Surabaya, (Antara Jatim) - Peneliti dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof Dr Nasronudin, Sp. PD,K-PTI, FINASIM berhasil menciptakan obat demam berdarah dengue (DBD) dari bahan herbal yang berasal dari tanaman di Australia, setelah melakukan penelitian sekitar tiga tahun.
"Sekitar dua hingga tiga tahun lalu, kami melakukan penelitian bahan aktif pada obat berbasis tanaman yaitu tanaman perdu yang mempunyai khasiat antivirus. Dalam penelitian ini kami lakukan uji klinis untuk antivirus dengue," katanya ketika ditemui di Rumah Sakit (RS) Unair Surabaya, Jatim, Selasa.
Tanaman yang memiliki nama latin "Melacua alternifolia concentrate" itu, ia menambahkan dapat membunuh virus dengue yang disebabkan nyamuk hingga mencapai 96,67 persen karena obat ini bisa memicu kekebalan tubuh, sehingga bisa memberi efek "imono modulator" pada pasien DBD.
"Saya tidak mengklaim bahwa obat ini pertama di Indonesia untuk virus dengue karena mungkin ada pakar-pakar lainnya yang sedang melakukan penelitian obat-obat serupa, namun tampaknya hal ini merupakan awal dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia untuk bisa merealisasi dan memformulasi dari pada obat anti dengue," paparnya.
Cara kerja obat yang berbentuk kapsul itu, lanjutnya bersifat membunuh virus secara tidak langsung meningkatkan kekebalan tubuh, maka jika sel-sel kekebalan tubuh itu meningkat maka daya bunuh virusnya juga semakin kuat.
"Cara kerja bisa secara langsung ke penderita DBD dan juga secara tidak langsung secara simultan. Misalnya, ketika satu keluarga menderita DBD, maka kemungkinan besar keluarga yang berada dalam satu rumah juga akan tertular, sehingga untuk mengantisipasinya disarankan meminum obat ini," terangnya.
Menurut dia untuk takaran penderita DBD dewasa, maka diberikan dengan dosis dua kali 350 miligram (mg) selama enam hari berturut-turut, sedangkan untuk anak-anak dianjurkan usia lebih dari 5 tahun agar tidak mengganggu metabolisme tubuh atau bisa juga dipilih dalam bentuk sirup.
"Sejauh ini masih belum diproduksi secara massal, kami hanya melakukan penelitian. Setelah melakukan penelitian dan mendapatkan hasil, maka hasil dari riset ini kami serahkan pada pemegang pendukung dana atau pihak ketiga yaitu PT Neomedik Indonesia," tuturnya.
Direktur Utama RS Unair tersebut menjelaskan jika pihak ketiga yang akan mengurus izin, seperti ke Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) beserta persyaratan lainnya dan berharap segera mendapat restu dari BBPOM, pemerintah pusat maupun daerah, sehingga bisa diproduksi secara massal.
"Untuk menjadi obat itu memang tidak mudal dan membutuhkan waktu yang lama karena harus melewati beberapa fase, sedangkan obat ini telah berjalan ke fase ketiga agar bisa segera diproduksi secara massal," urainya.
Spesialis penyakit dalam/internist ini mengungkapkan bahwa obat yang berwarna putih dan ungu tersebut sudah masuk dalam uji klinis fase ketiga, di mana uji kilinis pertama sudah dilakukan pada binatang tikus, oleh guru besar dan tim di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
Dalam fase kedua, lanjut Konsultan Penyakit Infeksi Tropik itu dilakukan pada orang sehat di Jakarta dan yang pada fase ketiga atau yang terakhir dilakukan di Surabaya untuk manusia yang terinfeksi virus dengue.
"Kami melakukan uji penafsihan sekitar 3.300 pasien yang demam kemudian kami ambil, dan yang menyetujui untuk ikut serta dalam uji klinis ini ada 530 pasien terbagi menjadi dua kelompok. Masing-masing kelompok mendapatkan pengobatan sesuai standar World Health Organizations (WHO), sedangkan satunya diberikan obat kami," jelasnya.
Dari hasil pemberian obat tersebut keluhan dan gejala infeksi dengue bisa cepat reda, demam segera turun, sakit kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual muntah akan hilang.
Ia menjelaskan, dari uji laboratorium, penurunan trombosit juga dapat dihambat, dan dari pemeriksaan viriologi didapatkan jumlah virus dari waktu ke waktu juga hilang.(*)