Blitar (Antara Jatim) - Peringatan zona bahaya serta ancaman lahar dingin dari puncak Gunung Kelud (1731 mdpl) rupanya tidak menyurutkan langkah para penambang batu dan pasir di hulu Sungai Kaliputih untuk terus berburu berkah, meski berhadapan dengan ujung lidah kawah. Begitulah pemadangan yang terhampar di depan mata saat roda-roda kendaraan sepeda motor meraung terseok menyusuri sungai purba Kaliputih di Dusun Sukosewu, Desa Karangrejo, Kecamatan Garum, Blitar, Jawa Timur. Puluhan, atau mungkin lebih dari seratus "dump truck" seperti terserak membaur di antara parit-parit alami yang menghiasi dasar Sungai Kaliputih menyerupai ceruk di antara dua bukit. Di belakangnya, para penambang sibuk mencangkuli pasir-batu (sirtu) dan menaikkannya ke atas bak truk yang terbuka. Tidak hanya mengambil material sirtu di kawasan hilir. Beberapa penambang ada juga yang nekat mengambili material batu-batu padas yang terselip di tumpukan batu apung sekitar ujung lidah lahar beku muntahan Gunung Kelud sejak mengalami erupsi pada Kamis (13/2) malam. Bongkahan demi bongkahan batu gombong/apung dipisah, sementara batu keras dinaikkan ke atas bak truk hingga terisi penuh. Pekerjaan menambang batu pada untuk material bangunan itu terlihat menjadi berat karena material batu gombong yang tak bisa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, jauh lebih banyak. Ibarat mencari lidi di antara tumpukan jerami. Akibatnya, mereka harus bekerja lebih keras agar bisa mengumpulkan batu demi batu untuk kemudian dijual kepada setiap armada truk yang datang. "Butuh waktu seharian untuk mengumpulkan batu sebanyak satu rit dump truk," tutur Kusno, salah seorang penambang. Wajahnya berpeluh, nafasnya sedikit memburu saat berhenti sejenak dan berbincang dengan sopir "dump truck" yang mencoba sedikit menggeser kendaraannya dari posisi semula. Namun, penambang sepuh itu tetap mencoba bersemangat. Digalinya lagi batu-batu gombong di hadapannya lalu dia pungut batuan keras yang terselip. Sangat melelahkan, bahkan untuk sekadar menyaksikan perjuangan Kusno dan para penambang lain dalam durasi kurang dari 10 menit. "Tidak ada pilihan lain, kami harus tetap bekerja agar asap dapur tetap mengepul," gumam Kusno, lirih. Lava atau lahar beku yang mengalir hingga radius lima kilometer di sekitar hulu Sungai Kaliputih saat ini memang mendatangkan berkah lain bagi masyarakat Dusun Sukosewu, dan Sidodado, Desa Karangrejo. Banyaknya kunjungan wisatawan lokal dari berbagai penjuru daerah di Blitar, Tulungagung, dan Trenggalek memberi sedikit keuntungan melalui jasa parkir yang dipatok sebesar Rp5 ribu per kendaraan. Namun, berkah serupa belum sepenuhnya bisa dinikmati para penambang batu dan pasir di kawasan yang masih ditetapkan sebagai zona bahaya letusan Gunung Kelud ini. Selain areal penambangan mereka menciut lantaran sebagian tertutup lava beku, tidak ada banyaknya aliran air dari arah hulu mengakibatkan proses rekayasa pengumpulan sedimen pasir menjadi lebih sulit. Jika sebelum letusan satu titik lokasi penambangan bisa mengumpulkan material pasir antara dua hingga tiga rit truk, saat ini mereka hanya bisa menyediakan satu rit yang dijual ke "dump truck" dengan harga Rp50 ribu isi penuh. "Ini dari semalaman saya mengumpulkan pasir dengan mengarahkan aliran air ke lokasi pengambilan," tutur Sukri, penambang pasir di kawasan hilir Sungai Kaliputih, sekitar dua kilometer dari ujung lahar beku yang mentup hampir semua kawasan hulu. Nasib lebih buruk rupanya dialami oleh penambang batu seperti Kusno dan kawan-kawan, karena harus bergelut dengan batu-batu gombong yang