Surabaya (Antara Jatim) - Sulistyo Wahono membudidayakan tanaman tin di halaman balkon lantai dua rumahnya, Jalan Simorejo Sari B XIII/ 11A, Kecamatan Sukomanunggal, Surabaya, yang diyakini sangat berkhasiat untuk kesehatan.
Pria berusia 48 tahun yang akrab disapa Sulis itu takjub saat pertama kali mendapati buah tin pada awal bulan Januari tahun 2007 silam. Saat itu dia bersama istri, Ardy Anik Setiawati, sedang menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekah, Arab Saudi.
"Usai menunaikan ibadah haji, sebelum kembali ke tanah air, ketua rombongan mengajak kami jalan-jalan ke kebun kurma di Mekah," kenangnya, saat ditemui di balkon lantai dua rumahnya, yang dipenuhi oleh tanaman tin, Minggu.
Namun kebun kurma saat itu penuh dengan wisatawan, yaitu rombongan jamaah haji dari berbagai negara, yang juga mengisi waktu berwisata sebelum kembali ke tanah airnya masing-masing.
Sambil menunggu giliran masuk ke kebun kurma, Sulis bersama istri mampir ke sebuah kedai tak jauh dari lokasi kebun kurma.
Kedai itu menyediakan berbagai makanan dan jajanan khas setempat yang dapat dibuat untuk oleh-oleh. Di kedai itulah Sulis mendapati buah tin yang telah diolah dan dikemas dalam bentuk jajanan manisan atau permen.
Ingatannya langsung tertuju pada surat At Tin, yang berarti buah dari tanaman Tin, sebagaimana tertulis dalam kitab suci Al Quran. Pada surat ke- 95 kitab suci bagi umat Islam itu, Allah salah satunya bersumpah atas nama buah Tin.
"Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, demi Gunung Sinai, dan negeri (Mekah) yang aman ini; Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; maka mereka akan mendapat pahala yang tidak ada putusnya, maka apakah yang menyebabkan (mereka) mendustakan (tentang) hari pembalasan setelah (adanya keterangan-keterangan) itu? Bukankah Allah hakim yang paling adil?".
Begitulah kira-kira keseluruhan tafsir terjemahan dari delapan ayat yang tercantum dalam surat At Tin.
"Ternyata buah tin itu memang benar-benar ada," ucap Sulis, yang semula mengira buah tin sebagaimana tercantum dalam surat At Tin hanyalah sebuah simbol bagi buah yang hanya ada di surga.
Selanjutnya konsentrasi Sulis hanya tertuju pada buah tin yang ditemuinya di kedai yang tak jauh dari kebun kurma itu. Meski tiba giliran masuk ke tempat wisata kebun kurma di Mekah, yang selalu tertanam di benaknya adalah bagaimana caranya bisa mendapatkan tanaman tin agar bisa dibudi daya di rumah.
Pecinta Tanaman
Sulis mengaku sejak kecil memang sangat menyukai tanaman. Hingga dia bersama istrinya pergi menunaikan ibadah haji di tahun 2007, aktifitasnya adalah berkebun tanaman hias.
"Waktu itu kami masih mengontrak rumah di Jalan Jepara, Kecamatan Krembangan, Surabaya. Halaman rumah kontrakan kami tanami dengan tanaman hias," ujar pria asal Ponorogo, Jawa Timur, ini.
Dari rumah kontrakannya itulah Sulis menggali informasi tentang bagaimana caranya bisa mendapatkan bibit tanaman tin agar bisa dibudidaya sendiri.
"Ya, menggali informasi dari internet maupun bertanya-tanya kepada para tetangga yang saudaranya bekerja di Arab Saudi," katanya.
Hingga diperoleh keterangan dari seorang tetangga yang suaminya bekerja di Jeddah, Arab Saudi, dan menyanggupi bisa mendatangkan bibit tanaman tin untuk dipaketkan ke Surabaya.
Tak tanggung-tanggung, waktu itu, bulan Juni 2007, Sulis langsung memesan sebanyak 200 bibit tanaman tin. "Per bibit harganya Rp300 ribu. Saya pesan untuk dipaketkan sebanyak 200 bibit," ucapnya.
Rumah yang ditempatinya saat ini, di Jalan Simorejo Sari B/ XIII, waktu itu sudah dibelinya dalam bentuk tanah. Di sanalah Sulis membudidayakan 200 bibit yang diperolehnya dari Jeddah itu.
