Semangat Anak-Anak Desa Silli-NTT Ajari Veradina
Selasa, 27 Januari 2015 8:16 WIB
Tak pernah terbayangkan bagi Veradina Novianti menjadi guru di sebuah sekolah yang sangat terbatas infrastrukturnya, gedung yang hanya beratap daun kering, bertembok kayu jejer dan beralas tanah, menjadi tempat mengajarnya.
Di dusun sekolah berada, listrik yang menjadi sumber utama tanda kemajuan wilayah juga belum masuk, sehingga saat malam tiba hanya ditemani cahaya sederhana dari lampu minyak.
Meski terbatas, Veradina yang merupakan lulusan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) angkatan 2010 ini mengaku kagum dengan semangat belajar anak-anak di dusun ini, para siswa tetap ingin belajar meski fasilitas pendukung tidak seperti sekolah di perkotaan.
Lokasi Veradina mengajar itu ada di SD Sublele, Dusun VI, Desa Silli, Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Lokasinya sangat jauh dari keramaian pusat kota, tepatnya sekitar 75 kilometer dari pusat Kota Kupang.
Untuk menuju ke sini, dibutuhkan kondisi ekstra apalagi bila hujan turun, karena jalan ke sekolah akan dipenuhi lumpur sehingga sekolah akan terasa terisolasi bila hujan datang. Belum lagi, jalannya yang licin dan kontruksi tanah yang naik dan turun.
Namun demikian, kondisi ini tidak membuat siswa merasa berat datang ke sekolah, bahkan beberapa siswa yang jarak antara sekolah dengan rumah sekitar 15 kilometer, selalu berangkat pagi pukul 04.00 WITA agar bisa sampai sekolah tepat waktu pukul 07.00 WITA.
Veradina menceritakan dirinya sampai di sekolah itu karena ikut dalam gerakan sarjana mendidik di daerah terdepan, terluar dan tertinggal (SM3T) dan mendapat tugas mengajar di sebuah sekolah pedalaman NTT.
Lalu perempuan kelahiran Bogor 1992 ini mencari informasi mengenai keberadaan sekolah sesuai dengan tugasnya melalui internet, dan mendapati bangunan sekolah yang cukup layak dengan fasilitas lengkap.
Ternyata, apa yang dia dapati melalui internet tidaklah sesuai dengan kenyataan, bahkan gedung dan fasilitas lengkap itu tidak ada.
Sebab, apa yang ditampilkan di internet merupakan gedung sekolah di dusun lain, namun desa yang sama.
Ketidaksesuaian inilah yang membuat langkah awal Novianti sedikit memudar ketika mengetahui lokasi sesungguhnya sekolah itu, bahkan untuk beradaptasi awal dalam mengajar pun sangat susah.
Semangat Belajar
Namun perlahan-lahan itu berubah secara drastis ketika melihat semangat siswa-siswi Dusun VI dalam belajar, bahkan beberapa siswa rela datang kembali pada malam hari untuk belajar dan tidur dengan alas tanah.
\"Semangat belajarnya dan keingintahuan mengenai pendidikan sangat tinggi, bahkan mereka rela malam hari datang ke perpusatakaan sekolah dan tidur beralas tanah dan mendengar cerita pendidikan,\" ucap perempuan lulusan jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) itu.
Sementara Veradina juga tahu, kondisi perpustakaan yang tak lebih bagus dari bangunan sekolah dengan ukuran sekitar 3x4 meter juga tidak membuat siswa patah semangat untuk tetap belajar.
Semangat inilah yang menjadikan Veradina dan satu temannya Rifky Adli \'betah\' tetap mengajar, dan tak terasa sudah memasuki bulan keenam mengajar di sekolah tersebut.
\"Seandainya nanti kita diperpanjang tidak masalah, karena kami sudah senang mengajar di sini, dan semangat anak-anak di sini membuat kita mengajar juga bersemangat,\" ucap perempuan berjilbab ini.
