Melihat Desa Pandansari Pascaerupsi Kelud
Jumat, 14 Maret 2014 10:28 WIB
Desa Pandansari merupakan desa terdampak erupsi Gunung Kelud (1731 mdpl) paling parah di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Desa yang terletak di Kecamatan Ngantang ini terlihat seperti "desa mati" sehari setelah diterjang erupsi abu vulkanik.
Pasir dan bebatuan sebesar genggaman tangan orang dewasa bekas material vulkanik, sempat menimbun permukaan desa ini beberapa centimeter, dan menghancurkan genting atap rumah warga, hal ini membuat mayoritas rumah di sini terlihat hanya beratap langit karena luluh lantak akibat terjangan material vulkanik.
Dibalik parahnya kerusakan tersebut, desa yang terdiri dari tujuh dusun ini masih menyimpan sejuta keindahan alam yang patut dijadikan referensi atau destinasi kunjungan wisata di Jawa Timur.
Hamparan tumbuhannya yang terlihat bangkit kembali sebulan pascaerupsi, bisa membuat decak kagum setiap orang yang memandang, ditambah derasnya aliran air di persawahaan terasering (berundak), akan mampu menyegarkan otak pemandangnya, khususnya bila dilihat dari atas pembatas Bendungan Selorejo.
Di sisi lain, kearfian lokal dan keluhuran budayanya, sangat layak untuk diajukan sebagai salah satu situs warisan dunia UNESCO atau "UNESCO’s World Heritage Sites", sebab nilai-nilai luhur desa setempat mampu bangkitkan warganya pascaerupsi,
Namun demikian, untuk menjangkau desa ini tidaklah mudah karena dibutuhkan tenaga ekstra, sebab posisinya berada di atas bukit, dibalik Bendungan Selorejo serta di antara kepungan Sungai Sambong.
Akses satu-satunya menuju desa ini setelah melalui jalan umum beraspal adalah melewati jembatan Sungai Sambong. Namun kini jembatan itu sudah putus akibat lahar dingin yang menerjang wilayah itu beberapa waktu lalu, sementara pengerjaan pembangunannya masih dalam proses, sehingga pupus harapan bila datang saat hujan, atau sore hari, sebab aliran sungai akan mengisolir keberadaan desa ini.
Cara paling efektif untuk datang ke sini adalah saat pagi hingga siang hari, sebab volume aliran SungaiSambong masih sedikit dan bisa diterobos menggunakan sepeda motor, truk atau mobil yang memiliki ketinggian di atas rata-rata.
Dan jarak dari pusat Kota Malang menuju desa ini sekitar 25 kilometer, atau bisa ditempuh menggunakan kendaraan pribadi dengan waktu tempuh sekitar dua jam, dengan melalui rute Kota Batu, Kecamatan Pujon serta Kecamatan Ngantang.
Setelah itu, kemudian masuk di kawasan wisata Bendungan Selorejo, tepatnya di kantor Jasa Tirta, Kabupaten Malang. Dan sesampainya di atas pembatas bendungan, ketakjuban akan desa ini sudah mulai terlihat sebagai salah satu destinasi wisata terindah di Jawa Timur.
Dalam catatan Pemkab Malang, Desa Pandansari terletak di Kecamatan Ngantang yang merupakan salah satu dari 33 kecamatan di wilayah setempat, dan memiliki ketinggian antara 500 – 700 meter dari permukaan laut.
Desa Pandansari secara geografis terletak sebelah barat Kabupaten Malang dengan batas utara Kabupaten Mojokerto, timur Kecamatan Pujon, Selatan Kabupaten Blitar serta barat Kecamatan Kasembon.
Desa ini memiliki tujuh dusun, yakni Sambirejo, Bales, Klangon, Sedawun, Plumbang, serta dua dusun yang terkena dampak erupsi paling parah adalah Dusun Pait dan Kutut.
Mitologi dan Kearifan Lokal
Meski tercatat sebagai desa paling parah terkena dampak erupsi Gunung Kelud, korban meninggal di desa ini sangat minim, bahkan pada hari "H" saat terjangan abu vulkanik korban meninggal tidak ada.
Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Malang mencatat, korban meninggal saat hari "H" kejadian di Desa Pandansari tidak ada, namun sepekan pascaerupsi total korban meninggal sebanyak 8 orang dari seluruh wilayah Kabupaten Malang, salah satunya Desa Pandansari.
Kepala Dusun Kutut, Lamadi mengatakan, tidak adanya korban meninggal pada saat kejadian berlangsung salah satunya diakibatkan kuatnya warga dalam memegang mitos leluhur.
Salah satu pesan leluhur yang masih dipegang kuat adalah bila terjadi erupsi Kelud yang menyerang wilayah setempat, para warga dilarang menggunakan topi atau pelindung kepala saat proses evakuasi atau menyelamatkan diri dari serangan abu vulkanik.
"Yen Gunung Kelud meletus, ojo tau nganggo kupluk supaya ora kene watu," (Kalau Gunung Kelud meletus jangan sekali-kali menggunakan topi atau pelindung kepala, agar tidak tertimpa batu)," tutur Lamadi yang menirukan pesan leluhur itu.
Ungkapan itu dipercaya akan mampu menyelamatkan warga desa saat proses evakuasi dari terjangan abu vulkanik Gunung Kelud, meski ketika itu abu yang menerjang kawasan Desa Pandansari mempunyai volume sebesar gengaman tangan orang dewasa.
"Dari dua puluh orang yang menyelamatkan diri dengan saya, kebanyakan memang tidak menggunakan pelindung kepala, dan hanya saya yang menggunakan helm saat itu, sebab menurut saya pesan itu sangat berlawanan," ucapnya.
Selain itu dalam lanjutan pesan leluhur, warga juga diminta berlari menyelamatkan diri menuju Gunung Ampingan yang berada di sisi selatan Desa Pandansari, karena lokasi itu dianggap paling kramat dan aman.
"Sebagian warga di sini juga berasumsi demikian, serta mengikuti petunjuk pesan itu. Dan kami mencatat, tidak ada korban jiwa pada saat malam kejadian akibat tertimpa batu," ujarnya.
Lamadi pun mengakui, cerita leluhur itu tidak tercatat dalam buku, bahkan pola evakuasi menuju Gunung Ampingan hanya didasari dari keyakinan warga terhadap pesan itu, dan dianggap sebagai bagian dari ikhtiar untuk menyelamatkan diri.
Menanggapi hal itu, Pakar Budaya dari Universitas Brawijaya (UB) Malang, Rianto mengatakan, mitologi atau mitos merupakan kepercayaan yang tidak mempunyai runtutan yang jelas, dan orang yang berpikir secara mitos, diartikan orang mistis atau bersifat ghoib (tidak ada).
Kepercayaan yang dianut oleh warga Desa Pandansari saat proses evakuasi dari Gunung Kelud diakui masih banyak dilakukan oleh warga di negara ini, dan itu adalah salah satu kearifan lokal budaya dari setiap daerah.
Dikatakan Rianto, keberadaan mitologi sebagai kearifan lokal tidak bisa diukur secara jelas, karena masuk dalam keilmuan budaya, sehingga apabila melakukan pendekatan, diperlukan pendekatan secara budaya pula.
"Pemerintah tidak bisa menghapus hal ini meski tidak jelas, namun tetap diperlukan pembinaan terhadap warga. Dan caranya adalah melalui pendekatan secara budaya, sehingga warga tidak merasa disakiti dan terjebak dengan mitos yang ada," kata Rianto yang juga Ketua Paguyuban Seni Budaya UB Malang.(*)