"Mimpi" Kartini
Minggu, 20 April 2014 6:06 WIB
Kita tidak perlu mempersoalkan kenapa RA Kartni ditokohkan sebagai pahlawan nasional Indonesia, karena sudah melekat pada setiap anak bangsa di republik tercinta ini bahwa Kartini yang lahir di Jepara, Jawa Tengah, pada tahun 1879, adalah seorang pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
Banyak kalangan yang tidak setuju dengan penokohan perempuan yang setiap 21 April itu diperingati sebagai hari kelahirannya. Sejumlah aktivis perempuan menilai bahwa masih banyak tokoh wanita lain yang lebih berbobot untuk disejajarkan dengan tokoh-tokoh nasional lainnya.
Tanpa memperruncing kontroversi yang belum kunjung habis, tidak ada salahnya bila kita tetap melihat dari sisi positif mengapa perempuan bersahaja yang kini hanya bisa kita pandangi wajah cantiknya melalui foto, itu tetap menjadi "ikon" bagi kaum perempuan di negeri ini untuk meningkatkan martabat dan memperoleh persamaan hak dalam segala bidang dengan kaum pria.
Hal itu tertuang dalamsurat-surat Kartini yang ditulis dengan pena sang Kartini yang dikirimkan ke para sahabatnya dan itulah yang sering dijadikan titik balik untuk menggugah semangat kaum perempuan agar bisa mandiri. "Mimpi-mimpi" yang ingin ia bangun selalu memengaruhi kaum perempuan untuk mewujudkannya.
Seperti petikan surat yang dikirimkan kepada Nyonya Abendanon, 12 Desember 1902: "Kami berikhtiar supaya kami teguh sungguh, sehingga kami sanggup berdiri sendiri. Menolong diri sendiri. Menolong diri sendiri itu kerap kali lebih suka dari pada menolong orang lain. Dan siapa yang dapat menolong dirinya sendiri, akan dapat menolong orang lain dengan lebih sempurna pula".
Pada zamannya, Kartini yang lahir dari keluarga ningrat, pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M.A Ngasirah, itu merasa terbelenggu dengan aturan-aturan budaya yang tidak memberikan kebebasan bagi kaum perempuan untuk bersosialisasi atau pun berkreasi. Kini, keinginan Kartini lebih seabad lalu agar kaum perempuan bisa menjangkau dunia luas dalam segala bidang, sudah terbuka bebas.
Diakui bila di negeri ini sudah banyak kaum perempuan yang bisa duduk sejajar dengan kaum pria, baik dalam memperoleh hak dalam bidang pendidikan, politik, lapangan kerja, kesejahteraan dan lainnya. Namun sayang, masih banyak pula kaum perempuan yang ingin mencapai "mimpi" dengan jalan pintas sehingga kesempatan yang mestinya mereka peroleh seringkali disalahgunakan oleh orang-orang yang berniat mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri.
Tidak sedikit pula kaum perempuan yang harus membanting tulang dengan mengabdikan diri sebagai buruh migran. Namun, mereka hanya bermodal nekad tanpa membekali diri, baik kemampuan maupun pengetahuan, sehingga kenistaan yang harus mereka peroleh, sementara perlindungan hukum yang mestinya bisa memayungi mereka jauh dari jangkauan.
Sangat ironi bila mimpi Kartini ingin melihat kaum perempuan bisa mandiri, tapi laju yang mereka tempuh sangat terjal. Hal itu terjadi karena kaum perempuan terlalu mudah menyerah dengan tipu daya dan iming-iming atau mewujudkan impian dengan cara yang serba instan, sehingga seringkali membuat dirinya menjadi terpuruk.
Maka sangat disarankan kepada kaum perempuan dan generasi penerusnya untuk mementingkan pendidikan agar tidak mudah diombang-ambingkan oleh ketidakpastian akibat minimnya pendidikan. Bagaimana pun pendidikan formal maupun informal sangat dibutuhkan sejak dini, untuk membentengi diri agar bisa mandiri.
Bukankah sudah banyak bukti bahwa kaum perempuan yang mandiri akan dapat mensejahterakan keluarga dan masyarakat di ligkungannya.
Seperti harapan Kartini pada bagian surat lainnya yang disampaikan kepada Nyonya Van Kool, Agustus 1901, seperti dikutip Wikiquote Indonesia. "Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa bahagia baginya".
Semoga para calon anggota legislatif dari kalangan perempuan yang pada Pemilu Legislatif 2014 berusaha keras memperebutkan kursi dengan tujuan agar lebih mudah memperjuangkan kaumnya, tidak hanya untuk kenikmatan dirinya sendiri, tapi tetap ingin memperjuangan kesejahteraan kaumnya untuk bisa hidup lebih bermatabat. Agar tidak ada lagi kasus-kasus buruh migran yang terancam hidupnya untuk mendapatkan kebahagiaan.
Kalau kaum perempuan terdidik tidak peduli dengan sesamanya, siapa lagi yang mau mewujudkan “mimpi” Kartini?!. (*)