Blitar (Antara Jatim) - Tim hukum yang membantu mendampingi kasus yang menimpa masyarakat sekitar PT Dewi Sri, perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan di Desa Ngadirenggo, Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, meminta agar polisi menghentikan upaya kriminalisasi terhadap warga.
"Kami minta warga dan dua mahasiswa dibebaskan dan menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap petani yang sedang memperjuangkan haknya," kata tim hukum warga Al-Machi Ahmad pada wartawan, Sabtu.
Selain itu, pihaknya meminta agar Bupati Blitar segera menyelesaikan masalah tanah HGU yang sedang bermasalah tersebut, sehingga secepatnya ada jalan keluar.
Muh Ali Mahrus dari Fron Nadhliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam Malang Raya, yang ikut mendampingi warga menambahkan, sampai sekarang warga masih belum diperbolehkan pulang. Mereka ditempatkan di aula Mapolres Blitar.
Ia mengungkapkan, warga dibawa ke kantor polisi mulai Sabtu siang. Mereka didata petugas, bahkan sebagian menjalani proses BAP.
Ali menambahkan, konflik antara warga dengan perkebunan itu sudah cukup lama, sejak 2002. Konflik itu diawali peristiwa zaman dulu. Warga menyebut perkebunan itu awalnya desa mereka, tapi pascakonflik warga diusir oleh perkebunan. Konflik itu terus bergulir hingga sekarang.
Warga, kata dia, yang tinggal di sekitar pabrik mayoritas hanya menjadi buruh tani. Bahkan, beberapa warga sudah tidak lagi bekerja karena konflik tersebut.
"Intinya, perjuangan itu sudah mereka tempuh lama sekitar 15 tahun dan terakhir menyurati Presiden dan mendapatkan balasn dari Setneg, intinya Bupati dan pihak terkait segera menyelesaikan konflik itu," ujarnya menirukan penjelasan warga.
Terkait insiden penangkapan warga, Ali mengatakan warga ingin merasakan proses penanaman dan itu dilakukan secara simbolis. Lahan yang ditanami berukuran sekitar 3x6 meter. Sebelum menanam, DA, salah seorang warga sempat menanyakan pada perkebunan dan aparat terkait, tapi tidak ada tanggapan.
"Nah, setelah warga melakukan tanam pohung (ketela pohon), ada satpam, warga dilarang menanam di tanah perusahaan. Warga berhenti, tapi juga menanyakan dasarnya berhentikan sebab HGU sudah habis 2011 dan warga tidak memperoleh keterangan status tanah itu setelah habis," jelasnya.
Warga, kata dia, juga sempat menanyakan status tanah pada pihak kebun, tapi tidak ada keterangan. Pihak perkebunan tidak memberikan informasi yang cukup valid.
Sementara itu, Kepala Polres Blitar AKBP Slamet Waloya di Blitar, polisi memeriksa warga sebab ada laporan atas dugaan pendudukan tanah yang dilaporkan oleh pimpinan PT Dewi Sri. Terdapat 44 orang yang diperiksa.
Pihaknya mengaku juga telah berupaya melakukan mediasi, mengingat pihak perkebunan telah menunjukkan HGU yang berlaku hingga 2036 dan dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Blitar. Namun warga tetap mengklaim tanah itu miliknya, sehingga petugas bertindak dan melakukan pemeriksaan pada puluhan warga tersebut.
"Seharusnya, apabila ingin mendapatkan hak atau klaim secara legal telah disarankan untuk menempuh jalur hukum melalui pengadilan negeri atau pengadilan tata usaha negara," jelasnya.
Namun, ia memastikan dari 44 warga itu, 42 di antaranya tidak dilakukan penahanan. Satu orang diperiksa sebagai saksi, sementara seorang disangkakan telah melanggar Undang-Undang Nomor 51, Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya. (*)