"Dalam waktu enam bulan sudah berbuah. Saya membudidayakannya dengan cara dicangkok. Pupuknya pakai pupuk kandang," ujarnya.
Semula hasil budidayanya tidak untuk dijual. "Semula saya ingin membudidayakan tanaman tin untuk syiar, yaitu untuk menunjukkan bahwa tanaman tin sebagaimana yang tercantum dalam surat At Tin memang benar-benar ada," katanya.
Seiring waktu berjalan, Sulis juga mempelajari khasiat yang terkandung dalam tanaman tin, yang ternyata daunnya sangat ampuh untuk menyembuhkan berbagai macam jenis penyakit.
Maka syiar yang dijalankannya kemudian tak hanya untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa tanaman tin sebagaimana tercantum dalam surat At Tin memang benar-benar ada, melainkan juga berkhasiat sebagai tanaman herbal yang dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.
"Karena sudah terbukti. Banyak teman-teman yang sakit, seperti menderita diabetes pada kakinya, yang kata dokter harus diamputasi, setelah diterapi secara rutin dengan meminum ramuan dari daun tin, tiba-tiba luka diabetes di kakinya kering dengan sendirinya," tuturnya.
Pengalaman dari seorang teman Sulis lainnya, yang menderita penyakit kanker dan telah lama berobat ke rumah sakit di Singapura, setelah mencoba menerapinya dengan ramuan herbal tanaman tin, sekarang sudah merasa sehat.
Sejak itulah, di tahun 2008, banyak orang ingin menanam sendiri tanaman tin di rumahnya untuk keperluan herbal.
"Mereka memaksa ingin beli bibitnya untuk dibudidaya sendiri di rumah dan itulah pertama kali saya menjualnya," ungkapnya.
Tembus Ekspor
Sulis menjual bibit tin dengan harga beragam, mulai dari harga Rp100 ribu hingga Rp10 juta per bibit.
"Tergantung jenisnya. Sebab ternyata jenis tanaman tin ini ada banyak. Sejak tahun 2009 saya mulai mengoleksi berbagai jenis tanaman tin yang berasal dari Prancis, Turki, Israel, dan bahkan Amerika Serikat," katanya.
Dia mengatakan bibit tanaman tin termahal adalah yang berasal dari negeri Prancis. “Saya beli seharga Rp2 juta per bibit yang dari Prancis," ucapnya. Sulis pun meraup banyak keuntungan dari kian banyaknya orang-orang yang ingin membeli bibit tin darinya untuk dibudidaya sendiri di rumah.
Bahkan penjualan bibit tin yang dilakukannya, terhitung tahun 2009 hingga kini, telah sukses menembus pasar ekspor hingga ke Timor Leste, Malaysia, Brunei Darussalam, Hongkong dan Taiwan.
"Yang saya ekspor tak hanya bibit tin saja. Tapi kemasan daun tin kering yang untuk herbal itu," katanya. Sulis mengemas daun tin kering ke dalam toples plastik dengan berat kotor 60 gram seharga Rp50 ribu per toples.
"Pakai toples dari plastik sebab kalau pakai toples yang terbuat dari kaca importirnya yang gak mau. Sebab pengaruh pada harga di ekspedisinya, semakin berat volumenya ketika ditimbang, semakin mahal harga kirimnya," jelasnya.
Sulis mengekspor kemasan daun tin kering dalam kemasan toples tersebut dalam bentuk curah kering seharga Rp400 ribu per kilogram. "Lumayanlah, saya bisa menghasilkan uang jutaan dari aktivitas ekspor yang rutin sebulan sekali ini," ungkapnya.
Dari penjualan bibit tanaman tin yang hingga menembus pasar ekspor inilah Sulis bisa membangun rumah yang ditempatinya saat ini di Jalan Simorejo Sari B XIII/ 11A Surabaya. Sebuah rumah yang dulunya menjadi lahan awal tempat budidaya sebanyak 200 bibit tanaman tin yang didapatnya dari seorang tetangga yang bekerja di Jeddah, Arab Saudi.
