UPT Bengawan Solo Keluarkan Air Waduk Pacal
Kamis, 6 Maret 2014 18:45 WIB
Bojonegoro (Antara Jatim) - Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Bengawan Solo di Bojonegoro, Jawa Timur, akan mengeluarkan air Waduk Pacal pada Jumat (7/3), sebagai upaya menggelontor sedimen di sekitar pintu pengeluaran.
"Pengeluaran air dilakukan agar sedimen berupa lumpur juga yang lainnya di sekitar pintu pengeluaran keluar," kata Pengawas Waduk Pacal UPT Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Bengawan Solo di Bojonegoro, Njasmani, Kamis.
Ia menyebutkan volume air Waduk Pacal yang akan dikeluarkan untuk menggelontor sedimen diperkirakan sekitar 5 meter kubik/detik dengan durasi waktu tiga jam.
"Pengeluaran air untuk mengelontor sedimen tiga jam cukup untuk menghilangkan sedimen yang ada di sekitar pintu," katanya.
Menurut dia, penggelontoran sedimen dengan cara mengeluarkan air sangat diperlukan agar sedimen yang masuk ke dalam waduk tidak menutup pintu pengeluaran. "Pernah terjadi pintu pengeluaran tertutup sedimen, sehingga air tidak bisa dikeluarkan, meskipun pintu sudah dibuka," ujarnya.
Ketika itu, Balai Besar Bengawan Solo di Solo, Jawa Tengah, harus mendatangkan peralatan berat penyedot lumpur untuk menyedot sedimen yang berada di sekitar pintu pengeluaran.
Ia menjelaskan daya tampung Waduk Pacal sudah maksimal dengan ketinggian air pada papan duga 115,80 meter dengan kapasitas air sekitar 23 juta meter kubik. Bahkan, air waduk melimpah melalui saluran dengan ketinggian berkisar 70-80 cm sejak sepekan lalu.
"Air Waduk Pacal sudah lama tidak dikeluarkan, sebab tidak ada permintaan air dari petani di sepanjang daerah irigasinya," jelasnya.
Waduk Pacal yang dibangun Belanda pada 1933 mampu menampung air hujan sebesar 42 juta meter kubik. Akibat faktor usia dan mengalami pendangkalan, daya tampung Waduk Pacal menyusut hanya tinggal 23 juta meter kubik dan mampu mengairi areal pertanian seluas lebih dari 16 ribu hektare.
UPT Bengawan Solo, memperkirakan sedimen yang masuk waduk mencapai 15 ribu meter kubik per tahun, akibat rusaknya daerah tangkapan air di wilayah setempat. (*)