Kabupaten Malang "Bersih-bersih" Lokalisasi ala Dolly
Sabtu, 6 September 2014 9:02 WIB
Malang (Antara Jatim) - Euforia dan keberhasilan Pemerintah Kota Surabaya menaklukkan dan menutup lokalisasi terkenal di seantero belahan Asia, Dolly Surabaya, tanpa menimbulkan gejolak berarti sepertinya menginspirasi sejumlah pimpinan daerah untuk melakukan hal yang sama, tidak terkecuali Kabupaten Malang.
Di Kabupaten Malang, jumlah lokalisasi tergolong tidak sedikit dan menyebar di sejumlah kawasan. Wacana untuk menutup sejumlah lokalisasi tersebut sebenarnya muncul jauh sebelum lokalisasi Dolly ditutup. Namun, upaya penutupan selalu gagal karena mendapat perlawanan dari para penghuni maupun mucikari.
Selain itu, Pemkab Malang juga belum menemukan formulasi yang tepat untuk mengalihkan kawasan lokalisasi tersebut menjadi kawasan ekonomis yang lebih produktif dan lebih baik meski tidak lagi menjadi kawasan penjaja cinta sesaat.
Dari sekian banyak lokalisasi di Kabupaten Malang, baik yang legal maupun terselubung, paling tidak ada tujuh lokalisasi yang bakal ditutup. Penutupan dilakukan paling lambat pada tanggal 28 November mendatang.
Sekretaris Daerah Kabupaten Malang Abdul Malik mengatakan bahwa Pemkab Malang memberi tenggat waktu bagi tujuh lokalisasi untuk ditutup maksimal pada tanggal 28 November 2014. Dengan tenggat waktu itu, ketujuh lokalisasi tersebut harus sudah tutup atau tepat pada saat Pemkab Malang merayakan HUT ke-1.254.
"Kami ingin 'bersih-bersih', terutama membersihkan daerah ini dari prostitusi. Sebagai langkah awal, tujuh lokalisasi akan ditutup dan itu akan menjadi kado 'manis' bagi ulang tahun Kabupaten Malang pada bulan November nanti," kata Abdul Malik belum lama ini.
Menurut dia, lokalisasi tersebut akan segera dialihfungsikan agar tidak digunakan lagi setelah ditutup secara resmi. Misalnya, lokalisasi di Suko Kecamatan Sumberpucung yang akan diubah menjadi sentra karaoke keluarga, lokalisasi Kebobang di Kecamatan Wonosari akan dijadikan pusat industri rumah tangga yang bergerak di sektor makanan olahan khas Gunung Kawi, yakni ubi jalar Gunung Kawi atau ubi jalar ungu.
Sementara itu, lima lokalisasi lain juga akan dialihfungsikan. Untuk alih fungsi lokalisasi lainnya, hanya tinggal menunggu Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans), Dinas Sosial (Dinsos) dan Dinas Koperasi dan UKM yang akan mencari bentuknya yang sesuai dikembangkan di kawasan tersebut.
Ketujuh lokalisasi yang bakal ditutup itu, di antaranya adalah Kebobang Wonosari, Kalikudu Pujon, Slorok Kecamatan Kromengan, Girun Kecamatan Gondanglegi, Embong miring di Kecamatan Ngantang, serta Sendangbiru Kecamatan Sumbermanjing Wetan.
"Setelah ditutup, kami akan mengupayakan yang terbaik agar prostitusi tidak menjalar dan pindah di tempat lain," tegasnya.
Program penutupan ketujuh lokalisasi di Kabupaten Malang tersebut juga mendapat dukungan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Forum Kounikasi Antarumat Beragama (FKUB), bahkan kedua organisasi tersebut mendesak Bupati Malang Rendra Kresna agar tidak ragu dan mempercepat penutupan lokalisasi yang ada di daerah itu.
"FKUB akan berada di garis depan dalam penutupan lokalisasi tersebut, bahkan MUI juga mendukung program penutupan itu. Penutupan lokalisasi di Kabupaten Malang sesuai dengan visi Kabupaten Malang sebagai kawasan beragama. Oleh karena itu, Bupati jangan ragu untuk menutupnya," tegas Ketua FKUB Kabupaten Malang Mahmud Zubaidi.
Hanya saja, rencana penutupan tujuh lokalisasi di wilayah Kabupaten Malang itu meresahkan sejumlah penghuni lokalisasi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Rencana penutupan yang belum jelas arah dan alihfungsinya dikhawatirkan akan menimbulkan lokalisasi baru, bahkan tanpa ada pengendalian terhadap infeksi menular seksual (IMS).
Data Dinas Kesehatan Kabupaten Malang pada tahun 2014 mencatat 75 persen pengidap IMS berasal dari kelompok pekerja seks komersial (PSK). LSM yang fokus mendampingi PSK di Jawa Timur, Paramitra menyebut penutupan lokalisasi yang terpusat dikhawatirkan akan berdampak pada penularan IMS yang tidak terkontrol.
Belum lama ini Manajer Program Yayasan Paramitra wilayah Malang Raya Sudarmaji mencontohkan dampak penutupan lokalisasi Dolly yang imbasnya terasa di berbagai wilayah lain di luar Surabaya.
Menurut dia, banyak PSK asal Dolly yang turun ke daerah lain untuk melanjutkan profesi mereka di lokalisasi baru, termasuk Malang Raya dan Pasuruan. Di Kabupaten Malang, berada di wilayah Singosari, Pakisaji, Wagir, Sitiarjo, dan Pujon, di Kota Malang berada di sekitar Stasiun Kota Baru, kemudian di Tretes, Prigen, paling banyak ditemukan lokalisasi baru yang diduga pindahan dari Dolly.
