Oleh Dr. M. Khoirul Huda, S.H, M.H*
Tuduhan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahya Purnama atau Ahok di Kepulauan Seribu berjalan sesuai prosedur hukum yang ada. Rabu (16/11), Mabes Polri telah resmi menetapkan Ahok sebagai tersangka kasus penistaan agama. Penetapan Ahok ini menunjukkan bahwa proses hukum menjadi pilihan yang logis dan rasional dalam menjawab kegelisahan masyarakat. Demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat beberapa waktu lalu merupakan hak asasi, namun untuk penyelesaian sebuah kasus harus tetap melalui prosedur hukum yang berlaku di Indonesia.
Sebuah negara tentunya dibangun tidak hanya dengan suatu konsensus masyarakat yang memiliki kepentingan bersama dan terikat pada persamaan nasib, suku bangsa, atau mendiami wilayah tertentu. Untuk mengatur tata tertib berkehidupan berbangsa dan bernegara diperlukan adanya hukum, baik yang merupakan perintah maupun yang merupakan larangan. Immanuel Kant mengatakan, hukum adalah instrumen yang memberikan batasan terhadap kebebasan manusia, sehingga mencegah tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh seseorang maupun sekelompok orang terhadap hak yang dimiliki masyarakat lainnya.
Dalam banyak kasus, kita dapat menemukan hukum dilanggar oleh orang yang mempunyai kepentingan – bahkan kewenangan, atau orang yang masih menganggap tidak pentingnya sebuah hukum yang berlaku dalam kehidupan bernegara. Hal ini sesuai dengan pendapat Robert Seidman yang mengatakan bahwa seseorang barangkali akan mematuhi undang-undang atau aturan hukum, bila kebaikan atau keuntungan dari kepatuhannya itu melebihi kerugiannya bila ia melanggar hukum. Sehingga dapat diartikan bahwa aturan hukum memiliki subjektivitas tergantung dari pelaku yang menjalankan aturan hukum tersebut.
Kesadaran dan kepatuhan hukum di Indonesia cenderung masih rendah. Salah satunya ditunjukkan oleh Corruption Perception Index 2015 yang dikeluarkan oleh lembaga Transparency International. Lembaga ini mengukur tingkat korupsi pada organisasi publik pada 168 negara di dunia dimana peringkat Indonesia berada pada posisi yang cukup rendah yaitu 88. Dari data tersebut menunjukkan bahwa hukum dapat dilanggar oleh oknum birokrat untuk kepentingan pribadi maupun golongannya. Contoh lainnya yang menunjukkan di Indonesia masih rendah dalam kesadaran hukum, yaitu mengenai banyaknya rambu lalu lintas yang masih dilanggar oleh pengguna jalan. Dari data kecelakaan lalu lintas yang dilansir oleh The Indonesian Center for Police and Security Studies, setiap tahun jumlah kecelakaan lalu lintas cenderung mengalami peningkatan dan diiringi dengan korban jiwa maupun kerugian materi yang juga meningkat.
Selain dua kasus di atas, tahun 2016 ini muncul beberapa konflik sosial yang menyangkut SARA. Peristiwa ini terjadi di beberapa daerah seperti Tanjungbalai, Karo, dan Mimika yang diselesaikan secara inkonstitusional oleh pihak-pihak yang terlibat. Penyelesaian yang tidak berpedoman pada hukum untuk menyelesaikan konflik tersebut justru akan memperparah keadaan dan menimbulkan akibat hukum baru. Oleh sebab itu, untuk menumbuhkan kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kehidupan bernegara di Indonesia, hukum harus dijadikan sebagai panglima.
Hukum sebagai penglima bertujuan untuk menciptakan bestuurszorg yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. Ketika hukum menjadi panglima maka kita mengedepankan kedaulatan hukum bukan kedaulatan negara. Kedaulatan negara mengasumsikan bahwa negara itu berada di atas hukum dan semua aktivitas negara tidak dapat dijangkau hukum – sehingga seringkali menimbulkan tindakan abuse of power oleh oknum pemerintah.
Kita mengakui, misalnya KPK sudah bekerja keras untuk menegakkan hukum tanpa memandang bulu. Tetapi yang kita harapkan adalah bukan kerja lembaga tertentu saja untuk menjadikan hukum sebagai panglima. Semua lembaga penegak hukum harus bekerja keras secara profesional dalam mengedepankan hukum. Dengan begitu, maka semua penjahat tidak akan luput dari jeratan hukum. Kita tidak lagi menggunakan paham yang disebutkan oleh, John Austin bahwa law is a command of lawgiver.
Momentum yang Tepat
Proses hukum yang berjalan sesuai aturan, sebagaimana dalam kasus Ahok merupakan momentum yang tepat bagi Presiden Jokowi-JK untuk menjadikan hukum sebagai panglima dalam pelaksanaannya. Apalagi, dalam beberapa kali pernyataannya, Presiden akan melakukan reformasi di sektor hukum, baik dari aturan perundang-undangan, maupun dari aparat penegak hukumnya.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa proses penegakan hukum itu dipengaruhi oleh: Pertama, faktor hukumnya sendiri yakni undang-undang. Kedua, faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku; dan Kelima, faktor budaya hukumnya.
Kelima hal inilah yang perlu menjadi perhatian dari Presiden agar momentum hukum sebagai panglima ini tetap terjaga. Jika hukum ditegakan maka bonum commune (kesejahteraan bersama) yang didambakan pasti akan tercapai.
Kedaulatan hukum menghendaki bahwa hukum sebagai panglima. Hukum tidak berada dibawah politik, hukum tidak berada di bawah kekuasaan negara, tetapi berada di atas segala-galanya. Oleh karena itu, siapapun yang bertindak untuk menghambat cita-cita bangsa dengan melanggar hukum maka orang tersebut bertanggungjawab atas perbuatannya dihadapan hukum. Semua orang adalah sama di hadapan hukum. Dalam sejarah bangsa kita, peluang orang atau golongan yang berkuasa untuk melakukan abuse of power sangatlah besar, meski tidak semuanya. Kenyataan ini seolah-olah menegaskan kebenaran dari paham power tends to corrupt. Maka dalam hal inilah hukum harus benar-benar menjadi panglima tanpa memandang bulu. Inilah bagian dari tugas negara yang menganut konsepsi welfare state, dimana pemerintah dibebani tugas melayani kepentingan umum dan kewajiban mewujudkan kesejahteraan umum. Dengan demikian upaya menumbuhkan kesadaran dan kepatuhan hukum dalam berkehidupan bernegara adalah mengembalikan kedaulatan hukum sebagai panglima.
*Penulis adalah Dekan Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya