Oleh Musyawir
Menyususri Kota Pasuruan, seperti halnya membuka lembar-lembar sejarah masa lalu. Sisa-sisa gedung tua yang masih tegak berdiri bisa dijadikan sebagai jejak-jejak kejayaan peradaban kota tua di kawasan pantai utara Jawa bagian timur.
Perjalanan sejarah Kota Pasuruan juga banyak diwarnai dinamika perjuangan para penguasa yang penuh heroik. Kota Pasuruan hingga kini identik dengan semangat kepahlawan Untung Suropati.
Meski jejak sejarahnya tidak banyak diketahui, termasuk makamnya, semangat kepahlawan Untung Suropati masih tetap hidup dihati masyarakat Kota Pasuruan. Itu sebabnya kota Pasuruan juga bisa disebut sebagai Bumi Untung Suropati.
Sejarah mencacat, Pasuruan merupakan sebuah kota pelabuhan kuno. Pada zaman Kerajaan Airlangga, Pasuruan kota ini dikenal dengan sebutan "Paravan". Pada masa itu daerah ini sudah menjadi pelabuhan yang sangat ramai.
Letak geografisnya yang strategis menjadikan Pasuruan sebagai pelabuhan transit dan pasar perdagangan antarpulau serta antarnegara. Banyak bangsawan dan saudagar kaya yang menetap di Pasuruan untuk melakukan perdagangan. Hal ini membuat kemajemukan bangsa dan suku bangsa di Pasuruan terjalin dengan baik dan damai.
Pasuruan dahulu juga disebut Gembong merupakan daerah yang cukup lama dikuasai oleh raja-raja Jawa Timur yang beragama Hindu. Pada dasawarsa pertama abad XVI yang menjadi raja di Gamda (Pasuruan) adalah Pate Supetak yang dalam babad Pasuruan disebutkan sebagai pendiri ibu kota Pasuruan.
Menurut kronik Jawa tentang penaklukan oleh Sultan Trenggono dari Demak, Pasuruan berhasil ditaklukan pada tahun 1545. Sejak saat itu Pasuruan menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa.
Pada tahun-tahun berikutnya terjadi perang dengan kerajaan Blambangan yang masih beragama Hindu-Budha. Pada tahun 1601 ibu kota Blambangan dapat direbut oleh Pasuruan.
Pada tahun 1617-1645 yang berkuasa di Pasuruan adalah seorang Tumenggung dari Kapulungan yakni Kiai Gede Kapoeloengan yang bergelar Kiai Gedee Darmoyudho I. Berikutnya Pasuruan mendapat serangan dari Kartusro, Pasuruan jatuh dan Kiai Gedee Kapoeloengan melarikan diri ke Surabaya hingga meninggal dunia dan dimakamkan di Pemakaman Bibis (Surabaya).
Selanjutnya yang menjadi raja adalah putra Kiai Gedee Dermoyudho I yang bergelar Kiai Gedee Darmoyudho II (1645-1657). Pada tahun 1657 Kiai Gedee Darmoyudho II mendapat serangan dari Mas Pekik (Surabaya), sehingga Kiai Gedee Dermoyudho II meninggal dan dimakamkan di Kampung Darmitudo, Kelurahan Purworejo, Kota Pasuruan.
Mas Pekik memerintah dengan gelar Kiai Dermoyudho (III) hingga meninggal dunia pada tahun 1671 dan diganti oleh putranya, Kiai Onggodjojo dari Surabaya (1671-1686). Kiai Onggojoyo kemudian harus menyerahkan kekuasaanya kepada Untung Suropati.
Untung Suropati adalah seorang budak belian yang berjuang menentang Belanda. Pada saat itu Untung Suropati sedang berada di Mataram setelah berhasil membunuh kapoten Tack.
Untuk menghindari kecurigaan Belanda, pada 8 Februari 1686, Pangeran Nerangkusumo yang telah mendapat restu dari Amangkurat I (Mataram) memerintahkan Untung Suropati berangkat ke Pasuruan untuk menjadi adipati (raja) dengan menguasai daerah Pasuruan dan sekitarnya.
Untung Suropati menjadi raja di Pasuruan dengan gelar Raden Adipati Wironegoro. Selama 20 tahun pemerintahan Suropati (1686-1706) dipenuhi dengan pertempuran-pertempuran melawan tentara Kompeni Belanda. Namun demikian, dia masih sempat menjalankan pemerintahan dengan baik serta senantiasa membangkitkan semangat juang pada rakyatnya.
