30 Militan Al Qaida Tewas dalam Serangan di Yaman
Senin, 21 April 2014 5:19 WIB
Aden (Antara/AFP) - Serangan pesawat tak berawak di Yaman selatan menewaskan sedikitnya 30 terduga militan Al Qaida, Minggu, yang terakhir dari serangkaian serangan udara yang digencarkan di negara miskin itu, kata seorang kepala suku.
Serangan itu dilakukan kurang dari sepekan setelah pemimpin Al Qaida di Semenanjung Arab (AQAP) Nasser al-Wuhayshi berjanji dalam pesan di video akan memerangi "pasukan salib" Barat di mana pun.
Sebelumnya dilaporkan bahwa lima orang tewas dan banyak lain cedera dalam serangan Minggu, yang ditujukan pada pertemuan militan di kota Al-Mahfad di provinsi Abyan.
"Lebih dari 30 anggota Al Qaida tewas dan banyak lain cedera," kata kepala suku itu.
Sebuah pernyataan di situs kementerian pertahanan 26sep.net mengatakan, serangan terhadap "kamp-kamp pelatihan" Al Qaida menewaskan "sejumlah" militan dari berbagai kewarganegaraan.
AS merupakan satu-satunya negara yang mengoperasikan pesawat tak berawak di Yaman, meski ada kecaman keras dari kelompok-kelompok HAM.
Presiden Yaman Abd-Rabbu Mansour Hadi bulan lalu membela penggunaan pesawat tak berawak AS terhadap Al Qaida di negaranya.
Menurut Hadi, penggunaan pesawat tak berawak telah membatasi kegiatan Al Qaida, meski terjadi sejumlah kekeliruan yang patut disesalkan.
Militan Al Qaida memperkuat keberadaan mereka di Yaman tenggara, dengan memanfaatkan melemahnya pemerintah pusat akibat pemberontakan anti-pemerintah yang meletus pada Januari 2011 yang akhirnya melengserkan Presiden Ali Abdullah Saleh.
Ofensif pasukan Yaman yang diluncurkan pada Mei 2012 berhasil menghalau militan Al Qaida dari sejumlah kota dan desa di wilayah selatan dan timur yang selama lebih dari setahun mereka kuasai.
Meski melemah, jaringan teror itu masih bisa melancarkan serangan-serangan terhadap sasaran militer dan polisi.
Yaman adalah negara leluhur almarhum pemimpin Al Qaida Osama bin Laden dan hingga kini masih menghadapi kekerasan separatis di wilayah utara dan selatan.
Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka.
Negara-negara Barat, khususnya AS, semakin khawatir atas ancaman ekstrimisme di Yaman, termasuk kegiatan Al Qaida di Semenanjung Arab (AQAP).
AS ingin presiden baru Yaman, yang berkuasa setelah protes terhadap pendahulunya membuat militer negara itu terpecah menjadi kelompok-kelompok yang bertikai, menyatukan angkatan bersenjata dan menggunakan mereka untuk memerangi kelompok militan itu.
Militan melancarkan gelombang serangan sejak mantan Presiden Ali Abdullah Saleh pada Februari 2012 menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya, Abd-Rabbu Mansour Hadi, yang telah berjanji menumpas Al Qaida. (*)