Sementara itu, Kepala SD Sublele, Kornelus Kono, mengaku keberadaan sekolah di Dusun VI itu baru berdiri tahun 2010, dan mendapatkan izin operasional dari Dinas Pendidikan setempat tahun 2013.
Keberadaan sekolah didorong dari semangat masyarakat dusun dalam hal pendidikan, sehingga mereka membangun secara swadaya gedung sekolah.
Kornelius mengatakan, keberadaan siswa saat ini adalah angkatan pertama SD Sublele yang berjumlah 35 siswa, terdiri dari 11 siswa di kelas 1, empat siswa di kelas 2, enam siswa di kelas 3, lima siswa di kelas 4, dan sembilan siswa di kelas 5.
Sementara, dikarenakan terbatasnya infrastruktur beberapa kelas pun harus digabung, seperti kelas 4 dan 5.
\"Kita sudah minta bantuan kepada dinas pendidikan dalam hal infrastruktur, dan mereka juga sudah perhatikan secara pelan-pelan, salah satunya mengirim beberapa materi buku pengajaran,\" ucapnya di sela menerima mahasiswa KKN dari Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya.
Ia berharap pemerintah pusat untuk lebih memperhatikan keberadaan sekolah di daerah tertinggal atau perbatasan, sebab jangan sampai semangat belajar para siswa putus akibat kurang perhatiannya pemerintah.
Metode Pengajaran
Terkait metode atau pola pengajaran, memang tidak bisa disamaratakan antara siswa yang ada di pedalaman atau daerah tertinggal dengan siswa yang ada di perkotaan.
Hal itu karena kondisi lingkungan menentukan pengetahuan awal para siswa, sehingga metode yang digunakan juga harus disesuaikan dengan kondisi sosial dan geografis lingkungan, karena menentukan keberhasilan dari sebuah materi pelajaran.
Hal inilah yang dialami oleh beberapa guru yang mengajar di daerah tertinggal, seperti halnya Varadina.
Menurut dia, penerapan Kurikulum 2013 (K13) yang menjadi acuan pemerntah pusat sebagai percontohan di beberapa sekolah perkotaan, tidak bisa dipaksakan di pedalaman NTT.
Ini karena penerapan K13 terkendala ketiadaan media atau alat untuk praktik belajar, sehingga Varadina mengaku lebih memilih beralih ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006.
Dia mengatakan, penerapan K-13 memaksa guru untuk membuka laptop atau perangkat elektronik lainnya, padahal listrik di tempatnya mengajar tidak ada, karena itu ia tidak memaksakan penerapan K-13.
Untuk itulah, ia lebih berinovasi agar siswa lebih memahami apa yang diajarkan tanpa memaksakan kurikulum yang telah ditetapkan secara nasional, sebab setiap lokasi mempunyai karakteristik yang berbeda-beda.
\"Di sini untuk mencari aliran listrik harus berjalan jauh sekitar 15 km keluar dusun, dan itu sering saya lakukan supaya laptop bisa menyala dan menunjukkan gambar atau film kepada siswa,\" ujarnya.
Senada dengan itu, Sofia Tamela, salah satu guru SMP Nusa Timur di pedalaman Desa Sillu, NTT, mengaku penerapan K-13 sangat susah dilakukan, sebab materi yang diberikan harus disertai contoh nyata.
\"Seperti contoh saat materi gambar transportasi kereta api. Di desa ini tidak ada kereta api, bahkan saya tidak bisa memperlihatkan kepada siswa bagaimana bentuk nyata,\" ucap Sofia.
Oleh karena itu, Sofia bersama sejumlah guru di Desa Sillu sepakat menggunakan KTSP disertai kreativitas guru, agar siswa bisa lebih memahami materi yang diajarkan, meski KTSP plus kreativitas dan perilaku itu sesungguhnya juga esensi K-13. (*)