Yogyakarta, (Antara) - Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menyebutkan, remitansi dari tenaga kerja Indonesia (TKI) sepanjang tahun 2015 mampu menembus angka Rp119 triliun, atau setara dengan 8,6 miliar dolar AS, namun para TKI itu jarang pulang.
"Meski rutin mengirimkan uang dalam jumlah besar, kepulangan para pekerja migran cenderung jarang terjadi," kata Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universita Gadjah Mada (UGM) Sukamdi, di Kampus Program Doktoral Studi Kebijakan UGM, Senin.
Ia mengatakan, para pekerja migran bisa bepergian selama setahun, dua tahun bahkan lebih pada suatu waktu.
Namun, kata dia, terjadi dampak multidimensi pada keluarga yang ditinggal terkait apakah migrasi dari satu atau kedua orang tua pada anak usia tengah.
Paling tidak, akan berdampak pada pencapaian pendidikan dan pekerjaan pada masa remaja muda, katanya.
Sukamdi mengatakan, Jawa Timur memiliki sejarah cukup panjang dalam migrasi, sementara Jawa Barat nisbi lebih pendek.
Sementar itu, jelas Sukamdi, Ponorogo dan Tulungagung memiliki data yang lebih variatif, karena daerah tujuan para pekerja migran dari kedua daerah tersebut nisbi tersebar dan bervariasi.
Ada yang ke Taiwan, Malaysia, Arab Saudi, Hong Kong, Singapura, dan negara-negara tujuan lainnya. Kedua, pekerja migrannya pun bervariasi dalam arti, laki-laki maupun perempuan sama-sama banyak yang melakukan migrasi.
"Terutama Ponorogo ya, sejarah migrasinya itu bahkan sudah terjadi sejak masa sebelum kemerdekaan Indonesia. Tradisi migrasi sudah begitu melekat pada masyarakat Ponorogo dan sudah sampai generasi keempat. Maka, muncul kemudian yang dinamakan "intergenerational migration'," jelas Sukamdi.(*)