Surabaya (Antara Jatim) - Ancaman bioterorisme (teror dengan senjata biologi berupa kuman penyakit) bisa terjadi melalui pasokan pangan yang sudah terjadi di Indonesia, namun faktor, motif dan dampak masih perlu diteliti.
"Serangan bioterorisme saat ini telah menjadi isu internasional dalam konteks perdagangan antarnegara, apalagi tahun ini kami dihadapkan dengan pasar bebas atau MEA yang bisa mempengaruhi sektor perdagangan maupun bisnis," kata Pengamat Antiteror, Isroil Samihardjo, dalam seminar bioterorisme di RSKI Unair Surabaya, Rabu.
Isroil yang juga pejabat di Badan Intelijen Negara (BIN) itu mengatakan jika pasokan pangan dicampurkan virus, kuman, atau bakteri, maka perekonomian negara tersebut tidak akan stabil dan akan menggantungkan diri ke negara lain, seperti kasus flu burung yang diprediksi berasal dari luar negeri, namun berhasil menyebar ke Indonesia.
"Jika terjadi bencana wabah flu burung, kerugian materialnya mencapai triliunan rupiah, kemudian dari pembelian vaksin flu burung, yang dikorup saja mencapai sekitar Rp400 miliar, melalui proyek di Komisi Nasional Pengendalian Flu Burung, sehingga akan berdampak pada sektor perekonomian, apalagi kita dihadapkan dengan pasar bebas Asean," paparnya.
Menurut dia, wabah penyakit yang dibawa masuk ke Indonesia untuk mempengaruhi kepentingan ekonomi termasuk sektor perdagangan dan bisnis atau menarik keuntungan sebagai penjajahan genetika "genetic imperialism", seperti senjata biologi melalui virus flu burung atau virus H5N1.
"Penyebaran bioterorisme ini merupakan perang ekonomi biasa dan lebih ke arah bisnis. Seperti perang, perang itu ada yang konvensional dan non-konvensional, namun sekarang ini perang tidak harus secara fisik menggunakan bom atau senjata api, melainkan bisa dengan sebaran virus, kuman, maupun bakteri, misalnya anthrax atau flu burung," paparnya.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, jika Indonesia tidak melakukan penguatan fungsi karantina melalui pengawasan dan regulasi, maka Indonesia akan terus terancam serangan bioterorisme, dan jika tidak segera ditanggulangi, maka negara bisa bangkrut karena kerugiannya yang sangat besar.
Sementara itu, Guru Besar Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof Dr Chairul Anwar Nidom, mengaku curiga bioterorisme (teror dengan senjata biologi berupa kuman penyakit) sudah terjadi di Indonesia. Namun faktor, motif dan dampak masih perlu diteliti.
"Bioterorisme perlu diantisipasi, sebab Masyarakat Ekonomi Asean atau globalisasi memang memicu persaingan ekonomi, bioterorisme itu menggunakan bakteri, virus, dan kuman penyakit lain yang dampaknya tidak langsung tapi bisa berlangsung lama, yakni perekonomian jatuh," katanya.
Ia menuturkan, dampak bioterorisme bisa secara langsung dengan menyebabkan kematian dan kesakitan dalam jangka panjang, serta secara tidak langsung dengan transmisi antar manusia sebagai sarana transmisi, sedangkan untuk lingkungan bisa menimbulkan penyakit pada hewan atau ternak.
"Karena itu, Unair akan mengembangkan Pusat Riset/Kajian Antibioterorisme yang siap bekerja sama dengan pihak mana pun karena kami sudah memiliki peralatan yang lengkap untuk itu, termasuk biodefense atau riset untuk mengalihkan kuman negatif menjadi positif," tandasnya. (*)