Surabaya (Antara Jatim) - Universitas Narotama (Unnar) Surabaya mengumpulkan beberapa tokoh nasional untuk berdiskusi membahas implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah semakin berkurangnya toleransi antaramasyarakat di Indonesia saat ini.
Dalam Diskusi Nasional "Demokrasi Pancasila Sebagai Penangkal Radikalisme" yang digelar di Surabaya Kamis, beberapa tokoh yang hadir antara lain ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Dr Harjono, Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi, dan Tokoh Pendidikan HR Djoko Soemadijo.
Direktur Eksekutif H.R. Djoko Soemadijo Institute Rusdianto Sesung mengatakan seminar ini bukan hanya membahas tentang kerangka tekstual-statis demokrasi Pancasila, namun membahas Pancasila dalam secara progresif-kontekstual.
"Artinya bukan hanya membahas bagaimana konsep demokrasi Pancasila, namun bagaimana membumikan atau mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai benteng atas ancaman radikalisme kiri atau radikalisme negatif," kata dia.
Rusdi sapaan akrabnya mengemukakan, hingga saat ini Pancasila masih berada dalam tataran konseptual-statis yang diajarkan secara kognitif di setiap jenjang pendidikan, baik satuan pendidikan formal, informal maupun non-formal. Menurutnya, Pancasila merupakan landasan falsafah bangsa belum dijiwai dan menjiwai dalam segala praktik kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
"Dengan perkataan lain bahwa Pancasila belum dilaksanakan secara progresif dan kontekstual dalam berbagai aspek kehidupan bernegara, baik dalam sistem politik, ekonomi maupun sosial budaya. Misalnya dalam pembentukan undang-undang, perda dan produk hukum lainnya yang benar-benar menjiwai dan dijiwai oleh seluruh sila Pancasila," ujarnya.
Oleh karena tidak adanya pembumian Pancasila secara kontekstual-progresif dan komprehensif, kata dia, maka dapat dikatakan hal itulah yang menjadikan sebagian anak bangsa berpaham radikal negatif yang mengarah pada perpecahan, kebencian, disharmoni, intolerant dan bahkan ancaman disiintegrasi bangsa.
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Dr Harjono menyatakan pendiri bangsa telah memahami bahwa Pancasila merupakan hakikat manusia Indonesia itu sendiri. "Sehingga sampai kapanpun akan selalu relevan sepanjang masa dalam berbagai bidang dan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara Pancasila tetap relevan karena merupakan jiwa bangsa (volkgheist)-nya bangsa Indonesia," ujar Harjono.
Sementara Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi berpendapat Pancasila adalah kemanusiaan yang berketuhanan. Dia mengatakan, dalam sila ke-2 sampai sila ke-5 merupakan bentuk sifat kemanusian, sedangkan sila ke-1 merupakan ruh dari sifat kemanusiaan itu.
"Dengan kata lain bahwa dalam menjalankan ikhtiar kemanusiaan akan disinari oleh pancaran cahaya Ilahi. Jika segala ikhtiar kemanusiaan selalu dilandasi dengan cahaya Ilahi yang terdapat dalam ajaran agama maka seluruh kehidupan ini akan baik. Jika seluruh kehidupan baik maka radikalisme akan hilang dan akhirnya ancaman disiintegrasi bangsapun dengan sendirinya akan lenyap," tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, Pakar Pendidikan HR Djoko Soemadijo mengemukakan dalam pembukaan UUD 1945 merupakan Meta Yuridis yang di dalamnya terkandung ruh dan jiwa bangsa sehingga tidak dapat diubah. Sebagai Meta Yuridis, lanjut dia, pembukaan UUD 1945 harus menjiwai seluruh batang tubuh UUD 1945, Undang-Undang, dan berbagai produk hukum lainnya.
