Jombang (Antara Jatim) - Koordinator Presidium Jaringan Islam Anti-Diskriminasi (JIAD) Jawa Timur Aan Anshori menilai Majelis Ulama Indonesia (MUI) dimanfaatkan untuk persaingan bisnis terkait dengan desakannya untuk membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Syariah.
"Usulan BPJS Syariah perlu diletakkan secara kritis dalam konteks persaingan bisnis. Entah sadar atau tidak, MUI nampaknya telah dimanfaatkan segelintir kekuatan kapitalistik yang ingin mengeruk keuntungan dengan menggunakan jargon agama," kata Aan di Jombang, Jumat.
Ia mengaku sangat menyesalkan dengan fatwa MUI yang terkesan dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis bagi segelintir orang tersebut. Kebijakan itu justru membuat masyarakat merasa tidak nyaman.
Aan juga mengatakan, tudingan MUI dimana BPJS mengandung unsur yang dilarang oleh agama Islam, seperti "maysir", "gharar", dan riba tidak seharusnya dipandang sebelah mata.
Walaupun tidak memasukkan unsur syariah, BPJS jelas merupakan instrumen tolong-menolong (ta'awun) yang berbasis kegotongroyongan untuk menjamin terlindunginya tujuan syariah (maqashid al-syariah), melindungi jiwa (al-nafs), keturunan (al-nasl), kebebasan berpikir (al-aql), harta benda (al-maal) dan kemerdekaan beragama/ berkeyakinan (al-din).
"Oleh karenanya, tidak perlu lagi disematkan embel-embel 'syariah' karena BPJS secara umum telah sesuai syariah," katanya.
Menurut Aan, status fatwa MUI tersebut tidak mengikat dan pemerintah tidak wajib mengikuti omongan MUI. Namun, kritik tersebut dinilai perlu diapresiasi. Dalam praktiknya, masih banyak kelemahan dan implementasi BPJS.
"Masih banyak kelemahan dalam implementasi BPJS, misalnya terkait syarat keikutsertaan seluruh keluarga bagi peserta mandiri yg bersifat memaksa, hingga buruknya kualitas layanan," paparnya.
Ia berharap, ke depan negara harus berupaya tidak lagi membebani lagi rakyat dengan pembayaran premi karena mereka sudah membayar pajak. (*)