Pergulatan Profesor Koh Young dengan Sastra Indonesia
Kamis, 5 Desember 2013 8:49 WIB
Perkenalan Profesor Koh Young Hun dengan dunia sastra Indonesia melalui jalan panjang yang tidak pernah dipikirkan, apalagi dicita-citakan sebelumnya.
"Awal-awal saya kuliah, buku yang kami pelajari banyak istilah militer, seperti markas besar, mitraliur, atau mes perwira. Zaman saya kuliah tahun 1970-an, buku tidak sebanyak sekarang. Oleh karena itu, di Hankuk University menggunakan buku tentang ABRI, sekarang TNI," kata Guru Besar Sastra Indonesia pada "Hankuk University of Foreign Studies" (HUFS) Korea Selatan ini.
Saat itu, kata dia, Hankuk menggunakan tenaga dosen dari agen intelijen Korea (NIS). Si dosen itu menggunakan buku-buku Bahasa Indonesia tentang TNI. Tidak aneh kalau dari awal mahasiswa sudah akrab dengan singkatan-singkatan yang digunakan di dunia militer.
Pakar dalam kajian tentang Pramoedya Ananta Toer ini baru mengenal sastra Indonesia pada semester IV atau setelah setahun lebih kuliah di jurusan Bahasa Indonesia. Saat itu, dia mengenal sastra Indonesia dan penulisnya hanya lewat buku. Pada beberapa tahun kemudian dia bisa bertemu langsung dengan sastrawan seperti W.S. Rendra, Pramoedya atau Sutan Takdir Ali Syahbana.
"Meskipun fokus pada karya Pak Pram (Pramoedya), saya sangat menikmati kekayaan sastra Indonesia pada umumnya," kata lelaki bertubuh tinggi ini.
Bahkan, katanya, Sutan Takdirlah yang memberikan rekomendasi saat dirinya hendak kuliah S-3, saat itu di Universitas Malaya di Malaysia.
Satu hal yang hingga kini belum bisa dilaksanakan terkait dengan Indonesia adalah harapan Sutan Takdir agar dirinya menerjemahkan 100 buku tentang Korea. Sutan Takdir berharap buku-buku terjemahan itu bisa menularkan semangat dan etos masyarakat Korea ke Indonesia.
"Karena berbagai tugas yang lain, harapan Pak Takdir ini belum bisa saya laksanakan," kata lulusan SMA di Jeonju, Korea Selatan, sekitar 300 km dari Kota Seoul ini.
Mengenai ketertarikan pada kajian tentang Pram dan karyanya, Koh yang pernah mengajar Bahasa Korea di Universitas Nasional Jakarta ini mengemukakan bahwa penulis novel "Bumi Manusia" itu adalah sastrawan besar yang pernah dimiliki Indonesia, bahkan Asia.
Pada perjalanannya, Koh yang setiap pagi rajin berolahraga selama 1,5 jam ini kemudian bisa kenal dekat dengan Pram dan keluarganya. Bahkan, Pram dan istrinya Maemunah telah menganggap pengelola laman www.koreana.or.kr dan www.indonesian.co.kr ini sebagai anaknya.
Ia bercerita bahwa pada tahun 1986 ada kejadian lucu ketika seseorang menerjemahkan karya Pram dari sumber berbahasa Jepang. Saat buku itu terbit dan diiklankan di satu koran di Seoul ditulis bahwa Pram berasal dari India. Mungkin karena kedekatan nama sehingga orang Korea saat itu tidak bisa membedakan antara Indonesia dengan India.
Tidak Tahu Indonesia
Bagaimana pada tahun 1977 Koh muda bisa memilih jurusan Bahasa Indonesia? Ini menjadi cerita tersendiri hingga pada puluhan tahun kemudian mengantarnya menjadi salah seorang Indonesianis dari Korea Selatan.
Koh sebetulnya lulus SMA pada tahun 1976 dan memilih jurusan Bahasa Prancis, namun gagal. Dia tidak putus asa dan selama setahun belajar tekun agar bisa diterima di perguruan terkemuka di Korea itu.
Sebelum ujian masuk tiba, dia bertemu dengan seniornya yang berasal dari satu kampung. Si senior memberikan saran agar Koh memilih satu dari dua jurusan bahasa asing di HUFS yang memiliki prospek baik pada masa depan, yakni Indonesia dan Spanyol. Koh kemudian memilih jurusan Bahasa Indonesia.
"Waktu itu saya betul-betul tidak tahu di mana dan seperti apa itu Indonesia. Mengenai pilihan pada sastra, saya memang dari awal sudah tertarik. Saat SMP saya sudah mulai menulis cerpen. Pada semester V karya cerpen saya menerima anugerah dari HUFS," kata peraih dua gelar master ini.
Karena kertertarikannya pada karya Pram, saat studi Strata 2 (S-2) di HUFS dia melakukan kajian tentang penulis "Bumi Manusia" yang pernah diunggulkan untuk menerima hadiah Nobel itu, sementara untuk S-2 di Malaysia Koh melakukan kajian tentang teater modern. Untuk S-3 disertasinya juga tentang Pram yang kemudian dibukukan menjadi "Pramoedya Menggugat; Melacak Jejak Indonesia".
Ketua Pusat Budaya Indonesia di Seoul ini melakukan kajian karya Pram dalam konteks sosiologi sastra. Karena itu yang mengantarkan dia menguasai kondisi sosial masyarakat Indonesia. Dia banyak mengenal bagaimana budaya masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim.
Maman S. Mahayana, dosen sastra dari Universitas Indonesia (UI) yang kini menjadi profesor tamu HUFS mengemukakan bahwa kajian Profesor Koh tentang Pram yang menyeluruh menempatkan itu sebagai satu-satunya kajian tentang Pram yang paling lengkap.
"Pak Koh juga menempatkan pelajaran Bahasa Indonesia dalam konteks budaya, sastra juga dalam konteks budaya. Dengan begitu, pemahaman sosial budaya melalui sastra dan bahasa menjadi mudah diterima sekaligus karya itu lebih memperlihatkan kekayaannya," katanya.
Kritikus sastra ini mengemukakan bahwa kajian Koh tentang karya Pram tidak menggunakan pendekatan struktural, tetapi sosio-budaya, bahkan ditarik lebih jauh ke sejarah bangsa (Indonesia).
"Hal seperti ini yang mestinya dilakukan dalam kajian kesusastraan kita. Jadi bukan cuma berkutat pada soal alur, tema, dan unsur intrinsik lainnya yang justru mempersempit tafsir teks," kata penulis belasan buku dan editor puluhan buku ini.
Maman menilai bahwa kontribusi Koh justru di pengenalan sosial budaya Indonesia terhadap orang Korea agar tidak terjadi kesalahpahaman. Saat ini mahasiswa HUFS sudah tahu tentang Jaka Tingkir, Sangkuriang, Malin Kundang, Ahmad Tohari, Seno Gumir Ajidarma, N.H. Dini, Mochtar Lubis, dan lainnya.
Mengenai nilai-nilai Jawa, dia menilai Koh sadar betul bahwa Indonesia pada dasarnya dibangun atas falsafah itu.
"Jadi itu yang disampaikan Pak Koh kepada mahasiswa agar jangan 'to the point' jika menyampaikan sesuatu di tengah masyarakat Indonesia. Ada 'say hello' jika hendak melakukan atau bertemu seseorang," katanya. (*)