KPK Jemput Paksa Staf Ratu Atut
Jumat, 7 Februari 2014 14:17 WIB
Oleh Desca Lidya Natalia
Jakarta (Antara) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjemput paksa staf Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah terkait penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan sarana dan prasarana alat kesehatan provinsi Banten 2011-2013.
"Benar dijemput paksa," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Jumat.
Staf Atut yang dimaksud adalah Siti Halimah yang dibawa masuk penyidik ke gedung KPK pada sekitar pukul 11.50 WIB.
Siti Halimah tampak menutupi wajahnya dengan kerudung kuning dan langsung masuk ke gedung KPK.
Seorang saksi menurut Johan dipanggil paksa karena tidak memenuhi panggilan sebanyak dua kali. Siti Halimah sebelumnya pernah dipanggil pada 30 Januari 2014 lalu.
Dalam kasus ini, Atut disangkakan pasal 12 huruf e atau a atau pasal 12 huruf b atau pasal 5 ayat 2 atau pasal 11 UU No 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1.
Pasal tersebut mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Ancaman pidana bagi orang yang terbukti melanggar pasal tersebut adalah pidana penjara penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Selain disangkakan melakukan pemerasan, Atut juga disangkakan menyalahgunakan kewenangan sebagaimana sangkaan pertama KPK kepada Atut dan adiknya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan yang berasal dari pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tentang setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Artinya Atut menjadi tersangka dalam tiga kasus di KPK yaitu dugaan korupsi pengadaan alkes Banten, dugaan penerimaan gratifikasi dalam pengadaan alkes Banten dan dugaan suap kepada mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terkait dengan pilkada Lebak.
Badan Pemeriksa Keuangan setidaknya menemukan tiga indikasi penyimpangan dalam pengadaan alat kesehatan di Banteng yang mencapai Rp30 miliar.
Ketiga penyimpangan itu adalah alat kesehatan tidak lengkap sebesar Rp5,7 miliar; alat kesehatan tidak sesuai spesifikasi sebesar Rp6,3 miliar dan alat kesehatan tidak ada saat pemeriksaan fisik sebanyak Rp18,1 miliar. (*)