Bondowoso (ANTARA) - Dunia pendidikan sedang diramaikan dengan kasus ditempelengnya seorang murid oleh kepala sekolah gara-gara sang murid ketahuan merokok di dalam lingkungan sekolah, yakni di SMA Negeri 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Kasus siswa merokok di sekolah adalah salah satu wujud dari kenakalan remaja yang memang harus mendapat perhatian dari guru, orang tua, dan masyarakat.
Merokok di sekolah adalah bentuk pelanggaran, sehingga pelakunya memang harus mendapat sanksi agar kejadian serupa tidak terulang dan tidak ditiru oleh siswa lainnya.
Kasus siswa merokok di sekolah yang ditegur guru kemudian memunculkan masalah karena adanya tuduhan bahwa sang guru menempeleng siswa dan itu dianggap sebagai "pelanggaran" dalam proses pembelajaran oleh seorang kepala sekolah kepada muridnya.
Di titik inilah introspeksi diri kita mulai, termasuk bagi siswa dan orang tua siswa. Kita tidak pernah tahu persis bagaimana kondisi kejiwaan si siswa yang merokok di sekolah itu yang kemudian ditegur oleh guru. Demikian juga bagaimana kondisi psikis si kepala sekolah, sehingga dia memilih melakukan tindakan tersebut.
Secara subjektif, semua pihak yang terlibat dalam kasus yang kini viral itu memiliki alasan masing-masing. Si siswa yang ketahuan melanggar aturan sekolah, mungkin memiliki alasan psikis mengapa memilih sikap tidak menyenangkan ketika ditegur oleh kepala sekolah, saat ketahuan merokok. Demikian juga dengan sikap kepala sekolah, perempuan yang biasanya dikenal lembut dalam menangani siswa bermasalah.
Untuk bahan introspeksi, seorang guru memang dituntut untuk mampu mengendalikan diri dalam menghadapi siswa di sekolah.
Kita tidak perlu mengajari guru yang sudah puluhan tahun berpengalaman menghadapi dan menangani siswa dengan beragam latar belakangnya. Apalagi kasus siswa merokok ini ditangani oleh seorang kepala sekolah. Seorang kepala sekolah, tentu telah memiliki pengalaman panjang dalam suka dukanya membersamai siswa.
Meskipun demikian, guru tetaplah manusia yang tidak boleh lepas dari semangat untuk saling mengingatkan dan menerima untuk saling diingatkan. Mendidik siswa, termasuk ketika mendapati siswa merokok di sekolah, di era digital ini memang memerlukan kehati-hatian dalam bersikap. Dunia telah berubah, dan guru bukan lagi dipandang sebagai sosok sentral bagi siswa dan orang tua siswa dalam praktik pendidikan.
Terkait siswa merokok di sekolah, tindakan bersifat fisik, seperti pukulan, tempelengan, dan lainnya, bahkan juga perkataan, harus selalu berpijak pada kesantunan dan niat kasih sayang. Banyak cara untuk menangani siswa yang bandel, sehingga sering melakukan pelanggaran di sekolah. Satu-satunya cara yang harus dan wajib dihindari adalah kekerasan.
Bagi anak muda, kasus siswa merokok di sekolah ini juga menjadi bahan introspeksi untuk tidak meremehkan segala bentuk pelanggaran terhadap peraturan di sekolah dan peraturan di luar sekolah. Secara umum, pelanggaran yang dilakukan oleh para siswa di sekolah itu biasanya dilatari oleh motif menunjukkan eksistensi diri atau ingin mendapat pengakuan.
Motif mendapat pengakuan ini menunjukkan bahwa ada masalah relasi antara si anak dengan orang tua di rumah. Anak-anak yang jiwanya telah selesai dengan dirinya sendiri, biasanya, tidak lagi terjebak dalam kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan dari teman di sekolah atau di luar sekolah.
Menghadapi siswa yang haus akan pengakuan eksistensi diri ini, guru tidak bisa hanya mengandalkan petuah, meskipun landasannya menggunakan dalil agama, sekalipun. Di sinilah, guru harus memunculkan kreativitasnya. Guru bisa mengajak siswa itu ke ruang khusus atau bahkan mungkin ke kantin sekolah untuk diajak berbicara terbuka dari hati ke hati, tanpa penghakiman pada baik dan buruk.
Membuka hati pada siswa untuk merasa nyaman berkomunikasi dengan orang lain, apalagi guru, adalah langkah awal untuk mengajak siswa yang selama ini hanya dilabeli bandel adalah tahap awal untuk menghidupkan kembali jiwa si anak untuk bertumbuh, kemudian memperbaiki diri.
Sementara bagi orang tua dalam kasus siswa merokok di sekolah, yang di SMAN 1 Cimarga ini telah melaporkan kepala sekolah ke polisi, barangkali juga bisa belajar introspeksi diri bagaimana menjadi orang tua yang baik.
Siapapun, memang tidak menoleransi kekerasan di sekolah terjadi. Hanya saja, kita bisa berpikir mendalam bahwa guru, apalagi seorang kepala sekolah, bukanlah orang yang sembarangan dalam mendidik siswa.
Sekali lagi, ini bukan untuk membenarkan kekerasan guru terhadap murid. Seorang guru, ketika menegur keras terhadap murid, apalagi sampai melakukan tindakan fisik, kemungkinan ada sikap siswa yang juga "keterlaluan", setidaknya dalam pandangan si guru.
Karena itu, pilihan orang tua siswa yang melaporkan tindakan guru ke polisi bukan merupakan jalan terbaik untuk mengantarkan anaknya berjalan menapaki masa depan yang harapannya menjadi lebih baik.
Secara emosi, mungkin si orang tua akan puas ketika aparat penegak hukum, akhirnya menjatuhkan vonis si guru bersalah. Hanya saja, sejarah akan mencatat bahwa ada seorang guru dihukum karena memberikan sanksi kepada seorang siswa yang ketahuan merokok di sekolah.
Di era informasi ini, semua peristiwa dicatat di gudang digital. Boleh jadi, peristiwa ini akan membawa jiwa si siswa berkubang dalam rasa bersalah yang terus menerus, sehingga menghambat perjalanan hidup si anak menuju sukses.
Meskipun demikian, bukan berarti kita tidak peduli dengan kasus siswa merokok di sekolah ini. Apalagi, Pemerintah Provinsi Banten telah bertindak dengan menurunkan tim untuk menelusuri kasus pemukulan oleh kepala sekolah ini.
Tim dari Pemprov Banten juga mendalami tindakan kepala sekolah yang mengaku hanya menepuk siswa yang ketahuan merokok di sekolah.
Demi masa anak-anak muda dan demi masa depan bangsa Indonesia, kita perlu saling introspeksi dan belajar memperbaiki diri, sesuai peran masing-masing di masyarakat.
Untuk mengantarkan anak-anak muda bangsa kita menjadi generasi unggul menyongsong Indonesia Emas 2045, tidak bisa disikapi dengan kemarahan, apalagi dendam. Semua harus kita hadapi dengan penuh cinta dan kasih sayang.
