Surabaya (ANTARA) - Di sebuah masjid kampung di Yogyakarta, ada papan pengumuman sederhana. Papan itu tidak berhias lampu, tidak dibingkai emas. Namun, di situlah tercatat setiap rupiah infak jamaah. Berapa yang masuk, berapa yang keluar. Jamaah tak perlu bertanya-tanya, tak perlu berprasangka. Semua ditulis terbuka, seolah berkata: “Inilah uang Anda, inilah amanah kami.”
Masjid Jogokaryan, begitu namanya. Ia menjadi simbol bahwa transparansi bukan sekadar konsep, tetapi tindakan nyata. Bukan sekadar aturan hukum, tetapi budaya moral.
Jamaah percaya bukan karena pidato panjang, tetapi karena keterbukaan yang sederhana. Di sinilah letak pelajaran penting: kepercayaan lahir bukan dari kata-kata manis, melainkan dari akuntabilitas komunikasi yang konsisten. Transparansi membuat warga merasa dihormati, dan akuntabilitas membuat mereka yakin bahwa amanah benar-benar dijaga.
Sayangnya, praktik seperti Jogokaryan jarang kita temui di ruang komunikasi publik.
Banyak humas lembaga negara lebih sibuk mengabarkan siapa yang hadir di rapat, daripada apa yang diputuskan dalam rapat. Rajin menyebar foto pejabat tersenyum, tapi jarang menjelaskan progres kebijakan yang menyentuh kehidupan rakyat.
Humas akhirnya jatuh ke dalam jebakan lama: menjaga citra, bukan membangun kepercayaan. Padahal, kepercayaan publik tidak lahir dari foto-foto seremonial, melainkan dari komunikasi yang terbuka, jujur, dan bisa dipertanggungjawabkan.
Robert Putnam (2000) mengingatkan bahwa kepercayaan adalah bagian penting dari modal sosial. Kepercayaan membuat koordinasi dan kerja sama sosial menjadi mungkin.
Tanpanya, setiap kebijakan mudah dicurigai sarat kepentingan, dan setiap kata pejabat dianggap manipulasi. Di Indonesia, hal ini terasa nyata: banyak kebijakan bagus kehilangan makna karena komunikasi yang defensif dan penuh curiga.
Dari Jogokaryan, Surabaya, hingga BPBD Jatim
Namun kita tidak boleh kehilangan harapan. Ada praktik baik yang bisa menjadi pelajaran. Surabaya, misalnya, membangun command center yang membuka data kota secara real-time.
Warga bisa melapor lewat aplikasi, dan bisa pula memantau tindak lanjut laporan mereka. Humas kota tidak hanya menyiarkan agenda Pemerintah Kota, tetapi juga melayani aspirasi warga. Di sini komunikasi tidak berhenti pada monolog, tetapi menjadi dialog.
Pemerintah mau mendengar, dan warga diberi kesempatan untuk terlibat. Inilah bentuk komunikasi simetris sebagaimana diajarkan James Grunig dalam Excellence Theory: komunikasi yang memberi ruang koreksi, bukan hanya instruksi.
BPBD Jawa Timur juga memberi contoh lain. Saat banjir, gempa, atau cuaca ekstrem, mereka segera menyiarkan informasi lewat media sosial, aplikasi Info Bencana, hingga dark site yang bisa diakses publik. Tidak ada informasi yang ditahan dengan alasan formalitas. Semua diberikan cepat agar warga bisa menyelamatkan diri.
Di sini kita belajar, komunikasi akuntabel bukan sekadar etika birokrasi, tetapi urusan nyawa manusia. Ulrich Beck (1992) dalam Risk Society menekankan bahwa risiko di era modern bukan hanya bencana alam, tetapi juga risiko komunikasi: informasi yang salah, terlambat, atau disembunyikan bisa lebih berbahaya daripada bencana itu sendiri.
Sejajar dengan pikiran di atas, Plato pernah mengingatkan dalam Republik, kekuasaan tanpa keadilan adalah tirani. Kita bisa menambahkan: komunikasi tanpa akuntabilitas hanyalah propaganda.
Komunikasi yang sehat menuntut keterbukaan. Keterbukaan melahirkan rasa hormat: pemerintah menghormati rakyat dengan membagi informasi yang jujur.
