Surabaya (Antara Jatim) - Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Surabaya Didik Farkhan Alisyahdi SH MH membongkar terjadinya perbedaan antara teori dengan praktik dalam peradilan di Tanah Air.
"Saya pernah menangani kasus aktivis HAM Munir SH. Itu sulit dibongkar karena tidak ada saksi. Itu operasi intelijen yang tidak bisa didekati dengan asas legalitas dalam hukum kita," katanya dalam kuliah umum di Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya, Senin.
Di hadapan puluhan mahasiswa Fakultas Hukum Unitomo Surabaya, ia menjelaskan jaksa tidak menemukan saksi untuk menjerat keterlibatan Pollycarpus dalam kasus Munir SH, maka jaksa mengungkap 13 kejanggalan matinya Munir.
"Kejanggalan itu antara lain Pollycarpus itu punya jadwal penerbangan ke China, bukan ke Singapura. Informasi Polly bahwa dia ke Singapura atas seizin Dirut Garuda juga tidak ada buktinya," katanya.
Selain itu, istri Munir, Suciwati, juga pernah ditelepon Polly untuk memastikan jadwal keberangkatan ke Belanda. Kejanggalan lain, Pollycarpus menukar kursi bisnis dengan ekonomi kepada Munir hingga Munir pun lebih mudah turun di Bandara Singapura.
"Bukti bahwa Polly menjadi pelaku memang tidak ada, karena kemungkinan Polly hanya mendorong Munir untuk turun, lalu ada eksekutor lain yang mengeksekusi. Jadi, saksi tidak ada, sehingga Polly pun bebas," katanya.
Dalam kuliah umum yang juga menampilkan Dr Sabir Alwy (Wakil Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) itu, Kajari Surabaya juga mencontohkan sulitnya eksekusi dalam kasus polisi Susno Duadji, Labora Sitorus, atau Budi Gunawan.
"Itu juga sulit dieksekusi, meski kasasi sudah final, karena menyalahi KUHAP. Mereka tidak ditahan dan KUHAP mengatur bahwa putusan tanpa penahanan itu batal demi hukum," kata jaksa yang sempat menjadi wartawan di Bojonegoro selama setahun itu.
Jaksa yang pernah menangani kasus Roy Marten itu mencontohkan kasus Ketua Kadin Jatim La Nyalla Mattalitti yang sudah P-21 (dinyatakan sempurna/lengkap), tapi penetapannya (sebagai tersangka) di-praperadilan-kan terus.
"Sebenarnya KUHAP sudah membatasi praperadilan, tapi Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 justru mengatur objek praperadilan untuk semua proses mulai dari penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penyitaan, penggeledahan, dan penetapan," katanya.
Sebaliknya, KUHAP mengatur jaksa dilarang untuk melakukan PK bila bukan kepentingan terpidana dan keluarga.
"Padahal, kasus itu jelas korupsi, karena uang negara yang dipakai IPO hingga mendapatkan keuntungan Rp1,5 miliar, tapi kita sulit mengajukan PK, padahal data panitera itu sangat mungkin keliru," katanya.
Oleh karena itu, ia berharap mahasiswa FH mampu melihat liku-liku adanya perbedaan antara teori dan praktik dalam peradilan. "Kalau mau magang ke Kejari Surabaya, saya persilakan, kapan saja akan saya terima," katanya dalam kuliah umum yang juga menampilkan Prof Ritthikorn Siriprasertchok PhD dari Burapha University Thailand. (*)