Tulungagung (Antara Jatim) - Sejumlah pelaku industri rumahan genteng dan bata merah di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur mengeluhkan dampak cuaca ekstrem yang menyebabkan produksi tanah liat olahan untuk material bangunan yang mereka geluti turun drastis.
Dua pelaku usaha kerajinan genteng dan bata merah di Desa Notorejo, Kecamatan Gondang, Kabupaten Tulungagung, Nurkhodik dan Basrori, Jumat mengungkapkan, produktifitas UMKM mereka setahun terakhir turun hampir 40 persen.
"Hujan sepanjang tahun menyebabkan proses pengeringan berlangsung lebih lama dan mempengaruhi volume produksi," kata Nurkhodik.
Ia mengatakan, saat kemarau proses pengeringan atau penjemuran genteng cetak miliknya rata-rata hanya membutuhkan waktu 3-4 hari.
Namun, saat penghujan sepanjang tahun seperti saat ini, kata dia, pengeringan paling cepat membutuhkan waktu sepekan.
Senada diungkapkan Basrori yang mengatakan lahan untuk tempat produksi tidak cukup luas, sehingga membutuhkan suasana dan cuaca cerah untuk beraktivitas.
"Kalau waktu pengeringan molor, produksi tidak optimal, penurunan volume produksi bisa turun hingga 40 persen, bahkan bisa lebih jika diukur proses cetak hingga pembakaran. Rentang waktunya bisa semakin panjang," tuturnya.
Namun, Nurkhodik mengakui penurunan produktivitas yang dialami hampir semua pelaku UMKM bata merah dan genteng di Tulungagung maupun Trenggalek, telah memicu kenaikan harga jual produk material bangunan tersebut.
Genteng jenis karangpilang yang biasanya dijual di kisaran harga Rp1.100 per buah, kini naik menjadi Rp1.300 hingga Rp1.400.
Sementara genteng jenis mantili dan wuwung yang semula dipatok di kisaran Rp1.900 per buah, kini rata-rata dijual serga Rp2.100 di tingkat UMKM.
"Harga bata merah juga naik dari sebelumnya di kisaran Rp500 per buah menjadi Rp630, atau dari Rp500 ribu per seribu buah bata merah menjadi Rp630 ribu. Karena untuk bata merah pembelian menggunakan asumsi paket isi 1.000 buah genteng," ujar Basrori.(*)
Pelaku UMKM Tulungagung Keluhkan Dampak Cuaca Ekstrem
Jumat, 3 Maret 2017 15:28 WIB
"Kalau waktu pengeringan molor, produksi tidak optimal, penurunan volume produksi bisa turun hingga 40 persen, bahkan bisa lebih jika diukur proses cetak hingga pembakaran. Rentang waktunya bisa semakin panjang," katanya