Tentara Indonesia Lebih Bisa Diterima Warga Kamboja
Minggu, 6 Oktober 2013 9:35 WIB
Sumenep (Antara Jatim) - "Ketika bertugas selama 10 bulan di Kamboja, kami merasa berada di Indonesia. Selain bahasanya yang relatif lebih mudah dipahami oleh kami, warga Kamboja itu lebih senang berkomunikasi dengan tentara dari Indonesia dibanding negara lainnya," kata anggota Kodim 0827 Sumenep, Pelda Pridayat.
Itulah hal pertama yang diceritakan Dayat (panggilan karib Pridayat) untuk menggambarkan perjalanan dirinya ketika mengemban tugas untuk Kontingen Garuda di bawah payung pasukan perdamaian PBB di Kamboja pada 1992-1993.
Ketika itu, Dayat yang kelahiran Surabaya, Jawa Timur pada 1965 tersebut, masih berpangkat Kopral Dua dan bertugas di Batalyon Infanteri Lintas Udara 502 Kostrad.
Selain Dayat, anggota Kodim 0827 Sumenep yang masa mudanya pernah bertugas sebagai pasukan perdamaian PBB di Kamboja adalah Pelda Wahab yang pada 1992-1993 juga berpangkat Kopral Dua.
"Sebelum terekrut sebagai bagian dari Kontingen Garuda, kami diseleksi dan harus menjalani pembinaan selama tiga bulan. Setiap personel yang masuk itu memiliki kelebihan," ujarnya.
Materi pembinaan yang bersifat umum lebih pada pendalaman, seperti penguasaan medan maupun menjinakkan ranjau, karena kondisi wilayah Kamboja saat itu dipenuhi ranjau.
"Materi lainnya tentunya pengenalan dan penguasaan Bahasa Kamboja supaya kami tidak kesulitan berkomunikasi dan memudahkan beraktivitas dalam pergaulan sehari-hari," ucapnya.
Saat itu, personel Batalyon Infanteri Lintas Udara 502 Kostrad yang terekrut sebagai pasukan perdamaian PBB di Kamboja, sekitar 136 orang.
"Kami berangkat ke Kamboja melalui laut atau naik kapal dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Sementara pulangnya naik pesawat dan mendarat di Bandara Juanda," kata Wahab, menambahkan.
Dayat dan Wahab saling menambahi ketika menceritakan pengalamannya sebagai pasukan perdamaian PBB di Kamboja.
"Ada kebanggan sekaligus senang ketika kami terekrut sebagai Kontingen Garuda dan akhirnya pergi ke luar negeri (Kamboja) dengan status pasukan perdamaian PBB," ujarnya.
Dayat maupun Wahab menyatakan bangga, karena tidak semua personel TNI yang mendapat kesempatan untuk bergabung dalam Kontingen Garuda.
"Kami memang juga sangat senang, karena ketika menjadi pasukan perdamaian PBB berarti kami akan mendapat tambahan penghasilan yang sah. Ada pemasukan lain buat keluarga," tutur Dayat, sambil tersenyum.
Saat itu, gaji pokok plus uang lauk pauk mereka dengan pangkat Kopral Dua masih di bawah Rp100 ribu.
"Kami bertugas di Kamboja sekitar 10 bulan. Pulangnya kami mendapat deposito yang nilainya sebesar Rp18 juta. Itu sebuah angka yang besar bagi kami," ungkapnya.
Tak Ada Duka
Bagi seorang tentara, bertugas di mana pun adalah sebuah konsekuensi yang harus dijalani dengan segala resikonya.
"Ketika kami diberitahu terekrut dalam Kontingen Garuda untuk menjalankan misi perdamaian dunia di bawah naungan PBB di Kamboja, saat itu kami menganggapnya sebagai tugas lain seorang tentara," kata Dayat.
Ketika itu, Dayat maupun Wahab menyatakan tidak sampai punya pikiran tentang Kamboja sebagai negara yang dilanda konflik dan selanjutnya harus ditakuti.
"Tentara itu kan memang harus siap ditugaskan di mana saja. Kami yang waktu itu masih muda malah menganggap ke Kamboja itu layaknya jalan-jalan yang membanggakan, karena mengemban tugas negara," ujarnya.
Dayat maupun Wahab merasa tidak pernah mengalami kejadian yang tidak mengenakkan di Kamboja selama 10 bulan.
"Apa ya? Kayaknya kok tidak ada duka atau sesuatu yang tidak mengenakkan selama kami di Kamboja. Kami merasa tetap berada di Indonesia selama di Kamboja. Suasana ketika bertemu dengan warga setempat seolah-olah kami berada di Indonesia," tukasnya.
Salah satu hal yang membuat mereka senang sekaligus terlihat lebih repot adalah warga Kamboja ternyata lebih bisa menerima keberadaan dan kehadiran tentara dari Indonesia.
"Sikap warga Kamboja itu tentunya membuat kami senang. Bisa jadi karena itu, kami tidak pernah diganggu selama menjalankan tugas sebagai pasukan perdamaian PBB di Kamboja," ujarnya.
Namun, di sisi lain, kondisi tersebut membuat tentara dari Indonesia sering mendapat tugas mendadak tambahan sebagai "negosiator".
"Salah satu kegiatan rutin yang dilakukan oleh pasukan perdamaian PBB itu adalah patroli. Kami sering diminta bantuan oleh tentara dari negara lainnya, karena ketika mereka patroli sering mendapat gangguan. Padahal, mereka sudah beridentitas sebagai pasukan perdamaian PBB," paparnya.
Saat itulah, biasanya Kontingen Garuda diminta segera bergeser ke lokasi patroli tentara negara lain yang mendapat gangguan dari warga Kamboja.
"Kalau seperti itu, kami biasanya langsung memamerkan (bendera) merah putih sebagai simbol tentara dari Indonesia. Selanjutnya di lokasi tersebut, kami berkomunikasi dengan mereka dan menenangkan situasi. Mereka ternyata memang lebih menerima tentara dari Indonesia untuk berkomunikasi," ucap Dayat.
Selama 10 bulan berada di Kamboja, mereka tidak pernah berkomunikasi dengan orang tua dan kerabatnya.
"Periode kami di Kamboja itu beda dengan sekarang yang dengan mudahnya berkomunikasi melalui telepon genggam. Namun, saat itu, kami memang sedang bertugas. Aktivitas keseharian kami lebih sering berada di jalan (patroli). Kalau tidak di jalan, ya membangun atau memperbaiki fasilitas publik seperti masjid," paparnya.
Dayat menceritakan, sebelum berangkat ke Kamboja, seluruh personel yang tergabung dalam Kontingen Garuda memang diberi kesempatan untuk pulang ke rumahnya untuk pamit dan bertemu kerabatnya.
"Setelah selesai bertugas pun (1993), kami langsung diperkenankan pulang ke rumah. Semuanya berjalan seperti biasanya. Orang tua kayaknya sudah paham konsekuensi, jika anaknya jadi tentara. Jarang bertemu itu hal yang biasa," ujarnya.(*)