"Saya senang mengikuti lomba semacam ini, karena bisa menambah banyak teman," tutur Nathalie, mahasiswa internasional asal Madagaskar yang sedang menempuh S-2 di FISIP Unair.
Ya, Nathalie merupakan salah seorang dari puluhan mahasiswa asing dari 20 negara yang sedang mengikuti International Office and Partnership (IOP) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, 23 Oktober 2015.
Kegiatan "Internasional Student Performance 5" bertajuk "Cintai Indonesia dengan Caramu" itu diikuti oleh mahasiswa internasional dari Vietnam, Gambia, Suriname, Belanda, Palestina, Lituania, Zimbabwe, Malaysia, Jepang, Tunisia, Thailand, dan lainnya.
Keseluruhan mahasiswa tersebut merupakan mahasiswa internasional yang sedang menempuh pendidikan di PTN maupun PTS yang ada di Surabaya dan Malang.
Mereka berasal dari tingkat pendidikan yang bermacam-macam, baik yang setingkat sarjana hingga doktoral.
Acara yang berlangsung sejak sore hingga malam tersebut bertujuan mengenalkan budaya serta Bahasa Indonesia kepada mahasiswa internasional.
"Acara ini diselenggarakan berkat kerja sama IOP dengan kantor urusan internasional di PTN dan PTS di Jatim, dengan Unair sebagai tuan rumah," tutur Puguh Budi Susetyo M.Hum selaku koordinator Layanan Internasional di IOP Unair.
Bentuk kegiatan yang dilakukan meliputi berbagai macam perlombaan dan penampilan yang dibuka dengan penampilan Tari Saman dari mahasiswa Sastra Inggris FIB Unair.
Tari saman sebagai pembuka acara bertujuan mengenalkan budaya, yakni berupa salah satu tarian yang ada di Indonesia kepada mahasiswa internasional.
Selanjutnya, acara diisi dengan "games" dengan tujuan pengenalan antarmahasiswa.
Band akustik juga ditampilkan pada acara ini agar para mahasiswa internasional memiliki pengetahuan musik yang multinegara, band akustik ini membawakan lagu-lagu baik lagu daerah, nasional, maupun internasional.
Acara intinya adalah lomba-lomba yang meliputi lomba menyanyi, mengeja, tari poco-poco. Ada pula lomba-lomba yang mengenalkan berbagai permainan tradisional di Indonesia, seperti lomba balap kelereng, makan kerupuk, memasukkan paku dalam botol, dan lomba membawa bola dengan pasangan.
Para peserta terlihat sangat antusias mengikuti jalannya perlombaan. Beberapa dari mereka terlihat baru mengenal permainan yang mereka ikuti.
Acara tahunan yang telah tiga kali dilaksanakan itu dimeriahkan dengan serangkaian lomba, antara lain lomba menulis esai dalam Bahasa Indonesia, dan lomba foto.
Kedua lomba tersebut bertema tentang bagaimana mereka mencintai Indonesia dengan cara masing-masing. Di tempat yang sama, terlihat berbagai foto hasil dari lomba tersebut, yang meliputi foto-foto mereka tentang Indonesia.
"Tujuan utama dari acara ini yaitu pemahaman lintas budaya. Sharing berbagi pengetahuan budaya dari berbagai negara," tutur Puguh yang juga dosen Sastra Inggris Unair itu.
Dengan semakin memahami dan mencintai kebudayaan dan juga Bahasa Indonesia, maka mereka akan menyukai belajar musik, bahasa, pengenalan budaya, tari, kesenian, dan permainan tradisional.
Jatuh Cinta
Lain halnya dengan peneliti sejarah dan penyuka fotografi dari Belanda, Olivier Johannes Raap, yang tidak hanya mempunya cara untuk mencintai Indonesia, namun dia sudah jatuh cinta pada republik ini.
"Budaya Indonesia itu menarik, unik dan patut dipelajari," ucap Olivier Johannes Raap saat menjadi pembicara pada Kuliah Tamu di Auditorium Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS), 9 Oktober 2015.
