Jakarta (ANTARA) - Di balik komitmen ambisius Indonesia untuk mencapai net zero emission pada 2060, tersimpan pertanyaan mendasar tentang bagaimana memastikan janji-janji dalam dokumen perencanaan tidak berhenti sebagai wacana belaka?
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 memang telah diluncurkan dengan proyeksi penambahan energi terbarukan yang tampak progresif di atas kertas.
Namun sejarah RUPTL sebelumnya mengajarkan bahwa antara angka di dokumen dan realisasi di lapangan terbentang jurang kepercayaan yang belum tertutup.
Masalah utamanya bukan pada kekurangan visi. Indonesia memiliki semua instrumen perencanaan mencakup RUPTL, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), dan bahkan peta jalan Net Zero Emission.
Tapi sebagaimana disoroti oleh banyak analis dan pegiat masyarakat sipil, akselerasi transisi energi justru tersendat pada mekanisme paling mendasar terutama dalam soal tata kelola pengadaan energi terbarukan yang kredibel dan menarik bagi investor.
Senior Strategist Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) Grita Anindarini menyampaikan kritik yang tajam namun konstruktif bahwa tanpa pembenahan serius terhadap mekanisme pengadaan, ambisi transisi energi akan menjadi sekadar lembaran dokumen.
Padahal, Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2025 telah memberikan ruang fleksibilitas dalam skema perjanjian jual beli listrik antara pengembang dan PLN. Ini menjadi peluang yang seharusnya dimaksimalkan, bukan diabaikan.
Namun fleksibilitas saja tidak cukup. Ekosistem pengadaan harus menjunjung prinsip keterbukaan, keadilan, dan keberlanjutan.
Dalam konteks inilah, Grita menekankan pentingnya jaminan pemerintah, terutama dalam aspek pengadaan lahan, sebuah hambatan klasik dalam pembangunan pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT). Tanpa mekanisme pembagian risiko yang adil dan jaminan yang memadai, investasi akan terus menjauh.
Hal serupa ditegaskan Analis Senior Iklim dan Energi dari EMBER Dody Setiawan. Untuk mencapai target tambahan PLTS dan PLTB sebesar 868 MW per tahun, empat kali lipat dari realisasi sebelumnya, PLN dan para pengembang tidak cukup hanya menetapkan target commercial operation date (COD).
Mereka memerlukan peta jalan yang realistis, termasuk pipeline proyek dengan jadwal tender dan konstruksi yang jelas.
Masalah mendasarnya adalah ketidakpastian. Banyak pengembang lokal maupun asing menunda keterlibatan mereka bukan karena ketidakmampuan teknis, tetapi karena proses birokratis yang lamban dan ketidakpastian soal kelayakan proyek.
Ini yang disebut Dody sebagai perlunya debottlenecking proses, supaya tidak hanya investor besar yang mampu bertahan, tapi juga pelaku usaha dalam negeri punya ruang bertumbuh.
Studi yang dilakukan oleh Alin Halimatussadiah dari Departemen Ilmu Ekonomi, FEB UI, dan beberapa peneliti dari berbagai universitas mengidentifikasi pengadaan (procurement) sebagai hambatan utama investasi energi terbarukan di Indonesia.
Temuan itu tertuang dalam artikel jurnal berjudul “The country of perpetual potential: Why is it so difficult to procure renewable energy in Indonesia?”.
Artikel ilmiah tersebut bahkan menyebut Indonesia sebagai “negara dengan potensi abadi” yang gagal diwujudkan karena proses pengadaan yang tidak efisien dan tidak transparan.
Tambahan fakta bahwa PLN memegang monopoli sebagai satu-satunya pembeli dan sekaligus produsen menimbulkan potensi konflik kepentingan yang tak sehat.
Rekomendasi dari studi tersebut menyasar langsung ke jantung masalah bahwa reformasi institusional terhadap mekanisme pengadaan.
Proses ini harus dibuat lebih independen dari kepentingan bisnis internal PLN dan lebih berpihak pada prinsip keterbukaan.
Tanpa ini, kebijakan harga yang lebih adil dan menguntungkan bagi EBT akan sulit diwujudkan. Dominasi batu bara akan terus mengakar, mengingat harga listrik dari batu bara yang masih disubsidi dan lebih kompetitif secara semu.
Risiko Ketertinggalan
Team Leader Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu mengangkat persoalan yang lebih bersifat sistemik. Bondan mengamati bahwa dalam RUPTL terbaru, 68 persen dari total rencana pembangkit EBT justru ditempatkan pada tahun 2030 dan setelahnya. Pola ini persis dengan apa yang terjadi di RUPTL 2021–2030.
Ini mengindikasikan kecenderungan untuk menunda, bukan mempercepat. Strategi seperti ini bukan hanya memperlemah kredibilitas pemerintah, tetapi juga menempatkan Indonesia dalam risiko ketertinggalan yang semakin dalam dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara.
Situasi ini perlu dilihat sebagai gejala dari keberlanjutan budaya birokrasi yang masih terlalu sentralistik dan cenderung berorientasi pada pemenuhan angka dalam dokumen, bukan pada perubahan struktural yang konkret.
Transisi energi tidak bisa dijalankan dengan paradigma proyek yang menumpuk target di akhir periode. Bangsa ini butuh pendekatan yang progresif, bertahap, dan konsisten dengan evaluasi berkala yang mengoreksi arah dan strategi bila diperlukan.
Dunia sedang bergerak cepat. Vietnam dan Filipina telah menunjukkan keberhasilan dalam menarik investasi energi terbarukan dengan membenahi tata kelola pengadaan mereka.
Vietnam, misalnya, berhasil menambah kapasitas tenaga surya lebih dari 11 GW hanya dalam kurun waktu dua tahun dengan skema feed-in-tariff yang sederhana namun pasti. Indonesia, dengan potensi tenaga surya lebih dari 200 GW, tertinggal sangat jauh hanya dengan realisasi di bawah 1,5 GW.
Momentum untuk berubah sebenarnya ada. Pemerintah baru dengan mandat kuat memiliki peluang untuk mendorong reformasi kebijakan struktural dalam sektor energi.
Tapi ini hanya akan berarti jika diikuti dengan langkah nyata yakni menetapkan otoritas pengadaan yang independen, menyusun timeline proyek yang kredibel, memperbarui RUPTL secara dinamis, dan, yang paling penting, membuka ruang partisipasi publik serta pelaku usaha dalam negeri secara lebih luas.
Energi terbarukan bukan semata soal panel surya atau turbin angin. Namun juga soal kedaulatan masa depan, keadilan sosial, dan keberlangsungan hidup generasi berikutnya.
Jika bangsa ini gagal membenahi mekanisme pengadaannya, maka Indonesia telah memilih untuk hidup dalam potensi yang tak pernah menjadi kenyataan. Dan sejarah tidak menunggu mereka yang hanya bisa merencanakan tanpa berani melangkah.