Kapolri: Teroris Ciputat Diikuti Sejak 4 Agustus
Jumat, 3 Januari 2014 20:52 WIB
Surabaya (AntaraJatim) - Kapolri Jenderal Pol Sutarman menyatakan gerak-gerik teroris yang diungkap di Ciputat, Jakarta, pada beberapa hari lalu, sebenarnya sudah diikuti sejak 4 Agustus 2013.
"Penangkapan di Ciputat itu dilakukan setelah kami ikuti sejak 4 Agustus 2013 hingga akhirnya digerebek," katanya saat menghadiri Konsolidasi TNI-Polri Dalam Rangka Pengamanan Pemilu 2014 di Mapolda Jatim, Jumat.
Menurut dia, meski sudah banyak pelaku teroris dihukum mati dan ada pula yang tewas saat dieksekusi polisi, tapi jaringan terorisme di Indonesia tidak akan pernah mati, karena mereka akan terus berusaha mengembangkan jaringannya.
"Alasannya, teroris punya ideologi yang sangat kuat, bahkan jaringan mereka juga sangat kuat. Sel-sel teroris tidak ada pernah mati. Ideologi mereka sangat kuat. Mereka akan selalu hidup selama jaringan-jaringan atau anggota kelompok mereka masih hidup," katanya.
Oleh karena itu, katanya, penangkapan di Ciputat pada beberapa waktu lalu itu tidak akan menghentikan pengawasan Polri terhadap pergerakan-pergerakan teroris di beberapa daerah, seperti Jatim, Jakarta, Jateng, Poso, Aceh, Sulawesi, dan daerah lainnya.
"Kita akan terus awasi dan ikuti pergerakan mereka. Sebelum perayaan Natal dan Tahun Baru, Polri juga sudah menyampaikan warning kepada masyarakat dan anggota polisi untuk berhati-hari dan waspada terhadap serangan teroris. Waktu itu memang ada ancaman serangan," katanya.
Secara terpisah, dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya DR Ainur Rofik Al-Amin mengingatkan cara terbaik untuk mewaspadai ideologi radikal, ideologi transnasional, dan ideologi impor lainnya adalah justru dengan mengenali mereka.
"Wacana yang selalu didengang-dengungkan mereka adalah penolakan mereka terhadap NKRI dan ideologi Pancasila, karena itu gerakan pasti akan menimbulkan gesekan dengan masyarakat dan sejumlah organisasi sosial keagamaan di Tanah Air," katanya.
Dalam sebuah halaqah di Seblak, Jombang, ia menyatakan para pembawa ideologi impor itu tidak bisa disalahkan karena keberhasilan mereka melakukan pembinaan kepada sejumlah segmen masyarakat, terutama aktivis kampus, sekolah, masjid, dan parpol Islam.
"Aktivis mahasiswa perguruan tinggi, khususnya di kota besar, banyak yang terpengaruh oleh ajakan organisasi yang beraliran keras dengan ideologi impor itu, karena para penggerak ideologi asing itu melihat Indonesia sebagai lahan subur," katanya.
Menurut mantan aktivis HTI itu, solusi untuk mengantisipasi mereka justru mengkaji pemikiran kelompok ekstrem itu secara terbuka, intensif dan mendalam, seperti saran dari para pendiri NU yakni Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah.
"Para pendiri NU itu dikenal sangat terbuka berdebat dengan sejumlah kalangan yang membawa misi puritanisme di Tanah Air dan dikonfrontasi dengan karya ulama Ahlussunnah Waljamaah, karena itu para generasi muda harus dikenalkan dengan ajaran dan pandangan ideologi transnasional agar mereka memahami kelemahan dan penyimpangan mereka," katanya. (*)