Di hadapan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi UKWMS dalam kuliah tamu bertajuk 'Komunikasi Lintas Budaya', Olivier yang pertama kali ke Indonesia pada tahun 1998 mengaku jatuh cinta.
"Dengan mempelajari kebudayaan kita sendiri atau kebudayaan orang lain akan bisa membantu kita untuk hormat dan sayang terhadap kebudayaan secara keseluruhan," tutur laki-laki yang akrab disapa 'Mas Oli' itu.
Dari sejarah, ungkap Olivier yang lahir di Desa Grootschermer, Belanda itu, bisa dipelajari banyak hal yang kini sudah tidak ditemui lagi dan hal itu bisa menimbulkan kecintaan terhadap budaya.
Dalam bukunya yang berjudul "Soeka Doeka di Djawa Tempo Doeloe", ia menunjukkan kartu pos bergambar perempuan bertelanjang dada, lalu ia menjabarkan bahwa dulu ada kepercayaan bahwa orang-orang di Jawa dan Bali tidak menutupi bagian dada mereka dalam berpakaian.
"Namun, pada foto itu bisa dilihat perbedaan gelap terang warna kulit, ada kemungkinan foto itu sengaja dibuat untuk keperluan komersial pornografi. Jadi tidak menggambarkan keadaan sebenarnya di tanah Jawa pada waktu itu," ujarnya.
Penghobi fotografi itu menyatakan foto-foto dalam kartu pos pada zaman itu kebanyakan diambil di studio dengan latar belakang dan pose yang ditata (diatur) oleh fotografer.
"Bisa dilihat dari peletakan keris, misalnya, secara tradisional letaknya di belakang punggung, tapi di foto itu justru keris diletakkan di depan," tukasnya dalam Bahasa Indonesia yang fasih.
Selain itu, meskipun model dalam foto itu masih muda, ia menggunakan tongkat untuk menggambarkan status sosialnya yang tinggi.
"Apakah hal itu berarti orang dalam foto ini memang ningrat? Belum tentu, tetapi gambar ini bisa menunjukkan kepada kita bahwa objek yang umum dibidik fotografer pada saat itu sudah tidak ada lagi saat ini, karena zaman sudah berubah," paparnya.
Misalnya, permainan adu kemiri. Juga beberapa hal yang kini masih sering dilakukan, seperti lomba balap karung dan panjat pinang.
"Tidak banyak yang tahu bahwa balap karung ternyata adalah suatu kebiasaan yang dibawa oleh Belanda ke Indonesia. Di masa lalu, lomba balap karung seringkali dilaksanakan pada saat hari Ratu, kini di Indonesia Balap Karung dan Panjat Pinang adalah lomba khas perayaan hari kemerdekaan," tandasnya.
Dalam pengamatannya, latar belakang dan aksesoris foto juga bercerita banyak tentang dimana foto itu dibuat, siapa fotografernya, dan (mengarah pada) apa saja karyanya.
"Seorang fotografer resmi Keraton Yogyakarta yang bernama Kassian Chepas, memiliki peranan penting dalam perkembangan fotografi di Indonesia. Selain dia, ada pula Ali S. Cohan yang karya-karyanya melibatkan unsur pornografi," katanya.
Melalui penelitian dan pembandingan, dirinya bisa menarik kesimpulan bahwa mereka adalah orang yang sama. "Cassian adalah fotografer resmi kesultanan, maka ia harus menggunakan nama lain untuk karyanya yang menggunakan model rakyat jelata, khususnya yang mengandung pornografi," ujarnya.
Ya, Olivier jatuh pada Indonesia melalui fotografi dan sejarah. "Saat pertama kali datang (1998), suasananya begitu sedih hingga saya tidak ingin kembali lagi," kilahnya tentang faktor awal yang membuatnya cinta dengan Indonesia.
Dua tahun kemudian, seorang teman kembali mengundangnya ke Indonesia. "Saya kembali demi menemuinya. Saat itu saya melihat, apa yang terjadi dua tahun sebelumnya ternyata sudah tidak terlalu terasa lagi, masyarakat sudah lebih semangat dan keadaan banyak berubah, itu menakjubkan," urainya. (*)