BPN Trenggalek Mediasi Sengketa Lahan Perhutani-Warga
Rabu, 26 Desember 2012 19:17 WIB
Trenggalek - Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, menyatakan kesanggupannya untuk memediasi warga Desa Ngrandu dengan Perum Perhutani KPH Kediri terkait sengketa kepemilikan lahan.
"Jadi nanti kami akan mempertemukan kedua belah pihak dalam mediasi tahap kedua untuk menyamakan persepsi, apakah tanah yang akan disertifikatkan warga tersebut adalah milik perhutani atau bukan, karena masing-masing punya bukti," kata Kepala Tata Usaha BPN Trenggalek Henni Kartikawati, Rabu.
Ia menjelaskan sejak tahun 2010 ratusan warga Desa Ngrandu, Kecamatan Suruh, mengajukan penyerifikatan lahan seluas 32 hektare, namun hingga kini proses tersebut terhenti karena Perhutani mengajukan sanggahan dan mengklaim lahan tersebut adalah miliknya.
"Kami sebetulnya tidak menghambat pengajuan dari warga, namun sesuai aturan apabila ada sanggahan maka proses itu harus dihentikan dulu hingga memiliki kesepatakan atau berkekuatan hukum," katanya.
Pertemuan lanjutan rencananya akan digelar awal Januari 2013 mendatang dengan agenda penyerahan bukti-bukti tambahan oleh pihak penyanggah dan warga. Selain itu BPN juga akan membeberkan secara rinci kekuatan dan kelemahan masing-masing pihak.
"Kami akan presentasikan secara jelas, bukti apa saja yang dimiliki warga dan perhutani, termasuk kami juga akan menyampaikan ketidaksesuaian antara klaim perhutani atas kepemilikan lahan seluas 67 hektare dengan luasan yang terdapat dalam bukti verbal peralihan tanah zaman Belanda tahun 1937," katanya.
Sementara itu, kuasa hukum warga Desa Ngrandu, Bambang Suwandoko menjelaskan, tanah seluas 32 hektare yang akan disertifikasi tersebut bukan tidak masuk dalam kawasan hutan dan juga bukan bagian dari tanah yang jual pada zaman Belanda.
"Yang perlu digarisbawahi, dalam mediasi tahap pertama dengan perutani, kedua belah pihak sepakat bahwa tanah tersebut tidak masuk dalam kawasan hutan, akan tetapi perhutani berdalih tanah tersebut sudah melalui proses peralihan," ujarnya.
Lanjut Bambang, dari bukti bukti yang dimiliki oleh warga, klaim kepemilikan tanah seluas 67 hektare oleh pehutani tersebut salah, karena sesuai dengan keputusan pengadilan tahun 2005 luasan lahan yang menjadi milik perhutani adalah 35 hektare.
"Sedangkan yang 32 hektare ini tidak termasuk tanah yang dibeli pada masa pemerintahan Belanda itu, makanya untuk membuktikan semua itu kami siap untuk bertemu dengan perhutani," katanya. (*)