Pemerintah Belanda terus berusaha menumpas perjuangan Untung Suropati, setelah beberapa kali mengalami kegagalan. Belanda kemudian bekerja sama dengan putra Kiai Onggojoyo yang juga bernama Onggojoyo untuk menyerang Untung Suropati.
Mendapat serangan dari Onggojoyo yang dibantu oleh tentara Belanda, Untung Suropati terdesak dan mengalami luka berat hingga meninggal dunia (1706). Namun, belum diketahui secara pasti di mana letak makam Untung Suropati. Hanya sebuah petilasan berupa gua tempat persembunyiannya pada saat dikejar oleh tentara Belanda di Pedukuhan Mancilan, Kelurahan Pohjnetrek, Kota Pasuruan.
Sepeninggal Untung Suropati kendali kerajaan dilanjutkan oleh putranya yang bernama Rakhmad yang meneruskan perjuangan sampai ke timur dan akhirnya gugur di medan pertempuran (1707).
Onggojoyo yang bergelar Dermoyudho (IV) kemudian menjadi Adipati Pasuruan (1707). Setelah beberapa kali berganti pimpinan pada tahun 1743 Pasuruan dikuasai oleh Raden Ario Wironegoro. Pada saat Raden Ario Wironegoro menjadi Adipati di Pasuruan, yang menjadi patihnya adalah Kiai Ngabei Wongsonegoro.
Suatu ketika Belanda berhasil membujuk Patih Kiai Ngabei Wongsonegoro untuk menggulingkan pemerintahan Raden Ario Wironegoro. Raden Ario dapat meloloskan diri dan melarikan diri ke Malang.
Sejak saat itu seluruh kekuasaan di Pasuruan dipegang oleh Belanda. Belanda menganggap Pasuruan sebagai kota bandar yang cukup penting, sehingga menjadikannya sebagai ibu kota karesidenan dengan wilayah Kabupaten Malang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Bangil.
Karena jasanya terhadap Belanda, Kiai Ngabei Wongsonegoro diangkat menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Tumenggung Nitinegoro, dan juga diberi hadiah seorang putri dari selir Kanjeng Susuhunan Pakubuono II dari Kertosuro yang bernama Raden Ayu Berie yang merupakan keturunan dari Sunan Ampel, Surabaya.
Pada saat dihadiahkan, Raden Ayu Berie dalam keadaan hamil, dia kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki yang bernama Raden Groedo. Saat Kiai Ngabei Wongsonegoro meninggal dunia, Raden Groedo yang masih berusia 11 tahun menggantikan kedudukannya menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Kiai Adipati Niti Adiningrat (Berdasarkan Resolusi tanggal 27 Juli 1751).
Adipati Nitiadiningrat menjadi Bupati di Pasuruan selama 48 tahun (hingga 8 Niovenber 1799)). Adipati Nitiadiningrat (I) dikenal sebagai Bupati yang cakap, teguh pendirian, setia kepada rakyatnya, namun pandai mengambil hati Pemerintah Belanda. Karya besarnya antara lain mendirikan Masjid Agung Al Anwar bersama Kiai Hasan Sanusi (Mbah Slagah).
Raden Beji Notokoesoemo menjadi bupati menggantikan ayahnya sesuai Besluit tanggal 28 Februari 1800 dengan gelar Tomenggoeng Nitiadiningrat II. Pada tahun 1809, Toemenggoeng Nitiadiningrat II digantikan oleh putranya yakni Raden Pandji Bronto Koesoemo dengan gelar Raden Adipati Nitiadiningrat III.
Raden Adipati Nitiadiningrat III meninggal pada tanggal 30 Januari 1833 dan dimakamkan di belakang Masjid Al Anwar. Penggantinya adalah Raden Amoen Raden Tumenggung Ario Notokoesoemo dengan gelar raden Toemenggoeng Nitiadiningrat IV yang meninggal dunia tanggal 20 Juli 1887.
Kiai Nitiadiningrat I sampai Kiai Nitiadiningrat IV lebih dikenal oleh masyarakat Pasuruan dengan sebutan Mbah Surga-Surgi.
Pemerintahan Pasuruan sudah ada sejak Kiai Darmoyudho I hingga dibentuknya Residensi Pasuruan pada tanggal 1 Januari 1901. Sedangkan Kotapraja (Gementee) Pasuruan terbentuk berdasarkan Staatblat 1918 No.320 dengan nama Stads Gemeente Van Pasoeroean pada tanggal 20 Junu 1918.
