melintasi tepian jurang diwarnai rasa was-was mengingat pengemudi yang masih belajaran tapi nekat menguji adrenalin.
Hampir sejam perjalanan offroad tersebut dilakukan. Sensasinya sangat terasa. Bukan saja oleh pengalaman bertualang menumpang mengendarai mobil jelajah segala medan jenis jeep perang dunia itu, ta juga pemandangan belantara alam di kaki lereng Gunung Kelud areal perkebunan kopi Karanganyar seluas 300 ribu hektare yang masih sangat asri.
Aksi berkeliling kawasan perkebunan hingga lereng Gunung Kelud berakhir di pos sumber air Karanganyar yang sangat jernih. Sempat istirahat sebentar dan membasuh muka, Ludik cs kembali memacu deru kendaraan offroad mereka menuju pusat wisata "De Karanganjar Koffieplantage".
Eko menuturkan, wahana jasa wisata offroad ditawarkan dengan paket harga murah kepada pengunjung yang berminat, yakni Rp100 ribu per kendaraan untuk paket pendek (dua kilometer) dan Rp300 ribu untuk trek panjang (sekitar tujuh kilometer).
"Karena masih tahap pengenalan, kami ingin mengedukasi pengunjung untuk mencintai olahraga offroad sekaligus menikmati pemandangan alam di perkebunan Karanganyar yang masih luar biasa asri," kata Eko.
Menurutnya, wisata antimainstream yang sekarang mereka kembangkan bekerjasama dengan pengelola perkebunan Karanganyar, PT Harta Mulia, kelak masih akan terus dikembangkan sehingga pengunjung mendapat banyak opsi berwisata adrenalin, termasuk kemungkinan membuka jalur offroad hingga Gunung Kelud.
Kedengarannya mimpi Eko dan kawan-kawan ini menarik untuk ditunggu sehingga wisatawan yang berkunjung ke Blitar, memiliki pilihan wisata yang jauh lebih menarik dibanding destinasi mainstream lain yang sudah ada. (*)