Anak Buta pun bisa Bikin "Video Diary"
Sabtu, 4 Januari 2014 16:20 WIB
Rasanya sulit dipercaya bila seorang tunanetra bisa membuat "video diary", bagaimana caranya? Bukankah dia tidak bisa melihat? Apalagi, bila tim pembuat video itu juga sama-sama disabilitas.
Tapi, hal itu bukan masalah yang sulit bagi penyandang disabilitas penglihatan, Jejen Juanda, bahkan ia merasa senang dengan pengalaman pertama itu.
"Saya bahagia karena ada karya saya yang masih bisa digunakan, meski bagian yang kabur atau gambarnya melenceng tidak bisa dipakai," ucap putra Tasikmalaya itu.
Ditemui setelah menyampaikan testimoni di Tunjungan XXI, Tunjungan Plasa, Surabaya (9/12/2013), Jejen mengaku sudah lama suka dengan drama radio.
"Akhirnya, saya tahu pengumuman dari laman Yayasan Kampung Halaman dan facebook bahwa Yayasan Kampung Halaman mau mengadakan workshop video diary, maka saya coba ikut," tukasnya.
Laman dan facebook, bagaimana bisa? "Ya, saya sering mem-browsing laman dan facebook yang sudah menggunakan aplikasi suara. Kan saya pakai screen reader di handphone untuk baca SMS atau pesan-pesan di media sosial. Semua teks bisa diubah jadi suara," tukasnya.
Remaja yang baru saja lulus SMA LB "Lestari" di Tasikmalaya (2013) itu langsung mengajukan diri untuk mengikuti workshop itu, karena dirinya memang hobi dengan cerita dan sandiwara radio.
"Awalnya sih coba-coba, karena saya tidak dapat melihat objek yang akan saya rekam gambarnya, tapi ternyata saya bisa, meski sempat mengalami kesulitan," kilahnya.
Lantas, bagaimana caranya mengetahui objek? "Caranya, saya arahkan kamera pada sumber suara yang saya dengar, hasilnya ada yang kabur gambarnya, tapi ada hasil yang masih bisa dipakai," tuturnya.
Setelah diberita tahu teman bila ada sebagian gambarnya yang dipakai dalam film itu, ia mengaku sangat bahagia, karena merasa usahanya tidak sia-sia, sebab masih ada yang bisa digunakan.
"Bahkan, saat diajak ke gedung film ini, saya juga bahagia, meski tidak bisa menonton gambarnya dan hanya mendengarnya, tapi ini pengalaman pertama ke bioskop," paparnya.
Ditanya kemungkinan dirinya terlibat dalam pembuatan film lagi, ia mengatakan dirinya lebih cocok degan drama radio. "Kalau film bisa juga, tapi mungkin lebih pas pada editing audio," tegasnya.
Sulitnya kerja sama antar-disabilitas pun diakui Puti Irra Puspasari, penyandang disabilitas pendengaran. Awalnya, ia juga bingung saat hendak berkomunikasi dengan Jejen Juanda.
"Itu karena saya mengandalkan komunikasi dengan bahasa isyarat, sedangkan Jejen justru tidak bisa melihat bahasa isyarat saya. Tapi, ternyata nggak susah dengan kecanggihan teknologi komunikasi, karena Jejen pakai screen reader di handphone," ulasnya.
Ya, bagi Jejen dan penyandang disabilitas penglihatan lainnya, teknologi gadget dan aplikasi pembaca layar (screen reader) menjadi sarana komunikasi paling efektif antarpenyandang disabilitas.
Oleh karena itu, penyandang disabilitas pendengaran, Laura Wijaya, berharap masyarakat dapat lebih memahami pentingnya bahasa isyarat bagi orang dengan disabilitas pendengaran melalui "video diary" itu.
Hal itu dibenarkan penyandang disabilitas penglihatan, Yudhi Hermawan. "Ini merupakan pengalaman yang luar biasa dan saya berharap video-video ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama para pembuat keputusan, tentang disabilitas," katanya.
Ruang, peluang, perlakuan
Dalam workshop tersebut, 19 penyandang disabilitas penglihatan, pendengaran, dan fisik diajak melakukan riset atas persoalan yang mereka hadapi, mengambil gambar dan suara (audio) hingga proses mengedit.