Namun, mulai sejak tanggal 14 Agustus 1950 dinyatakan Kotamadya Pasuruan sebagai daerah otonom yang terdiri dari desa dalam 1 kecamatan. Pada tanggal 21 desember 1982 Kotamadya Pasuruan diperluas menjadi 3 kecamatan dengan 19 kelurahan dan 15 desa. Pada tanggal 12 Januari 2002 terjadi perubahan status desa menjadi kelurahan berdasarkan
Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2002.
Dengan demikian wilayah Kota Pasuruan terbagi menjadi 34 kelurahan. Berdasarkan UU no.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah terjadi perubahan nama dari kotamadya menjadi kota maka Kotamadya Pasuruan berubah menjadi Kota Pasuruan.
Gedung Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) ini merupakan salah satu gedung tertua dan terbesar di Kota Pasuruan. Gedung ini memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi, di mana gedung ini menjadi salah satu tempat pusat penelitian perkebunan gula.
Kota Pasuruan kini bisa dijadikan sebagai salah obyek wista nostalgia. Banyak gedung tua bersejarah masih tegak berdiri di kota ini, salah satunya, gedung Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) di Jl..Pahlawan Kota Pasuruan.
Gedung yang didirikan pada 9 Juli tahun 1887 dengan nama Proefstation Oost Java (POJ) atau waga setempat lebih banyak menyebutnya gedung itu dengan nama Prop.
Ada dua hal yang melatarbelakangi berdirinya P3GI pada saat itu, yakni pertama untuk menanggulangi serangan penyakit sereh yang menghebat melanda hampir seluruh tanaman tebu di dunia. Kedua, untuk mengimbangi dan memenangkan persaingan/ancaman gula bit khususnya dari Eropa.
Dari dua permasalahan tersebut ternyata P3GI mampu mengendalikan dengan dirakitnya tebu varietas unggul tahan penyakit Sereh, yakni tebu varietas POJ 2878. Sejak berdirinya P3GI hasil varietas rakitan P3GI diberi initial POJ (Proefstation Oost Java), tapi mulai tahun 1957 menggunakan initial PS (Pasuruan).
Gedung tua lain yang menyolok dan masih berada di Jln. Pahlawan adalah gedung Harmoni. Gedung yang sama-sama peninggalan Belanda ini merupakan gedung hiburan yang merupakan satu rangkaian dengan Taman Kota.
Gedung yang kini digunakan sebagai lembaga pendidikan milik Yayasan Untung Suropati dulunya merupakan gedung hiburan bagi warga Belanda. Gedung yang dilengkapi taman kota pada zamannya hanya bisa digunakan bagi warga Belanda, sehingga jalan protokol tersebut pada saat malam hari tertutup bagi warga pribumi melewatinya.
Gedung-gedung tua di Jln. Pahlawan ini menjadi tujuan wisatawan mancanegara khusunya warga keturunan Belanda yang ingin bernostalgia di Kota Pasuruan. Tempat lain yang menjadi sasaran wisatawan mancanegara adalah pelabuihan, serta stasiun Pasuruan.
Dua tempat ini memang mempunyai sejarah panjang. Bahkan Stasiun Kota Pasuruan juga sempat menjadi fasilitas transportasi penting bagi warga Kota Pasuruan pada zaman belanda.
Pada saat itu Kota Pasuruan telah menjadi kota metropolis yang mempuinyai trem listrik sebagai moda angkutan dalam kota. Namun, jejak-jejak itu kini sudah tidak bisa dilihat lagi karena rel-relnya yang melintasi tengah kota telah terkubur aspal.
Bewisata nostalgia ke Bumi Untung Suropati bisa membawa oleh-oleh kuliner jadul (jaman dulu) khas Pasuruan yang hingga kini masih tetap bertahan, yakni Bipang Cap Jangkar, atau Ting-ting Jahe Sin A, serta jajanan jadul lainnya.
Bahkan jajanan khas Pasuruan yang dulu dijual dengan kemasan sederhana kini tampil dengan kemasan modern yang lebih mecing dengan aneka rasa yang lezat untuk dinikmati. Jajanan khas Pasuruan itu bisa dibeli di gerai Bipang Cap jangkar di Jln. Lombok Kota Pasuruan.(*)
Bernostalgia di Bumi Untung Suropati
Jumat, 14 September 2012 10:42 WIB