tidak banyak memiliki nilai ekonomi. Batu keras yang bisa dikumpulkan pun tidak terlalu banyak. Paling banter menurut pengakuan Kusno dan Jari, mereka hanya bisa menyediakan satu truk batu keras untuk material bangunan dengan harga jual Rp100 ribu per rit. "Alhamdulillah, yang penting cukup buat makan, beli (minuman) kopi dan sebungkus rokok," kata Kusno bersahaja. Ancaman Lahar Dingin Jangan pernah membayangkan para penambang pasir ini bekerja di bawah ancaman bencana lahar dingin, meski beraktivitas di ujung lahar beku yang menjadi kepanjangan lidah kawah Gunung Kelud. Alam telah membentuk naluri menjadi lebih tajam, khususnya dalam mengenali setiap pertanda alam di lokasi mereka bekerja. Alih-alih hidup dengan suasana tercekam, para penambang pasir dan batu di Sungai Kaliputih saat ini justru merasa memiliki benteng alami yang diyakini menjauhkan mereka dari ancaman lahar dingin. Gunungan lava beku. Ya, jutaan kubik material vulkanik yang menyumbat hulu Sungai Kaliputih ini secara alami telah menjauhkan para penambang pasir-batu di sungai purba ini dari bahaya lahar dingin, setidaknya untuk sementara waktu. Air hujan yang mengguyur kawasan puncak lalu mengalir dan menyatu di area hulu sungai aliran lahar ini tidak serta-merta menjadi banjir bandang dengan membawa aneka material vulkanik, seperti terjadi di Sungai Konto, Ngantang, Malang maupun daerah Kandangan, Kediri. Sebaliknya, air hujan yang mengalir dari arah puncak Gunung Kelud justru meresap ke bawah dan mengisi pori-pori lava beku yang menutup wilayah hulu Sungai Kaliputih dengan ketebalan mencapai 50-an meter lebih dan memanjang hingga radius lima kilometer. Namun, bukan berarti para penambang ini lepas kewaspadaan. Menurut keterangan Kakek Bajang, sesepuh keamanan di Sungai Kaliputih, warga dan penambang akan segera dihalau untuk kembali ke pemukiman atau menepi ke atas tebing setiap kali turun hujan di daerah puncak. "Itu bahasa alam yang tidak boleh kami langgar, agar mereka (roh-roh halus penghuni kawah Gunung Kelud, dalam kepercayaan masyarakat lokal) tidak marah," terangnya. Sebagaimana penuturan beberapa penambang lain, Kakek Bajang menyebut fenomena hujan lderas di daerah puncak Gunung Kelud bisa dilihat dengan jelas dari kawasan hilir. Dalam kondisi normal sebelum erupsi debit air banjir dari kawasan puncak bisa mencapai ketinggian hingga dua meter, cukup besar untuk ukuran aliran sungai purba yang memiliki penampang yang sangat besar, sehingga menyerupai sebuah ceruk di antara dua bukit. "Kami biasanya menunggu sekitar seperempat hingga setengah jam sejak terjadi hujan lebat di kawasan puncak, jika tidak ada 'pladu' (peningkatan debit air secara cepat disertai lumpur, sehingga berwarna cokelat keruh) berarti tidak akan ada lahar dingin," terang Kakek Bajang, memberi gambaran. Kalau sudah begitu, Sukri dan kawan-kawan biasanya berani kembali lagi. Demikian juga dengan truk-truk pengangkut batu dan pasir yang sebelumnya dievakuasi ke daerah aman. Menurut pengakuan Kakek Bajang, pola komunikasi dan koordinasi antarpenambang di Sungai Kaliputih cukup baik karena mereka terorganisasi dengan baik pula. Jalur menuju lokasi penambangan Sungai Kaliputih, misalnya, dibuat satu pintu dan dijaga tenaga keamanan bersama yang telah disepakati masyarakat penambang dan direstui perangkat desa. "Setiap truk atau 'dump truck' yang masuk membayarnya di portal ini dan diganti kertas nota untuk dibawa masuk dan diberikan kepada penambang pasir atau batu sebagai bukti untuk mengambil material dari dasar sungai," paparnya. Mekanisme pembayaran yang terpusat itulah yang membuat