ASEAN Free Trade Area (AFTA) atau zona perdagangan bebas ASEAN yang akan berlaku per Januari 2015 sudah mulai terasa di Kota Surabaya. Hal ini ditunjukkan dengan kebebasan mobilitas pengusaha antarnegara. Sebelumnya produk-produk luar negeri yang beredar di Kota Pahlawan merupakan jenis barang pabrikan yang diproduksi usaha besar. Tren itu perlahan mulai bergeser seiring mendekatnya pemberlakuan era AFTA. Kini, barang dagangan warga negara asing (WNA) mulai merambah sektor usaha mikro. Saat ini sudah mulai ada pedagang kaki lima (PKL) dari negara asing yang berjualan jajanan tradisional di Surabaya. Stan PKL milik orang asing tersebut bisa dijumpai di salah satu kawasan di Surabaya Timur, tepatnya di Jalan Manyar Kertoarjo. Fabrizio Urso adalah bule asal Italia yang sudah tujuh bulan ini berjulan gorengan di pinggir Jalan Manyar Kertoarjo. Pria berumur 39 tahun ini sudah sepuluh tahun tinggal di Indonesia. Ia sempat bekerja sebagai chef (kepala koki) di sebuah restoran Italia di Jalan Imam Bonjol, Surabaya. Adapun jajanan khas daerah yang dijual mulai dari tahu isi, ote-ote, pisang goreng, hingga pastel. Fabrizio memutuskan berhenti bekerja meski posisi pekerjaannya sudah tinggi sejak awal 2014. Ia lebih memilih berwirausaha sendiri dengan menjual gorengan. Berbekal gerobak dorong sederhana, Fabrizio menjajakan dan mempopulerkan gorengan khas Indonesia di pinggir jalan di Surabaya. Gorengan tersebut dibuatnya sendiri bersama istrinya seorang warga negara Indonesia. "Saya lebih suka usaha sendiri," ujarnya. Untuk membedakan dengan penjual gorengan lainnya, Fabrizio Urso mengutamakan kehigienisan gorengan dan racikan tepung yang dipakainya. Harga gorengan itu antara Rp1.000 hingga Rp3.000. Meski demikian, cita rasanya dinilai lebih enak dan berkualitas karena mentega yang digunakan adalah mentega Singapura. Meski tidak disadari Fabrizio, penampilannya justru menjadi daya tarik tersendiri bagi para pembeli. Gorengannya banyak disukai masyarakat khususnya pengguna jalan di Jalan Manyar Kertoaja yang tiap sore hari selalu macet. Selain itu, Fabrizio juga menjual minuman kopi robusta dan torabika. Dengan berjualan gorengan dan kopi selama 4 hingga 5 jam setiap harinya bule itu mampu mendapat Rp500 ribu hingga Rp700 ribu. Ia menikmati pekerjaan yang sudah digelutinya lebih dari 7 bulan. Ia juga berharap gorengan racikannya sendiri ini disukai penikmat jajanan ringan. Walaupun harus berjualan di pinggir jalan, Fabrizio yang dulunya menjabat sebagai bos di restoran Itali ini tidak merasa malu. "Saya cukup menikmati berjualan gorengan karena saya suka berkuliner dan makan," katanya dengan bahasa Indonesia yang belum terlalu mahir. Gorengan milik Fabrizio ini di Jalan Manyar Kertoarjo biasanya buka mulai pukul 18.00 WIB. "Saya biasanya beli gorengan di sini setiap pulang kerja. Pas kebetulan jalanan macet, dan laper, ya kami berhenti dan beli gorengan," kata Zakiyah, warga Rungkut Surabaya. Menurut dia, awalnya tidak mengetahui kalau yang jualan seorang bule. Namun, ata dia, setelah melihat cara membuatnya yang cukup bersih dan rasanya juga enak, maka ia mengaku sering beli saat pulang kerja. "Akhirnya jadi langganan. Tapi sekarang tambah rame yang beli," ujarnya. Hal sama juga diungkapkan warga Keputih, Antok. Ia mengaku sudah dua kali beli gorengan. "Lumayan enak. Saya lihat juga pembuatannya bersih, tidak seperti penjual lokal yang terkesan asal buat," ujarnya. Proteksi Merek Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperdagin) Surabaya Widodo Suryantoro menilai pihaknya masih belum tahu bagaimana strategi yang digunakan bule asal Italia itu sehingga bisa menghasilkan produk berkualitas dengan harga murah. "Jika merujuk pada asas perdagangan bebas, pemkot tidak bisa serta-merta melarang orang asing yang membuka usaha di Surabaya," katanya. Hanya saja yang bisa dilakukan yakni melindungi hak paten merek lokal serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) agar mampu bersaing. Upaya proteksi merek sudah dijalankan Disperdagin sejak 2010. Total hingga kini sudah ada lebih kurang 400 unit Usaha Kecil Menengah (UKM) yang memanfaatkan