Pamekasan Jadi Tuan Rumah Karapan Sapi Kekerasan
Kamis, 31 Oktober 2013 13:07 WIB
Pamekasan (Antara Jatim) - Kabupaten Pamekasan, Madura, menjadi tuan rumah pelaksanaan karapan sapi berpola kekerasan, meski karapan sapi dengan pola ini ditentang oleh kalangan ulama setempat dan aktivis penyayang binatang, karena bernuansa penyiksaan.
Panitia Pelaksana Karapan Sapi dari unsur pemerintah Hasan Mursi, Kamis, mengatakan Pamekasan menjadi tuan rumah dalam pelaksanaan karapan sapi berpola kekerasan ini atas permintaan para pemilik sapi karapan.
"Sesuai hasil kesepakatan bersama dengan Bakorwil, karapan sapi berpola kekerasan ini akan tetap digelar pada tanggal 3 November 2013," katanya.
Karapan sapi dengan kekerasan itu tetap menggunakan nama Piala Presiden RI, meski pemerintah sendiri sampai saat ini membekukan Piala Bergilir Presiden karena cara penyiksaan dinilai melanggar hukum.
"Tetapi, piala yang akan diberikan kepada pemilik pasangan sapi karapan adalah Piala Gubernur Jatim, bukan dari Presiden, meski namanya Karapan Sapi Piala Presiden," katanya.
Selain itu, karapan sapi dengan pola kekerasan ini disepakati ditempatkan di Kabupaten Pamekasan, karena mendapat dukungan dari salah seorang anggota DPRD dari Partai Islam.
Sementara itu, karapan sapi tanpa kekerasan rencananya digelar di Bangkalan dengan memperebutkan piala yang sama dari Gubernur Jawa Timur.
Pemkab Bangkalan memfasilitasi adanya karapan sapi tanpa kekerasan ini, karena sebelumnya pemerintahan setempat dengan pimpinan bupati termuda di Indonesia ini memang menolak praktik karapan sapi dengan kekerasan.
Menurut Bupati Bangkalan R. Muh Makmun Ibnu Fuad SE, karapan sapi dengan penyiksaan itu sangat tidak manusiawi, bahkan cenderung memamerkan praktik kekerasan kepada masyarakat dunia.
Bupati Bangkalan menganggap bahwa karapan sapi dengan pola "rekeng" atau pola kekerasan itu telah menyimpang dari dari khazanah budaya Madura.
"Awalnya, karapan sapi yang sudah terkenal di dunia itu tanpa penyiksaan, sebagaimana dilakukan pemilik sapi di sebagian besar wilayah Madura," katanya.
Usulan menghapus praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi ini mulai gencar disuarakan para pecinta hewan, kalangan budayawan dan ulama Madura sejak 2010.
Tahun 2011, Badan Koordinasi Wilayah Pemerintahan dan Pembangunan (Bakorwil) IV Pamekasan selaku penanggung jawab kegiatan pelaksanaan tahunan lomba karapan sapi di Pulau Garam itu berupa menghapus praktik kekerasan itu dengan menyosialisasikan kepada para pemilik sapi karapan, namun tidak terlaksana.
Ketika itu, karapan sapi tetap menggunakan "rekeng" atau kekerasan. Pada tahun 2012, akhirnya karapan sapi Piala Presiden RI terpecah menjadi dua, yakni menggunakan kekerasan dan karapan sapi tanpa kekerasan.
Karapan sapi Piala Presiden 2012 terpecah menjadi dua, karena pertimbangan politik Gubernur Jatim Soekarwo. Karapan sapi Piala Bergilir Presiden RI dengan kekerasan digelar di Lapangan Kerap Kecamatan Ketapang, Kabupaten Sampang, sedangkan karapan tanpa kekerasan di lapangan Stadion RPH. Moh. Noer, Kabupaten Bangkalan.
Kepala Bakorwil IV Pamekasan Edy Santoso menyatakan untuk pelaksanaan Karapan Sapi Piala Presiden 2013 dan tahun-tahun berikutnya akan dilaksanakan dengan tanpa kekerasan dengan tujuan untuk mengembalikan citra karapan sapi Madura sebagai khazanah budaya bangsa yang patut dibanggakan.
Sebelumnya, pelaksanaan karapan sapi memang tanpa kekerasan. Alat yang digunakan joki pasangan sapi kerap dulunya bukan "rekeng", tetapi "Pak-kopak", yakni batang pohon pisang.
Sementara, meski pelaksanaan karapan tahun ini direncanakan tanpa kekerasan, tetapi seleksi pasangan sapi kerap dimulai dari tingkat kecamatan hingga di tingkat kabupaten dengan menggunakan pola kekerasan, seperti yang digelar di lapangan Stadion Pamekasan, Minggu (22/9).
Presiden RI melalui Menteri Dalam Negeri selanjutnya membuat keputusan membekukan pelaksanaan karapan sapi yang memperebutkan Piala Bergilir Presiden RI itu, karena hanya membuat citra Indonesia jelek di mata dunia internasional dengan alasan seolah negara melegalkan praktik kekerasan.
Namun, karena berbagai tekanan termasuk alasan mengakomodasi aspirasi masyarakat, Gubernur Jawa Timur akhirnya membuat kebijakan sendiri, yakni tetap menggelar karapan sapi dengan kekerasan itu yang rencananya digelar di Pamekasan pada 3 November 2013. (*)