Adalah Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Nova Riyanti Yusuf yang mengaku prihatin dengan masih minimnya jumlah tenaga kesehatan terutama yang kejiwaan. Ia mengatakan dokter jiwa di Indonesia hanya ada sekitar 600 orang. Jumlah itu memang masih minim jika dibandingkan dengan jumlah penderita gangguan mental atau gangguan jiwa. Di Jatim saja misalnya, dari jumlah penduduk yang mencapai 37 juta jiwa, terdapat sekitar 335 ribu yang mengalami gangguan jiwa berat. Jumlah itu belum mereka yang menderita gangguan jiwa ringan. Ia menyebut, harus ada pelatihan khusus yang diberikan kepada para petugas medis, terutama di tingkat puskesmas. Selama ini, keluarga langsung membawa berobat ke dokter jiwa jika ada anggota keluarga yang diduga mengalami gangguan jiwa atau mental, padahal untuk langkah awal ataupun hanya untuk periksa bisa ke puskesmas. "Perlu dilakukan pelatihan perawat ataupun dokter umum di puskesmas. Kami terus dorong mereka," ucap psikiater kelahiran Palu, Sulawesi Tengah, 27 November 1977 itu. Ia mengatakan, bencana sosial rawan membuat kejiwaan ataupun mental seseorang terganggu. Bencana sosial itu di antaranya fenomena bencana alam, tawuran yang terjadi di warga ataupun pelajar, sampai tindak kriminal yang dilakukan seseorang. "Ini menimbulkan keresahan sedemikian rupa. Kalau tidak dicegah akan muncul di masyarakat dan membuat kersehan lagi," tutur perempuan yang juga menjadi penulis novel tersebut. Ia juga prihatin masalah anggaran untuk kejiwaaan di Kementerian Kesehatan ternyata masih minim. Harusnya, total anggaran untuk kesehatan jiwa sampai 5 persen, namun saat ini masih sekitar 1 persen. Padahal, masalah kejiwaan cukup krusial. Terlebih lagi, ternyata sampai saat ini masyarakat belum memanfaatkan dengan maksimal kartu jaminan kesehatan yang diberikan pemerintah. Mereka harusnya bisa memanfaatkan untuk berobat. Dari penelitian, ternyata hanya sekitar 10 persen masyarakat pengguna kartu jaminan kesehatan yang memanfaatkan kartu itu untuk berobat kejiwaan. Sementara, lainnya belum diketahui. Perempuan yang pernah mengambil program pendidikan dokter spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa (Psikiatri) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini menduga, hal ini terkait dengan pemahaman masyarakat yang masih lemah. Selain belum bisa mengartikan tentang sakit jiwa, membuat mereka baru mengobatkan anggota keluarga jika kondisi kejiwaaan atau mental anggota keluarga sudah parah, misalnya psikopat. Bahkan, tidak jarang keluarga malu mengobatkan anggota keluarga mereka yang sakit, dan lebih memilih memasung mereka. Padahal, Indonesia lewat Kementerian Kesehatan sudah menargetkan Indonesia bebas pasung pada 2014. Hal itu demi mempercepat kesembuhan anggota keluarga yang sakit itu. Saat ini, perempuan yang akrab disapa NoRiYu itu dengan anggota DPRD di Komisi IX sedang berjuang membuat rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan Jiwa. Ia berharap, RUU itu menjadi prioritas, sehingga mereka yang mengalami gangguan kejiwaaan bisa mendapatkan pengobatan maksimal dan bisa sembuh. (*)
Nova Prihatinkan Minimnya Tenaga Kesehatan Jiwa
Jumat, 7 Juni 2013 6:21 WIB