Mereka didampingi mentor dan fasilitator dari berbagai latar belakang profesi, yakni Arfan Sabran (sutradara film dokumenter), Abu Juniarenta (Kampung Halaman), Raphael Wregas Banutedja (sutradara), dan Irwan Nuryadi (Kampung Halaman).
Setelah berdiskusi ala disabilitas, belasan penyandang cacat yang mengikuti workshop pembuatan film akhirnya menyepakati dua tema yakni akses mereka dalam pekerjaan yang terkadang gagal, karena aplikasi lamaran yang dimasukkan tidak berujung pada pemanggilan untuk tes.
Tema lainnya tentang aksesbilitas mereka pada sejumlah bangunan seperti gedung pemerintahan dan fasilitas umum yang tidak "ramah" kepada penyandang cacat, di antaranya saat disabilitas akan naik "busway" yang harus naik tangga yang justru menyulitkan mereka.
Dua tema itu dituangkan dalam video diary berjudul "Job (Un) Fair" dan "Mana Akses Kami" yang berdurasi total 30 menit. Video diary yang merekam keseharian, perjuangan, dan harapan para penyandang disabilitas ini dibuat selama Oktober 2013.
Video diary mengenai akses terhadap pekerjaan dan fasilitas umum yang difasilitasi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan Yayasan Kampung Halaman ini dibuat dalam rangka peringatan Hari Penyandang Disabilitas Internasional.
Pesan utama dalam dua video ini adalah memberikan ruang, peluang, dan perlakuan yang sama bagi penyandang disabilitas dalam kehidupan sehari-hari merupakan pengakuan bahwa mereka adalah bagian dari keberagaman Indonesia.
"Kami harapkan video ini dapat membantu menghapuskan segala bentuk hambatan yang dihadapi penyandang disabilitas, dari sikap, fisik, ekonomi dan budaya, dan akan membantu masyarakat luas belajar mendengarkan dan memahami suara dan cara pandang disabilitas tentang pekerjaan dan kehidupan mereka," kata Ketua YKH Dian Herdiany.
Tentang akses menjadi CPNS bagi penyandang disabilitas itu, Asisten III Setdaprov Jatim Edi Purwinarto berjanji akan menyurati Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN/RB) untuk menanyakan peluang penyandang disabilitas mendaftar calon pegawai negeri sipil.
"Kementerian PAN/RB hanya mengatur bahwa CPNS harus sehat jasmani dan rohani, tapi sehat jasmani tidak diberi tafsir," katanya setelah menyaksikan pemutaran 'video diary' karya belasan disabilitas di Studio Tunjungan XXI, Tunjungan Plasa, Surabaya (9/12/2013).
Menurut dia, 'sehat jasmani' tanpa penjelasan itulah yang membuat disabilitas tidak diterima saat mendaftar CPNS. "Karena itu, tafsir 'sehat jasmani' itu haru ada, karena sehat jasmani itu bukan berarti cacat (disabilitas), apalagi cacat secara fisik itu bukan berarti kemampuan mereka itu jelek," katanya.
Apalagi, katanya, UU dari Menakertrans mengatur kewajiban untuk memberikan peluang kepada disabilitas menjadi PNS minimal satu persen. "Masalahnya, aturan itu belum nyambung dengan aturan pada Kementerian PAN/RB, karena itu kami akan menanyakan," katanya.
Tentang aksesbilitas pada sejumlah bangunan seperti gedung pemerintahan dan fasilitas umum yang tidak "ramah" disabilitas, ia menyatakan Pemprov Jatim sudah mengesahkan Perda 13/2013 untuk memberi aksesbilitas bagi disabilitas.
"Aturannya sudah ada bahwa gedung pemerintahan dan fasilitas umum yang 'bersahabat' dengan penyandang cacat harus diupayakan kalangan pemerintah dan swasta dengan waktu maksimal pada 2015," katanya.
Dalam kesempatan itu, perwakilan dari PT Omega Plastik, Sidoarjo, Ikhsan, mengaku disabilitas memiliki kemampuan yang bisa mengalahkan pekerja normal, asalkan mereka dilatih untuk bidang pekerjaan tertentu.
"Misalnya, kami memiliki 35 dari 120 karyawan yang disabilitas. Hasilnya, pekerjaan disabilitas bisa menghasilkan 800 barang dalam delapan jam, padahal pekerja normal hanya 500 barang, karena mereka lebih fokus dalam pekerjaan," katanya. (*)