Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menyatakan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) dibutuhkan demi menjamin pemenuhan hak PRT sebagai salah satu kelompok rentan.
“Dalam Standar Norma dan Pengaturan tentang Hak atas Pekerjaan yang Layak, ditegaskan bahwa PRT merupakan kelompok rentan yang membutuhkan pengaturan khusus dalam pemenuhan hak atas pekerjaan,” kata anggota Komnas HAM Anis Hidayah saat konferensi pers di Jakarta, Kamis.
Anis menyebut PRT selama ini mendapat kesulitan untuk pemenuhan hak atas pekerjaan yang layak. Komnas HAM menerima pengaduan terkait PRT yang mengalami pelanggaran HAM, seperti gaji tidak dibayar, hilang kontak, kekerasan, perdagangan orang, dan kekerasan seksual.
Dijelaskan Anis, jenis hubungan kerja PRT kerap dikecualikan dari hubungan kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena pemberi kerjanya adalah perseorangan dan hubungan kerjanya dianggap bersifat kekeluargaan.
Kondisi itu mengakibatkan PRT rentan menanggung risiko pekerjaan seorang diri, hilang tanggung jawab dari pemberi kerja karena nihilnya landasan hukum, serta hilangnya akses dan layanan maksimal dari negara berupa fasilitas kesejahteraan, penegakan hukum, dan kebebasan berserikat.
Di sisi lain, Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pekerja Rumah Tangga tahun 2011 dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Pengaturan PRT saat ini hanya merujuk pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Untuk itu, menurut Anis, dibutuhkan undang-undang yang menjamin PRT dalam mendapatkan perjanjian kerja berisi hak dan kewajiban yang mengikat bagi pemberi kerja dan pekerja serta memperoleh jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan.
Undang-undang tersebut, sambung dia, juga demi menjamin PRT mendapatkan penempatan dan penyaluran tenaga kerja yang bebas diskriminasi dan bermartabat, hak berkumpul dan berserikat, serta pendidikan dan pelatihan yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah maupun penyalur.
Atas dasar itu, Anis mengatakan Komnas HAM mendukung percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) PPRT yang berlandaskan pada penghormatan HAM dan mendorong pembahasan yang partisipatif.
“RUU PPRT yang kembali menjadi Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2025–2029 tidak memiliki alasan untuk penundaan pembahasan dan pengesahannya,” ujarnya menegaskan.