Hannah Arendt menulis bahwa ruang publik hanya bisa hidup bila kebenaran bisa diperiksa bersama.
Tanpa itu, politik kehilangan makna. Sementara Jurgen Habermas mengajarkan, legitimasi politik lahir dari discursive communication—komunikasi yang rasional, terbuka, dan memberi ruang bagi kritik.
Dalam konteks ini, humas publik seharusnya menjadi jembatan dialog antara negara dan rakyat, bukan sekadar pengeras suara satu arah.
Menuju Humas yang Membangun Kepercayaan
Dari Jogokaryan, Surabaya, dan BPBD Jatim, kita belajar pola yang sama; yakni pertama: transparan sebelum diminta. Jangan menunggu pertanyaan untuk membuka informasi. Kedua, responsif, bukan defensif.
Respons cepat membangun kepercayaan; sikap defensif justru menumbuhkan curiga.
Ketiga, berorientasi pada publik, bukan pejabat. Humas yang melayani publik lebih dipercaya ketimbang humas yang sibuk menjaga wajah penguasa.
Humas publik harus berani berubah. Dari sekadar manajer citra menjadi penjaga kredibilitas. Dari sekadar menyampaikan informasi menjadi pelayan komunikasi masyarakat.
Kepercayaan publik tidak bisa dipoles, ia harus ditumbuhkan. Ia lahir dari keterbukaan, empati, dan kesediaan pemerintah menempatkan rakyat sebagai subjek, bukan objek.
Jika kita jujur, salah satu kelemahan terbesar komunikasi pemerintahan di Indonesia adalah kecenderungan menjadikan humas sebagai alat pencitraan. Foto, baliho, dan slogan sering lebih diutamakan ketimbang laporan apa adanya. Padahal, seperti bunga plastik, citra hanya indah sebentar, lalu hilang ditelan lupa.
Yang kita butuhkan adalah humas yang melayani, humas yang membuat warga tertarik untuk mendengar, dan akhirnya percaya. Publik yang percaya akan lebih siap menerima kebijakan, bahkan ketika kebijakan itu berat.
Sebaliknya, publik yang curiga akan menolak, bahkan sebelum kebijakan dijelaskan.
Jalan untuk Indonesia Maju
Indonesia Maju tidak lahir dari baliho raksasa atau pidato panjang.
Ia lahir dari komunikasi yang jujur dan terbuka. Jogokaryan sudah membuktikan bahwa papan
pengumuman bisa melahirkan legitimasi moral. Surabaya membuktikan bahwa data terbuka memperkuat partisipasi warga. BPBD Jatim menunjukkan bahwa informasi cepat bisa menyelamatkan nyawa.
Fukuyama (1995) benar: trust adalah modal sosial. Dengan kepercayaan, pemerintah bisa bergerak lebih cepat. Tanpa kepercayaan, kebijakan sehebat apa pun akan ditolak.
Maka, pekerjaan rumah kita adalah menjadikan humas publik berani menyalin praktik baik itu. Dari pusat hingga desa, dari kementerian hingga kelurahan, humas harus berfungsi sebagai jembatan kepercayaan, bukan sekadar corong kekuasaan.
Di ujungnya, kita bisa merenung: apakah sulit untuk jujur? Tidak. Yang sulit adalah melawan kebiasaan menutup-nutupi. Padahal, bangsa ini tidak kekurangan kata-kata. Yang kita kekurangan adalah kejujuran dalam kata.
Indonesia Maju membutuhkan humas yang akuntabel: berani terbuka, mau mendengar, dan cepat bertindak. Humas yang tidak hanya menjaga wajah penguasa, tetapi juga menjaga hati rakyat.
Masjid Jogokaryan telah memberi teladan. Surabaya dan BPBD Jatim sudah mencoba. Kini tinggal keberanian kita menyalinnya. Sebab, kepercayaan publik adalah bahan bakar bangsa ini untuk melangkah lebih cepat. Tanpa itu, negara hanyalah mesin besar yang berdiri tanpa nyawa
• Naskah ini disampaikan pada acara Conference Anugerah HUMAS INDONESIA 2025, Hotel Platinum Surabaya, 23 September 2025.
*) Suko Widodo adalah Ketua Perhumas Surabaya Raya dan Dosen pada Departemen Komunikasi FISIP, Universitas Airlangga
