Mirip! Apakah memilih untuk membantu korban banjir di Jakarta atau membantu korban awan panas Gunung Sinabung di Tanah Karo, Medan, maka pilihan jatuh pada Jakarta. Ya, Jakarta lebih politis daripada Tanah Karo. Tidak jauh berbeda dengan itu adalah menimbang nasib Erwiana Sulistyaningsih (22), TKI wanita (TKW) asal Dusun Kawis, Desa Pucangan, Kecamatan Ngrambe, Kabupaten Ngawi, yang diduga menjadi korban penganiayaan majikan di Hong Kong sejak 13 Mei 2013. Nah, apakah memilih pembelaan atas sadisme dalam kasus penganiayaan yang dialami Erwiana atau memilih kasak-kusuk menjelang Pemilu 2014 dan Pilpres 2014, maka jawabnya juga sudah jelas, karena Ujian Nasional (UN) yang biasanya dijadwal April pun digeser ke bulan Juni, karena 9 April 2014 merupakan jadwal Pemilu Legislatif. Artinya, Erwiana akan berada dalam "kesunyian" bila saja sosok yang memiliki akun facebook sebagai "Bunga Chacha" itu tidak mengunggah foto-foto "penganiayaan" yang menimpa Erwiana dalam situs jejaring sosial itu. Maka, beredarlah foto-foto itu kemana-mana... Akhirnya, Direktur LSM "Migrant Aid Indonesia" (MAI) Moch Cholily pun menelusuri ke pihak UPTP3TKI hingga menemukan data bahwa buruh migran yang dimaksud bernama Erwiana Sulistyaningsih asal Dusun Kawis, Desa Pucangan, Kecamatan Ngrambe, Kabupaten Ngawi. Dia direkrut oleh PT Graha Ayu Karsa dengan agennya di Hong Kong adalah Chans Asia Recruitment Centre. Dia mengadu nasib di Tseung Kwan O, Hong Kong, sejak 13 Mei 2013, namun selama delapan bulan terakhir selalu disiksa dan tidak pernah digaji. Selanjutnya, ia dipulangkan diam-diam ke Indonesia oleh majikannya dengan kondisi tubuh penuh luka di bandara setempat, bahkan gadis kelahiran 7 Januari 1991 itu sulit berjalan karena kedua kakinya luka bernanah akibat bekas pukulan dan siksaan. Erwiana berhasil pulang ke Indonesia berkat bantuan seorang TKW asal Magetan, Yanti yang menemukan korban sedang duduk termenung di Bandara Chek Lap Kok, Hong Kong. Karena kasihan, Yanti yang juga hendak pulang akhirnya mendampingi sejawatnya itu pulang ke Indonesia melalui Bandara Adi Sumarmo, Solo, Jumat (10/1). Agaknya, apa yang dialami Erwiana bukan hal baru, karena dari tahun ke tahun selalu ada saja penderitaan para TKI. Mereka berjuang di negeri orang untuk mencari sesuap kesejahteraan, namun mereka justru menerima perbudakan. Ya, zaman boleh modern, teknologi boleh canggih, tapi manusia tetap saja sulit "menjadi" manusia... Mereka menjadi majikan, tapi bukan manusia... Mereka menjadi politisi, tapi bukan manusia... Solusi paling mudah untuk masalah "perbudakan modern" yang disebut buruh migran (TKI) adalah stop (pengiriman) TKI ! Tapi, solusi itu bukan solusi, karena hal itu sama dengan mencari maling yang masuk kereta api dengan membakar seluruh gerbong kereta. Mustahil. Ibarat banjir, musibah itu tidak bisa diatasi dengan satu cara melainkan perlu empat cara secara komprehensif yakni menghijaukan "jalur atas" (gunung, bukit, dataran tinggi) agar mampu menahan air, mengeruk "jalur bawah" (sungai) secara rutin agar tidak meluap, menghindarkan "jalur bawah" dari hunian, dan menghindarkan "jalur bawah" dari sampah (buang sampah sembarangan). Maka, solusi mengatasi TKI juga bukan satu, melainkan (minimal) empat solusi, yakni pembelaan hukum atau perjanjian yang ketat dengan negara tujuan; dan melarang (pengawasan) proses kontrak sepihak antara agensi asing dan penyalur tenaga kerja dalam negeri dengan sanksi pidana yang berat, misalnya perampasan semua dokumen TKI. Selain itu; pengawasan ekstra untuk proses agensi dalam negeri yang instan (bahasa/keahlian); dan pengawasan proses dari daerah hingga pusat, semisal pemalsuan KTP (usia), ketidakjelasan jenis pekerjaan di luar negeri, atau proses rekrutmen/penempatan lainnya. Jadi, solusi yang komprehensif dari hulu ke hilir, yakni luar negeri (hukum/negara tujuan), dalam negeri-luar negeri (proses kontrak agensi asing/dalam negeri), dalam negeri (agensi untuk bahasa/keahlian), dan dalam negeri (hukum pidana/dalam negeri/pemalsuan dokumen). Ya, sama halnya dengan dokter yang tidak pernah memberi satu jenis pil atau sirup kepada pasien, maka solusi untuk perlindungan TKI pun tidak bisa dengan satu solusi, sebab jika hanya satu solusi yang diterapkan, maka masalahnya tidak akan pernah selesai. Erwiana adalah contoh, dia mengalami pelanggaran hukum di luar negeri (penganiayan dan proses penggajian di Hong Kong) maupun di dalam negeri (indikasi tindak pidana perdagangan orang di Indonesia). Jika solusi tidak tuntas atau hanya di hilir atau hanya di hulu, maka solusi justru tidak menyelesaikan, karena masalah tetap ada, yakni perbudakan!. (*)

Pewarta:

Editor : Masuki M. Astro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014