fasilitasi proteksi merek ini. Artinya, merek 400 pelaku UKM di Surabaya sudah tercatat di Kementerian Hukum dan HAM RI. Tahun ini, dari target 380 pemohon, sedikitnya 178 pemohon telah mendaftarkan legalitas brand-nya. 100 di antaranya sudah mengantongi sertifikatnya sementara sisanya masih dalam proses. Dari data Disperdagin, 400 merek yang sudah mengatongi sertifikat kebanyakan merupakan jenis usaha handicraft (kerajinan tangan), fesyen dan makanan-minuman. Widodo menyampaikan bahwa pendaftaran merek ini gratis karena biaya ditanggung APBD Kota Surabaya. Syaratnya, pemohon harus ber-KTP Surabaya. KTP itu lantas difotokopi dan didaftarkan melalui kantor Disperdagin Surabaya dengan menyertakan etiket/logo merek. "Kalau mengurus sendiri biayanya sekitar Rp2 juta. Tapi, dengan program fasilitasi dari pemkot, pemohon tidak perlu mengeluarkan biaya apa pun karena sudah didanai oleh pemkot," ujarnya. Keuntungan para pemegang sertifikat merek adalah mereka dapat memperkarakan bilamana ada pihak lain yang berupaya menjiplak atau meniru hasil produknya. "Bagi yang merasa mereknya dipakai, bisa lapor ke Disperindag untuk selanjutnya dilakukan mediasi," ujar Widodo. Tidak hanya sertifikat merek, Disperdagin Surabaya juga memberikan kemudahan berupa fasilitasi sertifikat halal Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sertifikat halal ini dipandang penting karena sangat menentukan suatu produk dapat diterima oleh masyarakat atau tidak. Untuk pengurusan sertifikat halal, warga dipersilakan datang ke kantor Disperindag guna memenuhi sejumlah persyaratan. Pengajuan sertifikat halal melalui program fasilitasi pemkot juga gratis alias tidak dipungut biaya. Fasilitasi sertifikat merek dan halal terintegrasi dengan strategi pemkot untuk peningkatan kualitas produk. Sebelumnya, para pelaku UKM dibekali pelatihan dari Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Berencana (Bapemas & KB). Tujuannya, agar pelaku UKM bisa menghasilkan produk yang berkualitas. Setelah itu, wadah usaha UKM di-support oleh Dinas Koperasi dan UMKM, baik dari segi permodalan maupun pembentukan koperasinya. Sedangkan Disperindag membantu asas legalitas dan pemasarannya. "Jadi ini semua merupakan kerja sama lintas sektoral yang terintegrasi demi mempersiapkan UKM menghadapi AFTA 2015," katanya. Selain kualitas produk, faktor tenaga kerja tampaknya juga akan memberikan tantangan tersendiri karena dengan diberlakukannya AFTA, maka arus keluar-masuknya orang, barang dan uang dari dan ke Indonesia lebih mudah. Hal itu menyebabkan adanya kemungkinan para pekerja dari luar negeri berdatangan ke Surabaya. Menurut Widodo, Surabaya bisa jadi daya tarik para tenaga kerja asing. Sebagai pembanding, upah minimum kota (UMK) Surabaya lebih tinggi ketimbang UMK di India yang jika dikurskan ke rupiah berkisar pada Rp1,6 juta. Untuk itu, pemkot berinisiatif memberikan fasilitasi sertifikasi tenaga kerja, khususnya bagi tenaga kerja non-formal, misalnya penjahit, pengasuh bayi, buruh cuci, pengrajin dan sebagainya. Sebab, sektor non-formal inilah yang selama ini belum tersentuh proses sertifikasi tenaga kerja. Saat ini, pendataan tenaga kerja non-formal sudah dilakukan oleh Disperindag. Data tersebut yang nantinya disampaikan ke Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Sedangkan sektor kerja formal sudah ditangani oleh Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) dan sejauh ini berjalan dengan baik. Anggota DPRD Surabaya Achmad Zakaria mendukung adanya sertifikasi merek produk UKM. "Tapi perlu diperjelas, sertifikasi gratis itu untuk semua UKM. Jangan UKM tertentu agar tidak pilih kasih," katanya. Selama ini, lanjut dia, pihaknya menilai sosialisasi yang dilakukan Pemkot mengenai sertfikasi merek kurang menyentu di kalangan pelaku UKM. Selain itu, juga belum dipikirkan sertifikasi SDM untuk PKL sehingga nantinya bisa bersaing dengan PKL asing. "Masih ada waktu tiga bulan sehingga perlu difikirkan untuk dibuat regulasi khusus perlindungan produk UKM terkait pasar bebas," katanya. (*)
Mampukah PKL Lokal Bersaing di AFTA 2015 ?
Minggu, 19 Oktober 2014 12:40 WIB