Ia mengatakan bahwa jumlah PSK di lokasi yang tidak tetap, jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan PSK yang ada di lokalisasi terpusat, sehingga dirinya kesulitan ketika akan memberikan pendampingan dan pembinaan terhadap PSK, terutama yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
Sudarmaji mengaku pendampingan kesehatan kepada PSK di lokalisasi terpusat juga membutuhkan waktu yang lama dan tidak mudah mengajak PSK untuk melakukan cek kesehatan rutin setiap bulan. "Di wilayah Malang Raya, PSK yang ada di jalanan saja lebih dari 300 dan mereka selalu berpindah-pindah sehingga susah untuk melakukan pendampingan, bahkan kami khawatir tanpa strategi yang tepat, penutupan serempak juga akan berdampak pada penularan IMS yang tidak terkontrol," tegasnya.
Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Malang mencatat jumlah penderita IMS pada tahun 2013 mencapai 7.130 orang dengan 65 persen di antaranya adalah PSK, 11 persen waria, 3,7 persen pasangan berisiko tinggi, dan 0,15 persen adalah pelanggan PSK dan waria.
Jumlah penderita IMS sejak Januari hingga Mei 2014 tercatat sebanyak 2.204 penderita, 75 persen di antaranya adalah PSK, waria 1 persen, pasangan berisiko tinggi 2 persen, pelanggan PSK, waria 0,18 persen dan lain-lain sekitar 22 persen. Dari 2.204 penderita IMS ini, 800 di antaranya adalah penderita HIV/AIDS.
Tanpa Pesangon
Berbeda dengan penutupan lokalisasi Dolly di Surabaya, penutupan lokalisasi di Kabupaten Malang tanpa kompensasi pesangon. Padahal, ada 327 wanita pekerja seks dan 84 muncikari yang ada di tujuh lokalisasi yang dalam waktu dekat ini bakal ditutup secara serentak.
Bupati Malang Rendra Kresna beralasan tidak diberikannya kompensasi atau pesangon bagi para PSK tesrebut karena Pemkab tidak pernah memberi izin pendirian atau izin operasional kepada tujuh lokalisasi itu.
Namun, Rendra menyadari bahwa penutupan lokalisasi tidak akan bisa mengakhiri praktik dan bisnis prostitusi. Pemerintah Kabupaten Malang tetap mencarikan solusi bagi seluruh penghuni dan masyarakat di sekitar lokalisasi, salah satunya adalah mengalihkan lokalisasi menjadi lokasi usaha, seperti tempat karaoke dan pusat kerajinan makanan, sesuai dengan potensi wilayah masing-masing.
Rendra optimistis rencana penutupan tujuh lokalisasi ini tidak ditentang pekerja seks, muncikari, dan warga setempat sebab penutupan lokalisasi didukung tokoh agama dan masyarakat dari berbagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, apalagi sosialisasai penutupan ketujuh lokalisasi tesrebut sudah dilakukan sejak Juni lalu.
Menurut Rendra, perwakilan dari tujuh lokalisasi diundang mengikuti rapat untuk mengetahui rencana penutupan tempat mereka bekerja. "Sosialisasinya masih terus digencarkan agar semua pihak memahami tujuan penutupan, mudah-mudahan pada akhir November nanti sudah beres semua dan tidak ada gejolak," tandasnya.
Rendra mengemukakan bahwa penutupan lokalisasi tersebut akan melibatkan banyak satuan kerja perangkat daerah (SKPD), di antaranya Dinas Sosial (Dinsos), Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans), serta Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Pasar (Disperindagsar).
Ketiga instansi tersebut siap membantu para penghuni lokalisasi untuk beralih profesi sesuai dengan keahlian dan keterampilan masing-masing. "Untuk permodalannya, kami akan membantunya melalui dana bergulir kepada kelompok," ujarnya.
Untuk mendapatkan pelatihan keterampilan dan bantuan pinjaman permodalan tersebut, Dinsos setempat juga telah melakukan pendataan terhadap penghuni di tujuh lokalisasi tersebut.
Purnomo, pengelola lokalisasi Suko Sumberpucung, mengatakan bahwa dirinya pasrah atas rencana Pemkab Malang yang akan menutup semua lokalisasi yang ada di daerah itu. Hanya saja, jika itu keputusan final dari Pemkab Malang, pemerintah juga harus memikirkan masa depan para PSK, mucikari dan warga yang penghasilannya dari lokalisasi Suko.
"Jika benar-benar ditutup, kami berharap pemerintah daerah memikirkan nasib kami pascapenutupan lokalisasi. Sebab, selama ini masyarakat di sekitar kompleks banyak yang menggantungkan hidupnya dari penghuni wisma dan tamu," ujarnya.
Mengenai sosialisasi dan pembekalan keterampilan dari pemkab terhadap warga maupun penghuni lokalisasi lainnya, Purnomo mengaku belum ada. "Yang dilakukan baru pendataan, mungkin setelah pendataan selesai baru ada kegiatan sosialisasi dan pelatihan keterampilan, termasuk bantuan permodalannya, minimal untuk bekal penghidupan yang baru," katanya.
Dasar penutupan itu adalah Keputusan Bupati Nomor 188.45/380/KEP/421.013/2014 tentang tim penanganan dan penutupan lokasi pekerja seks komersial di Kabupaten Malang. (*)