pola komunikasi dengan penambang berjalan efektif. Sebab, penambang yang melanggar wilayah penambangan atau tidak mematuhi ketentuan tidak tertulis, seperti mengevakuasi diri saat turun hujan lebat di kawasan puncak dan berisiko memicu lahar dingin, mereka akan disanksi atau bahkan didiskualifikasi hak penambangannya. "Bom Waktu" Terlepas dari keyakinan masyarakat lokal yang merasa terhindar dari marabahaya Kelud, potensi lahar dingin tetap menjadi "bom waktu" yang mengancam kehidupan di sekitar kawasan hilir. Penjelasan pakar kebencanaan dari Pusat Studi Bencana UGM, Prof Junun Sapto Hadi memastikan tidak terjadinya lahar dingin di Kabupaten Blitar pascaerupsi Gunung Kelud pada Kamis (13/2) bersifat sementara. Menurutnya, air hujan ataupun cikal-bakal lahar dingin dari kawasan puncak meresap ke dalam lahar beku yang menutup kawasan hulu sungai-sungai aliran lahar (seperti di Sungai Kaliputih, Kalikuning, dan Kalibladak). "Airnya mengisi pori-pori sedimen batuan yang konfigurasinya tidak saling mengikat, sementara lapisan tanah di bagian bawah belum jenuh," terangnya. Menurut Junun, kondisi di Blitar jauh berbeda dengan fenomena lahar dingin yang terjadi di Sungai Konto yang mengalir melewati daerah Ngantang, Malang. Konfigurasi batuan yang saling mengikat dan cenderung padat membuat lapisan tanah di bagian bawah cenderung jenuh. "Air hujan yang jatuh dan mengalir ke anak sungai dengan demikian langsung mengalir dan terakumulasi menjadi lahar dingin yang membawa material vulkanik Kelud," terang Prof Junun, menganalisa. Secara khusus, dia bersama tim dari Pusat Studi Bencana UGM saat ini terus melakukan penelitian mengenai potensi bencana kegunungapian di berbagai daerah, termasuk di Gunung Kelud. Hasilnya, ia mengidentifikasi potensi lahar dingin belum sepenuhnya hilang di daerah-daerah sekitar Gunung Kelud. Meski status Gunung Kelud saat ini telah diturunkan dari Siaga menjadi Waspada level II, tumpukan material vulkanik berupa lahar beku yang menyumpal di hulu sungai-sungai aliran lahar dikhawatirkannya menjadi bom waktu yang mengancam keselamatan penduduk di bawahnya. "Kalau sampai hujan turun terus-menerus di Puncak, tentu suatu saat pori-pori lahar beku yang sebelumnya tidak terisi menjadi jenuh sehingga air tidak lagi meresap tetapi mengalir sebagai lahar dingin. Dan itu jelas sangat berbahaya," ujarnya. Beruntungnya, kata dia, secara kemeteorologian cuaca atau curah hujan pada Maret dan April ini diprediksi menurun, sehingga potensi lahar dingin diperkirakan juga kecil kemungkinan terjadi. Penjelasan Profesor Junun memberi gambaran rasional kenapa sejauh ini lahar dingin nyaris tidak terjadi di Kabupaten Blitar, sementara fenomena serupa justru melanda sejumlah sungai aliran lahar menuju wilayah Ngantang, Malang maupun Kediri. Padahal, di Blitar sedikitnya ada tiga jalur aliran lahar berkapasitas besar, seperti Sungai/Kali Bladak, Kali Putih, serta Kali Kuning. Material vulkanik berbentuk sedimen batuan apung dengan diameter besar terlihat di sepanjang area hulu tiga sungai ini dengan kedalaman mencapai 25 meter lebih. Saat ini kondisi hulu ketiga sungai aliran lahar tersebut cenderung kering, terutama di Kali Putih yang bersumber langsung dari pusat kawah Gunung Kelud hingga radius lima kilometer. Namun, hujan deras yang mengguyur kawasan puncak beberapa hari lalu kemudian memunculkan fenomena baru di permukaan sungai Kali Putih yang cenderung kering, di mana terbentuk seperti bekas aliran air yang mengeluarkan asap berbau belerang menyengat.(*)
Berburu Berkah di Ujung Lidah Kawah Kelud
Senin, 3 Maret 2014 11:53 WIB