"Pendidikan tinggi meruapakan garda terdepan dalam mencetak kader bangsa calon pemimpin masa depan yang mampu mengimplementasikan Meta Yuridis tersebut kedalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika kurikulum pendidikan tinggi telah dijiwai dan menjiwai Meta Yuridis tersebut maka pendidikan tinggi dapat menjadi garda terdepan untuk menangkal radikalisme," ucapnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017
Dalam Diskusi Nasional "Demokrasi Pancasila Sebagai Penangkal Radikalisme" yang digelar di Surabaya Kamis, beberapa tokoh yang hadir antara lain ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Dr Harjono, Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi, dan Tokoh Pendidikan HR Djoko Soemadijo.
Direktur Eksekutif H.R. Djoko Soemadijo Institute Rusdianto Sesung mengatakan seminar ini bukan hanya membahas tentang kerangka tekstual-statis demokrasi Pancasila, namun membahas Pancasila dalam secara progresif-kontekstual.
"Artinya bukan hanya membahas bagaimana konsep demokrasi Pancasila, namun bagaimana membumikan atau mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai benteng atas ancaman radikalisme kiri atau radikalisme negatif," kata dia.
Rusdi sapaan akrabnya mengemukakan, hingga saat ini Pancasila masih berada dalam tataran konseptual-statis yang diajarkan secara kognitif di setiap jenjang pendidikan, baik satuan pendidikan formal, informal maupun non-formal. Menurutnya, Pancasila merupakan landasan falsafah bangsa belum dijiwai dan menjiwai dalam segala praktik kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
"Dengan perkataan lain bahwa Pancasila belum dilaksanakan secara progresif dan kontekstual dalam berbagai aspek kehidupan bernegara, baik dalam sistem politik, ekonomi maupun sosial budaya. Misalnya dalam pembentukan undang-undang, perda dan produk hukum lainnya yang benar-benar menjiwai dan dijiwai oleh seluruh sila Pancasila," ujarnya.
Oleh karena tidak adanya pembumian Pancasila secara kontekstual-progresif dan komprehensif, kata dia, maka dapat dikatakan hal itulah yang menjadikan sebagian anak bangsa berpaham radikal negatif yang mengarah pada perpecahan, kebencian, disharmoni, intolerant dan bahkan ancaman disiintegrasi bangsa.
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Dr Harjono menyatakan pendiri bangsa telah memahami bahwa Pancasila merupakan hakikat manusia Indonesia itu sendiri. "Sehingga sampai kapanpun akan selalu relevan sepanjang masa dalam berbagai bidang dan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara Pancasila tetap relevan karena merupakan jiwa bangsa (volkgheist)-nya bangsa Indonesia," ujar Harjono.
Sementara Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi berpendapat Pancasila adalah kemanusiaan yang berketuhanan. Dia mengatakan, dalam sila ke-2 sampai sila ke-5 merupakan bentuk sifat kemanusian, sedangkan sila ke-1 merupakan ruh dari sifat kemanusiaan itu.
"Dengan kata lain bahwa dalam menjalankan ikhtiar kemanusiaan akan disinari oleh pancaran cahaya Ilahi. Jika segala ikhtiar kemanusiaan selalu dilandasi dengan cahaya Ilahi yang terdapat dalam ajaran agama maka seluruh kehidupan ini akan baik. Jika seluruh kehidupan baik maka radikalisme akan hilang dan akhirnya ancaman disiintegrasi bangsapun dengan sendirinya akan lenyap," tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, Pakar Pendidikan HR Djoko Soemadijo mengemukakan dalam pembukaan UUD 1945 merupakan Meta Yuridis yang di dalamnya terkandung ruh dan jiwa bangsa sehingga tidak dapat diubah. Sebagai Meta Yuridis, lanjut dia, pembukaan UUD 1945 harus menjiwai seluruh batang tubuh UUD 1945, Undang-Undang, dan berbagai produk hukum lainnya.
"Pendidikan tinggi meruapakan garda terdepan dalam mencetak kader bangsa calon pemimpin masa depan yang mampu mengimplementasikan Meta Yuridis tersebut kedalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika kurikulum pendidikan tinggi telah dijiwai dan menjiwai Meta Yuridis tersebut maka pendidikan tinggi dapat menjadi garda terdepan untuk menangkal radikalisme," ucapnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017