Sejak rumah itu dibangun, Sulis melanjutkan budidaya tanaman tin di halaman balkon lantai dua rumahnya yang cuma seluas sekitar 4 x 5 meter. Di halaman balkon itu, tanaman-tanaman tin tersebut tumbuh subur meski ditanam di atas "polybag" dan pot.
"Alhamdulillah, dari hasil budidaya tanaman tin ini saya kemudian bisa beli mobil. Saya juga bisa membesarkan dan menyekolahkan anak-anak hingga ke bangku kuliah," ucap ayah dari Annisa Aulia (21) yang kini kuliah di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya dan Arrijal Nur Firdaus (19) yang kini kuliah di Universitas Brawijaya Malang.
Sebuah pencapaian yang tak pernah terpikirkan oleh Sulis yang berpendidikan sebagai seorang sarjana keguruan dari Universitas PGRI Adi Buana Surabaya.
"Saya sempat mengajar matematika di SMA PGRI 5 Surabaya. Lalu pernah menekuni sebagai tukang servis brankas, selain pernah berkebun tanaman hias dan sesekali memenuhi panggilan hajatan sebagai pemain keyboard elekton," ujarnya.
Kini semua pekerjaan itu ditinggalkannya demi memfokuskan diri pada budidaya tanaman tin di halaman balkon lantai dua rumahnya untuk memenuhi permintaan ekspor.
Kebun Tin
Meski telah meraup banyak keuntungan dari penjualan bibit tanaman tin dan kemasan herbal daun tin kering yang telah menembus pasar ekspor, Sulis tetap tak pernah melupakan niat awalnya untuk melakukan syiar kebaikan dari budidaya tanaman yang terinspirasi dari surat At Tin sebagaimana terkandung dalam kitab suci Al Quran ini.
Salah satunya, di tahun 2010, dia membeli lahan seluas 1200 meter persegi di wilayah Kabupaten Kediri, Jawa Timur, yang dijadikannya sebagai kebun tin. Kebun itu difungsikannya sebagai tempat wisata yang dibuka setiap akhir pekan bagi masyarakat umum.
"Di kebun itu orang-orang bisa memetik sendiri buah tin dan memakannya di tempat. Selain juga tersedia bahan-bahan agar wisatawan bisa mengolahnya menjadi manisan seperti yang pernah saya jumpai waktu menunaikan ibadah haji di Mekah dulu," ujarnya.
Pengelolaan tempat wisata kebun tin itu berjalan hingga tahun 2015. "Hingga pada suatu hari Jumat di tahun 2015, penjaga kebun pergi ke masjid untuk menunaikan salat Jumat. Sekembalinya dari salat Jumat, penjaga kebun mendapati tanaman-tanaman tin yang telah berusia lima tahun di lahan itu sudah raib semuanya. Tinggal tersisa tanahnya saja," kenangnya.
Rupanya kawanan maling beraksi mencabuti seluruh tanaman tin pada tenggang waktu orang-orang sedang menunaikan salat Jumat. "Itu kira-kira malingnya membawa dua atau tiga truk untuk mengangkut seluruh tanaman tin dari lahan itu," katanya.
Tidak ada yang mengetahui aksi kawanan maling ini karena lokasi kebun berada jauh dari rumah-rumah penduduk. Sulis mengalami kerugian besar. "Itu kira-kira kerugiannya seharga mobil Honda CRV," ungkapnya.
Saking kecewanya, Sulis kemudian menjual lahan bekas kebun tin tersebut. "Masih terbesit keinginan untuk merintis kembali kebun tin untuk para wisatawan. Tapi entah kapan. Sampai sekarang ini hati saya masih sakit," ucapnya.
Setidaknya, Sulis masih memiliki kebun tin yang tersisa di halaman balkon lantai dua rumahnya di Jalan Simorejo Sari B XIII/ 11A Surabaya meski cuma seluas sekitar 4 x 5 meter yang ditanam di atas polybag dan pot.
Dari lahan di halaman balkon rumahnya itulah Sulis kembali bangkit menekuni budidaya tanaman tin dari awal lagi .
"Ya cuma lahan tanaman tin di balkon rumah ini yang tersisa. Saya tidak punya outlet atau lahan lainnya. Orang-orang yang membutuhkan tanaman tin biasanya datang langsung ke rumah ini. Tidak semuanya saya jual, saya masih sering membagibagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan untuk menerapi penyakitnya," tuturnya. (*)
Video oleh: Hanif N