Indonesia dalam Pandangan Profesor Koh Young Hun
Jumat, 6 Desember 2013 8:41 WIB
Pakar sastra dari "Hankuk University of Foreign Studies" (HUFS) Seoul Profesor Koh Young Hun selalu melihat Indonesia dari kacamata optimistik. Ia berkeyakinan bahwa negara ini akan menjadi negara maju karena potensinya yang besar.
Kalau saat ini bangsa Indonesia masih berkutat dengan berbagai persoalan, mulai dari korupsi, politik, ekonomi dan lainnya, hal itu hanya sebuah proses.
"Korea dulu juga begitu dan buktinya Korea bisa menyelesaikan masalah itu. Kalau Indonesia tidak punya harapan, untuk apa orang Korea menanamkan modalnya di sana?" kata Indonesianis yang juga pakar tentang Pramoedya Ananta Toer ini saat ditemui di Seoul beberapa waktu lalu.
Indonesia, kata dia, sudah berhasil dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi, meskipun kasus korupsi yang lain masih banyak dan perlu ditangani.
Dia mengemukakan bahwa di masyarakat Korea ada nilai-nilai adiluhung yang menjadi landasan kuat untuk menjadi negeri itu maju pesat. Nilai-nilai itu adalah "kita tidak bisa mengejar dua hal dalam satu kesempatan". Pada konteks ini adalah kekayaan dan kehormatan.
Karena itu jika seseorang memilih menjadi profesi, pekerjaan atau jabatan tertentu, maka jangan mengaharpkan sesuatu yang lain pada saat bersamaan. Misalnya jika seseorang memilih menjadi pemimpin atau politisi, maka yang akan didapatkan bukannya kekayaan, melainkan kehormatan.
"Kalau menjadi politikus, seharusnya tujuannya bukan untuk menjadi kaya. Seharusnya ketika menjadi anggota DPR yang dikejar adalah kehormatan. Kan dengan memilih kehormatan, seseorang itu tidak akan mati kelaparan. Begitu nilai-nilai yang dianut di Korea," kata penulis buku "Pramoedya Mengugat; Melacak Jejak Indonesia" ini.
Ketua Pusat Budaya Indonesia di Seoul ini mengemukakan bahwa di masyarakat Korea juga mengenal budaya kalangan priyayi sebagaimana kebudayaan di Jawa. Budaya dengan menjunjung nilai-nilai kehormatan itu di Korea dikenal dengan nama Yang Ban.
Nilai-nilai "sepi ing pamrih" seharusnya dibangkitkan kembali di masyarakat sehingga budaya kehormatan akan menjadi penguat. Dengan nilai-nilai itu, maka sebetulnya yang dipikirkan oleh seseorang bukan kepentingan pribadi, melainkan masyarakat umum.
Ada contoh kasus dimana seorang calon menteri di Korea batal dilantik hanya karena makan bersama keluarganya menggunakan kartu instansi tempatnya bekerja. Padahal uang yang digunakan tidak banyak.
Bagi Profesor Koh, kalau Korea dengan kekayaan nilai-nilai luhur yang sama dengan Indonesia bisa bangkit, maka Indonesia tentunya akan lebih dahsyat lagi. Dalam banyak hal, Indonesia lebih kaya dari Korea, khususnya sumber daya manusia dan alam.
"Tiga puluh tahun yang lalu, saya mendengar dari profesor saya di ruang kelas bahwa Indonesia merupakan negara yang berpotensi tinggi, karena sumber daya alam dan manusianya begitu kaya. Tiga puluh tahun sudah lewat, dan saya sudah menjadi profesor. Saya masih juga mengatakan kepada murid-murid saya bahwa Indonesia negara besar dan berpotensi tinggi dengan alasan yang sama," begitu Profesor Koh menulis dalam sebuah artikel berjudul "Korea Saja Bisa, Apalagi Indonesia."
Ia kemudian melanjutkan bahwa ciri utama yang mewarnai negara berkembang, dan merupakan musuh utama yang harus kita kalahkan, ialah kebodohan dan kemalasan yang keduanya adalah cikal bakal yang melahirkan kemiskinan. Karena itu, siapa yang lebih dahulu mampu menghilangkan dua sifat buruk itu, maka dialah yang akan dengan cepat dapat meraih kemajuan dan kemakmuran bangsanya. (*)