Surabaya (Antara Jatim) - Rais Syuriah PBNU KHA Hasyim Muzadi menyatakan dirinya tidak ada ambisi untuk maju menjadi calon Rais Aam Syuriah PBNU dalam Muktamar Ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, 1-5 Agustus. \"Tidak ada ceritanya kalau Rais Aam Syuriah PBNU itu mencalonkan diri, nanti bagaimana muktamar saja,\" katanya setelah berbicara dalam seminar yang digelar Majelis Alumni IPNU Jatim di Surabaya, Jatim, Sabtu dini hari. Dalam seminar bertajuk \"Memperkokoh Peran NU dalam Keagamaan, Keumatan, dan Kebangsaan\" itu, ia menjelaskan Muktamar Ke-33 NU itu bukan soal bagaimana memilih orang (rais aam/ketua umum), tapi bagaimana menyelamatkan NU. \"Kita harus mencari figur yang mampu menyelamatkan NU, karena NU sekarang menghadapi upaya melemahkan NU dari dalam dan luar. Dari dalam ada pelemahan moralitas, manhaj (metodologi beragama), dan ekonomi,\" katanya. Dari luar, kata pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam di Malang dan Depok itu, ada penetrasi radikalisme dari Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir (HTI), Syiah, Wahabi, dan semacamnya, serta penetrasi liberalisme. \"Kalau radikalisme dan liberalisme itu dibiarkan menggerogoti NU, maka Indonesia bisa rusak, karena Indonesia akan menjadi seperti Mesir, Yaman, dan sebagainya,\" katanya. Mantan Ketua Umum PBNU itu mengaku NU akan mengalami upaya pelemahan, karena semua kelompok transnasional melakukan penetrasi ke areal yang selama ini menjadi milik NU, bahkan penetrasi itu juga lewat penyusupan. \"Saya tidak tega kalau NU itu rusak atau bahkan mati dalam 5-10 tahun mendatang. Indikasinya, seperti manhaj dibatasi hingga Quran dan Hadits, lalu Qanun Asasi NU akan dimasukkan AD/ART. Itu mereduksi Qanun Asasi yang lebih luas daripada AD/ART,\" katanya. Indikasi lain, peran ulama NU akan direduksi dengan sistem pemilihan ala \"ahlul halli wal aqdy\" (AHWA) atau sistem perwakilan untuk musyawarah mufakat untuk menentukan Rais Aam. \"Saya bukan menolak AHWA, tapi saya menolak akibat penerapan AHWA itu. Kalau AHWA diterapkan untuk Rais Aam, tapi Ketua Umum (tanfidziah) dipilih langsung, maka legitimasi Ketua Umum akan lebih tinggi. Kalau Muktamar Situbondo itu semuanya (syuriah dan tanfidziah) dengan AHWA dan ada momentum Asas Tunggal Pancasila,\" katanya. Selain itu, posisi mustasyar (penasehat) dan a\'wan (dewan pakar) juga akan dihilangkan. \"Kalau musytasyar dibuang, maka hubungan historis pengurus NU dengan leluhur NU akan hilang, lalu a\'wan yang hilang akan menyulitkan para ulama memahami zaman,\" katanya. Oleh karena itu, pelemahan NU dari dalam dan luar itu harus dicegah. \"Tidak penting siapa yang memimpin NU, tapi kita harus mencari siapa yang bisa menyelamatkan NU secara akidah, syariah, manhaj, moralitas, dan trust,\" katanya. Dalam forum dialog yang berlangsung hingga larut malam itu, Hasyim Muzadi sempat menyatakan kriteria ideal kepemimpinan NU ke depan adalah Rais Aam dari kalangan yang mampu memperkokoh keagamaan, keumatan, dan kebangsaan. \"Untuk Ketua Umum PBNU itu sebaiknya dari kalangan manajer yang mampu menata organisasi, sehingga posisi Rais Aam dan Ketua Umum PBNU akan saling melengkapi sesuai kompetensi masing-masing,\" katanya dalam seminar yang dibuka Ketua Majelis Alumni IPNU Jatim H Muzammil Syafii itu. Sementara itu, politisi NU yang kini menjadi anggota Komisi VIII DPR RI HM Hasan Aminudin selaku pembicara lain menegaskan bahwa kepemimpinan NU itu perlu gerakan perubahan untuk mengatasi kelemahan NU saat ini. \"Ibaratnya, NU perlu pemimpin yang menginjak gas secara full, bukan menginjak rem seperti sekarang. Rais Aam itu ya seperti Pak Hasyim Muzadi, sedangkan Ketua Umum PBNU itu seperti Gus Sholah, Mahfud MD, Mohammad Nuh, atau Nusron Wahid,\" katanya. Senada dengan itu, intelektual muda NU yang juga Dekan Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya Dr HM Sahid MAg menyatakan setuju jajaran tanfidziyah NU berkarakter manajer, sebab bila berposisi seperti syuriah akan justru mengambil peran syuriah. (*)
Hasyim Muzadi: "Saya Tidak Ada Ambisi"
Sabtu, 9 Mei 2015 4:33 WIB