Pamekasan (Antara Jatim) - Kepala Bakorwil IV Pamekasan Asyhar menyatakan penghapusan praktik kekerasan dalam festival karapan sapi Madura membutuhkan waktu lama karena menyangkut kebiasaan yang sering terjadi selama ini.
"Pemerintah memang telah memerintahkan untuk menghapus praktik kekerasan sapi pada ajang festival karapan sapi di Madura. Namun demikian, dalam tingkat pelaksanaan belum sepenuhnya bisa terlaksana," kata Asyhar saat menemui sekelompok warga yang memprotes praktik kekerasan karapan sapi itu di Bakorwil IV Pamekasan, Rabu.
Makanya, sambung dia, Bakorwil masih terus melakukan koordinasi lebih lanjut dengan para kepala daerah se-Madura, serta para pengurus paguyuban karapan sapi di empat kabupaten di wilayah itu.
Asyhar mengakui, pada pelaksanaan karapan sapi memperebutkan Piala Bergilir Presiden RI pada 1 November 2015, memang masih terjadi praktik kekerasan.
Hanya saja, bentuk kekerasan yang dilakukan pemilik sapi karapan sudah tidak separah tahun-tahun sebelumnya.
Disamping itu, dari sisi manajemen pelaksanaan, karapan sapi yang digelar selama ini belum baik, dan berlangsung hingga dua.
"Ini juga membutuhkan perbaikan dan penetapan tenggat waktu pelaksanaan berupa pergub dari Gubernur Jawa Timur," ucapnya.
Jika, sambung mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Pemkab Sampang ini, landasan tentang tenggat waktu pelaksanaan sudah ada, maka panitia pelaksana karapan sapi harus mematuhi ketentuan itu.
"Sekarang ini kan belum ada ketentuan tentang batasan waktu pelaksanaan karapan sapi ini. Jadi terkadang hingga dua hari, meski sebenarnya bisa diselesaikan selama satu hari," ujarnya.
Usulan menghapus praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi di Pulau Madura ini awalnya disampaikan oleh Ketua Umum HMI Cabang Pamekasan Sulaisi Abdurrzaq.
Kala itu, Sulaisi menilai, praktik pelaksanaan karapan sapi di Madura sudah menyimpang, bahkan menciderai nilai budaya leluhur, akibat praktik kekerasan yang diterapkan.
Padahal, awalnya, karapan sapi yang diperkenalkan Pangeran Katandur di Sumenep itu, tanpa kekerasan, yakni hanya menggunakan "pak kopak" atau pelepah pohon pisang untuk memacu sapi berlari kencang.
Dalam perkembangannya, pemilik sapi karapan justru melakukan penyimsaan, yakni dengan menggaruk pantat sapi dengan menggunakan paku, agar larinya lebih kencang.
Tidak hanya itu saja, sebelum pasangan sapi karapan itu diadu, pemilik sapi memoleskan balsan dan cabai pada mata dan dubur sapi agar sapi bisa lari lebih kencang.
Berkat usulan HMI dan didukung Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat inilah, maka presiden lalu mengeluarkan impres tentang Larangan Praktik Kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi Madura.
Oleh sebagian pemilik sapi karapan, larangan ini ditentang, sehingga terjadi dua kubu festival karapan sapi, yakni karapan sapi dengan menggunakan kekerasan dan karapan sapi tanpa kekerasan.
Bakorwil kemudian melakukan mediasi, sehingga tercapai kesepakatan, mengunrangi praktik kekerasan secara berlahan-lahan, hingga akhirnya, praktik kekerasan itu tidak ada. (*)