Surabaya (Antara Jatim) - Komisi C Bidang Pembangunan DPRD Kota Surabaya menilai pembongkaran
rumah radio perjuangan Pahlawan Nasional Bung Tomo yang telah ditetapkan
sebagai bangunan cagar budaya type B melanggar aturan karena tanpa
kajian ilmiah.
"Saya tidak mau berkutat dengan sebuah SK (surat keputusan). Yang
saya tanyakan ada tidaknya kajian sebelum pembongkaran," kata Ketua
Komisi C DPRD Surabaya Syaifudin Zuhri saat rapat dengar pendapat di
ruang Komisi C DPRD Surabaya, Senin.
Berdasarkan catatan anggota dewan, lanjut dia, bukan kali ini saja
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) kecolongan dalam pengawasan
bangunan bersejarah. Sebut saja penggusuran Stasiun Semut, Sinagoge
(tempat peribadatan orang Yahudi) di Jalan Kayon Nomor 4-6.
Padahal, lanjut dia, sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 2010 pada
Pasal 99 Ayat 1 disebutkan secara jelas pemerintah atau pemerintah
daerah bertanggung jawab terhadap pengawasan pelestarian cagar budaya
sesuai dengan kewenangannya.
"Undang-undangnya sudah ada. Kalau masih saja kecolongan kan aneh. Ada apa ini?" katanya.
Untuk itu, kata dia, pihaknya meminta pemerintah kota melalui dinas
terkait memberikan sanksi tegas bagi pelaku pembongkaran. Mengacu pada
Pasal 105, setiap orang yang dengan sengaja merusak Cagar Budaya
dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama
15 tahun atau denda paling sedikit Rp500 juta dan paling banyak Rp5
miliar.
Menurutnya, pemberitaan di media massa tidak akan akan seramai
sekarang seandainya bangunan yang dirobohkan bukan eks radio perjuangan
yang merupakan lokasi Bung Tomo berpidato menjelang pertempuran 10
November 1945.
"Pemerintah kota harus hadir dalam mengawasi bangunan cagar budaya.
Meskipun bangunan tersebut telah dimiliki secara perorangan," katanya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Surabaya
Wiwiek Widayati merunut awal kejadian sampai bangunan cagar budaya bekas
markas radio penyiaran pemberontakan oleh Bung Tomo tersebut dibongkar.
Disbudpar menerima surat permohonan ijin renovasi bangunan pada
tanggal 26 Februari 2016 dan pada 14 Maret 2016 Disbudpar mengeluarkan
izin rekomendasi untuk merenovasi bangunan.
"Setelah itu, kami baru tahu kalau bangunan sudah rata dengan tanah
pada tanggal 3 Mei, sebelumnya memang tidak ada pengecekan di
lapangan," kata Wiwiek.
Pihaknya menjelaskan, dalam pengeluaran izin tersebut, masih
menggunakan nama pemilik bangunan yang lama dengan nama Amin. Sehingga
dari Disbudpar sendiri tidak memiliki kecurigaan bahwa bangunan cagar
budaya tersebut sebenarnya sudah beralih pemilik.
Selain itu, lanjut dia, pihaknya juga menjelaskan bahwa kalau
memang yang mengajukan adalah masih pemilik yang sama, Disbudpar
beranggapan mereka sudah mengerti tentang aturan memiliki bangunan cagar
budaya, termasuk seberapa jauh batasan bangunan cagar budaya dengan
tipe B boleh direnovasi.
Terlebih yang mengurus izinnya saat itu adalah ahli waris dari
pemilik lama. Sertifikat kepemilikan aset juga masih menggunakan nama
orang lama.
"Kalau dari segi pengawasan, kami sebenarnya sudah melakukan
berbagai upaya untuk pengawasan. Mulai dari memasang plakat, lalu juga
mengumpulkan pemilik untuk sosialisasi dan juga pengawasan rutin," kata
Wiwiek.
Akan tetapi, pihaknya mengakui bahwa pemkot merasa cukup kewalahan
untuk mengawasi 273 bangunan cagar budaya satu per satu. Sehingga tidak
semua bangunan cagar budaya yang ada bisa termonitor.
Namun demikian, Wiwiek menegaskan bahwa pemkot masih menunggu hasil
pengumpulan barang yang tersisa dari lokasi pemkongkaran. "Kami meminta
pihak yang membongkar untuk merekonstruksi ulang bangunan eks radio
perjuangan Bung Tomo," katanya. (*)
Pembongkaran Rumah Radio Perjuangan Surabaya Tanpa Kajian Ilmiah
Senin, 9 Mei 2016 19:40 WIB
Saya tidak mau berkutat dengan sebuah SK (surat keputusan). Yang saya tanyakan ada tidaknya kajian sebelum pembongkaran